Hati Kecil Darman

Hati Kecil Darman

Hati Kecil Darman

Oleh : Musyrifatun Darwanto

Di bawah sinar bulan sabit yang cahayanya redup, seorang lelaki kurus terus berlari menjejak tanah gambut pada lahan kebun kelapa yang luas, dia tak tahu persis posisinya saat ini, yang ia tahu dirinya harus berlari sejauh-jauhnya, menghindari rombongan orang-orang yang mungkin saja masih mengejar.

Ia juga tak peduli, andai sandal tipisnya yang tersangkut di akar kelapa ditemukan oleh warga. Dan bisa jadi, benda tak berharga itu akan menjadi barang bukti. Yang ia tahu, barang yang berhasil ia ambil dari dapur salah seorang nenek tua itu harus sampai ke hadapan istrinya, agar esok mereka tak kelaparan lagi seperti hari-hari lalu.

Langkah kakinya terhenti, setelah beberapa saat terasa sesuatu menyengat telapak kaki. Tubuhnya menegang, sengatan itu menjalar cepat ke sekujur tubuh.Tas plastik yang berisi beras dan sekantong gula, terlepas dari genggaman tangannya.

Ia tak tahu persis apa yang terjadi, sampai sepersekian detik sebelum akhirnya tubuh kurus itu jatuh tersungkur ke tanah, dalam remang cahaya bulan, matanya melihat seutas kabel listrik terinjak kakinya.

***

Matahari pagi lembut membelai kulit, cahayanya yang hangat mengintip dari sela-sela daun kelapa yang rimbun.

Darman berjalan menyusuri jalan setapak menuju ladang jagung, ia sengaja menyisakan lahan seluas satu hektar di tengah kebun kelapa untuk ditanami jagung, kadang-kadang ia menanam cabai dan juga bermacam palawija lain.

Ia membawa sebuah cangkul dan juga parang panjang.

“Pasti ada babi yang mati lagi pagi ini,” gumamnya saat melihat kabel yang terbentang panjang di atas tanah gambut. Di ujung sana, kabel itu mengitari ladang jagung.

Mata Darman terbelalak, saat melihat tubuh manusia terbujur kaku dengan posisi tengkurap di tengah-tengah jalan setapak. Kakinya refleks mundur beberapa langkah diiringi debaran jantung yang seketika memacu lebih cepat.

Ia langsung teringat status teman-teman yang memenuhi beranda Facebooknya sejak tadi malam. Mereka semua sibuk bercerita tentang pencurian yang terjadi di rumah seorang nenek tua di kampung sebelah. Sebagian dari mereka ada juga yang mengunggah foto sandal jepit yang diduga kuat milik si pelaku.

Sebagian warga sempat melihat pencuri itu berlari menuju kebun kelapa di belakang rumah warga, mengenakan jaket berwarna biru. Darman semakin ketakutan ketika menyadari bahwa sosok yang tergeletak di depannya juga mengenakan jaket berwarna serupa.

Lelaki yang ketakutan itu balik badan, kemudian berlari secepat yang ia bisa menuju rumah saudara tuanya.

“Kang! Gawat, Kang!”

“Ada apa? Kok napasmu sampe ngos-ngosan begitu.”

“Kabelku makan korban!”

“Lah memang biasanya juga begitu, ‘kan? Tinggal dikuburkan. Begitu saja kok repot!” Kang Pangi menimpali dengan santai, sambil menghisap rokok dan sesekali menyesap kopi.

“Tapi kali ini beda, Kang. Yang mati kali ini … babi berkaki dua!”

“Maksudmu?”

“Kena orang, Kang! Manusia!”

“Gawat ini!”

Kedua lelaki itu bergegas menuju tempat ditemukannya sosok yang masih terbujur kaku. Masing-masing membawa cangkul di pundaknya.

Wajah keduanya sama-sama bertambah pias saat telah tiba di depan mayat.

“Cepat kuburkan sebelum ada orang lain yang melihat!” seru Kang Pangi. Darman buru-buru menggali tanah. Untung saja tanah gambut itu lunak, sehingga tak butuh waktu lama bagi mereka membuat galian lubang. Sigap mereka memasukkan sosok yang terbujur kaku itu ke dalam lubang, beserta sebuah tas plastik yang tergeletak di sampingnya.

“Sampean kenal orang ini, Kang?”

“Nggak. Sepetinya bukan orang sini. Sudah, jangan ngomongin kejadian ini lagi. Takutnya kita nanti keceplosan, kan bisa bahaya!”

Darman mengangguk. Meski hati kecilnya diliputi rasa bersalah yang mendalam.

***

Bulan-bulan berlalu, kisah si pencuri mulai dilupakan warga. Tapi tidak dengan Darman dan Pangi, mereka berdua terus dibayangi ketakutan. Jika ada yang menaruh perhatian lebih kepada dua orang tersebut, pastilah menaruh curiga karena sejak kejadian pencurian itu, Darman dan Pangi menjadi lebih pendiam dan jarang berkumpul dengan warga.

Hingga sore itu, saat awan kelabu menggelayut bersiap menumpahkan tetesan air, seorang wanita berperawakan kurus dan kusut masai berjalan gontai di tepian jalan beraspal, seorang bayi merah tertidur pulas dalam gendongannya.

Siapa pun yang melihat wanita itu pasti akan iba. Matanya memerah karena terlalu banyak menangis. Tepat saat langkah kakinya berada di depan rumah Darman, tetes air pertama membasahi tanah, disusul ribuan tetes berikutnya yang turun berjejal, berarak-arak.

Wanita itu mencari tempat berteduh yang paling dekat, dan teras rumah Darman menjadi tujuannya.

Darman yang sedang mengangkat jemuran di samping rumah, sekilas melihat wanita itu menimang bayi dalam gendongannya, sepertinya bayi itu menangis.

Darman lantas bergegas membukakan pintu untuk wanita kurus itu. Meski tak kenal, hati kecilnya iba melihat ada yang berteduh di teras rumahnya sambil menggendong bayi.

“Masuk, saja, Mbak. Kasihan si kecil, di luar dingin,”

Wanita kurus menoleh ke sumber suara dengan tatapan lemah. Ia menggeleng, sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya yang pucat.

Darman bersikeras membujuk wanita itu agar masuk ke rumahnya, ia akhirnya menurut setelah tampias air yang terbawa angin membasahi wajah bayinya yang masih merah. Bayi itu terus menangis kedinginan, dan juga … kelaparan.

“Mbak tunggu sebentar, ya. Saya bikinkan teh hangat.”

Wanita kurus menggeleng, tapi Darman gesit melangkah ke dapur, sebelum wanita itu membuka mulut mengucapkan kata “Tidak usah repot-repot.”

Sekitar sepuluh menit, Darman kembali ke ruang tamu dengan membawa baki berisi segelas teh hangat dan beberapa potong kue brownies.

Setelah menyilakan tamunya untuk makan dan minum, Darman kembali masuk ke dalam kamar. Ia keluar membawa sebuah sarung dan kain jarik.

“Ini, Mbak. Buat ganti gendongannya. Kasihan si kecil kedinginan, kain gendongan itu sudah lembab.” Darman menunjuk kain yang dipakai wanita di hadapannya.

Wanita kurus itu, yang kemudian diketahui oleh Darman bernama Nanik, enggan menerima pemberiannya. Ia merasa sungkan dengan kebaikan Darman, juga risih karena sekarang posisinya sedang duduk di rumah lelaki yang tidak dikenal.Tapi lagi-lagi, tangisan bayi merah dalam dekapannya memaksa Nanik untuk meraih sarung dan kain jarik yang tergeletak di atas meja.

Darman menunduk, tapi diam-diam ia mencuri pandang pada wanita yang tengah sibuk menimang bayi di hadapannya. Bayi itu terus menangis meski sudah dibedong dan ditimang sang ibu. Darman kemudian tersadar, mungkin wanita itu malu hendak menyusui bayinya karena ia masih duduk di sana.

“Saya ke belakang dulu,” ucap Darman. Nanik mengangguk.

Hampir satu jam Nanik duduk di ruang tamu rumah Darman, hujan masih menyisakan gerimis, cuaca bertambah dingin. Beruntung, bayi merah itu kini sudah kembali terlelap setelah puas menyusu dan merasa hangat dalam bedongan kain sarung Darman.

Nanik mulai gelisah, di luar sudah mulai tampak gelap. Ia ingin pulang, tapi bagaimana mungkin ia akan berjalan di bawah gerimis sambil membawa bayi?

Untungnya, Darman mengerti kegelisahan Nanik saat wanita itu sebentar-sebentar melongok ke luar sambil berdecak lirih.

“Mau saya antar pulang, Mbak?” tanya Darman.

Nanik menggeleng, takut merepotkan. Lagi-lagi, Darman paham, wanita di depannya ini tipe orang yang tidak enakan menerima tawaran kebaikan dari orang lain. Sedari tadi ia terus menggeleng saat Darman menawarkan bantuan, tapi kemudian tetap menerima bantuan itu meski sedikit kikuk.

Sebelum azan magrib berkumandang, motor matic yang dikendarai Darman berhenti di sebuah rumah kontrakan yang berhimpitan satu sama lain.

“Terimakasih banyak, Mas.” Nanik berkata lirih sambil terus menunduk, tapi Darman bisa melihat wajah Nanik yang pucat, bahkan lebih pucat dari saat wanita itu berada di rumahnya tadi.

Belum sempat Nanik memutar kenop pintu rumahnya, wanita itu ambruk tak sadarkan diri. Beruntung bayi dalam gendongannya tak sampai terjatuh.

Darman yang melihat kejadian itu memekik, kemudian dibantu tetangga sekitar yang melihat Nanik pingsan, membawa wanita kurus dan pucat itu ke dalam rumah.

Di dalam rumah, ucapan-ucapan rasa kasihan atas nasib Nanik berdengung memenuhi ruang kontrakan yang sempit itu. Seorang wanita menggendong bayi Nanik, sebagian lainnya menggosokkan minyak angin ke tubuh perempuan kurus yang terbaring lemah di atas kasur tipis. Hati kecil Darman kembali tersentuh. Memang baru hitungan jam ia kenal dengan Nanik, tapi ia bisa menebak betapa sedihnya hidup wanita itu.

“Suaminya ke mana, ya, Bu?” tanya Darman pada perempuan yang menggendong bayi Nanik.

“Suaminya sudah beberapa bulan ini nggak pulang, Mas. Dia pergi waktu Nanik hamil delapan bulan. Itu fotonya.” Perempuan itu menunjuk bingkai foto yang tergantung di dinding. Hati kecil Darman seperti tertusuk belati, saat melihat siapa lelaki dalam pigura foto tersebut.(*)

Indragiri hilir, 8 Oktober 2020

Musyrifatun, seorang perempuan penyuka hujan, bunga, benang, dan pena.

Editor : Uzwah Anna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply