Hal-Hal Kecil

Hal-Hal Kecil

Oleh    : Nining Kurniati

Maira, satu dari tiga gadis tomboi yang masih melajang di desa itu. Umurnya yang tahun ini genap 30 tahun, membuat para ibu khawatir bila anak itu akan perawan sampai tua. Sanak saudaranya berkali-kali menjodohkannya dengan kerabat jauh mereka, hasilnya selalu tidak. Penolakan itu kadang datang dari Maira sendiri yang suka laki-laki berotot dan cekatan dalam hal apa pun sedangkan yang melamar umumnya sangat jauh dari hal itu. Ada pula si pelamar sendiri yang diam-diam mundur bahkan sebelum lamaran itu sampai pada pihak orang tua setelah melihat bagaimana Maira bergaul. Mereka keburu takut dijadikan kacung, takut jadi sutis—suami-suami takut istri.

Maira yang tak peduli soal nikah cuek-cuek saja dengan omongan yang santer itu. Ia sendiri percaya kalau jodoh akan datang pada waktunya, di waktu yang tepat ketika ia dan pasangannya siap hidup berumah tangga. Pengertian jodoh baginya adalah ketika ia dan laki-laki itu begitu saling melihat, saling bicara, langsung klik seperti anak kunci dengan gemboknya. Selama belum begitu, berarti ia belum menemukan jodohnya.

“Nak, sekali-kali balaslah omongan orang itu. Mama capek dengar, apa kau tidak?”

“Males, Mama saja.”

“Tidak mau. Tapi kenapa ya, mereka itu tidak bosan bilang kau akan jadi perawan tua.”

“Mama masalah?”

“Ti-dak ju-ga sih, asal kau tidak kenapa-kenapa Mama tidak masalah.”

“Ya, sudah!”

“Eeh?”

Maira melipir ke kamar bersiap membersihkan diri sebelum berangkat ke minimarket. Sore  ini jadwalnya bertugas di kasir dan inilah waktu-waktu yang tidak disukainya sebab ia mesti memakai pemulas di bibirnya, belum lagi memakai garis mata yang sering membuatnya ketakutan nanti benda itu tertusuk ke mata, atau bedak yang setelah berlalu sejam membuat wajahnya terasa ketebalan, seperti ayam yang diselimuti terigu habis digoreng. Tapi bagi orang-orang, inilah waktu-waktu terbaik untuk melihat Maira seperti anak gadis yang wajar.

Sandi terkekeh begitu Maira muncul di belakangnya. Wajahnya manyung.

“Ada masalah lagi, Neng?”

“Hu um, bukan hidup namanya kalau enggak ada masalah.”

“Mati, ya?”

“Hu um, dan aku belum mau mati.”

Sandi terkekeh lagi lalu melanjutkan mengecek barang-barang yang ada di etalase. Maira sendiri ke tempatnya di belakang kasir. Ia menghela napas berkali-kali agar perasaannya lebih baik, bagaimanapun pembeli senang melihat kasir yang ramah.

***

“Kentara sekali senyummu itu kau buat-buat.”

“Pembeli tadi juga tahu itu. Ia mengangguk saja.”

“Kau tidak mau cerita.”

“Cerita apa, aku bukan pendongeng.”

“Kau tidak harus jadi pendongeng untuk bercerita, Neng,” balas Sandi sambil berjalan ke pintu. Ada seorang lelaki beruban yang menuju mereka.

“Selamat datang,” ucap Sandi dan Maira hampir bersamaan. Lelaki tersebut jadi berhenti di pintu memandangi mereka bergantian.

“Hari ini hari apa?” Ia malah bertanya membuat Maira menautkan alis. Lain dengan Sandi, ia mengerti maksud si lelaki.

“Hari yang indah, Pak. Matahari masih bersinar terang sore ini.”

Lelaki beruban berbalik melihat keluar. “Ini masih hari yang buruk. Sudah tiga minggu lebih hujan tidak turun.” Lalu ia berjalan mengambil keranjang. Sedangkan dari tempatnya masing-masing, Maira dan Sandi saling memandangi dengan bibir yang terkatup.

***

Maira menonton lelaki beruban dari layar cctv. Ia memilah barang cukup lama. Untuk memutuskan satu barang masuk ke keranjangnya, ia melihat catatannya terlebih dahulu, memeriksa barang itu lagi, permukaan depan permukaan belakang, lalu mengetik di ponselnya baru kemudian ia berpindah.

“ribet sekali.” Sandi ikut menonton.

“Hmm,” Maira menanggapinya hanya dengan gumaman.

Setelah sekitar setengah jam barulah lelaki beruban menuju kasir dengan keranjangnya yang penuh. Ia tersenyum dengan gembira sambil mengangkat satu per satu barang yang dibelinya.

“Kalian menonton saya, ya?” tunjuknya ke layar.

“Iya, Pak,” Maira menjawab.

“Saya harus pastikan barang itu tidak cacat, lihat kadaluarsa dan harganya dulu. Kalau saya pulang dan istri saya melihat ada yang tidak beres dengan barang itu, ia akan meminta saya lebih baik ke pasar yang jaraknya lebih dekat dari pada ke sini. Saya tidak suka ke pasar, saya tidak sanggup menawar harga setiap barang.”

“Ribet ya, pak,” Sandi menimpali.

“Apa yang tidak ribet?” Maira bertanya membuat Sandi makin terkekeh, ia teringat komentarnya tadi.

“Istrinya kenapa, Pak? Kok Bapak yang belanja?” tanya Sandi lagi.

“Sebulan yang lalu ia habis melahirkan anak pertama kami. Kami … sudah menikah dua belas tahun,” ia menjawab sambil malu-malu.

“Woah, selamat ya, Pak.” Maira memekik, kedua lelaki tersebut jadi terlonjak.

“Terima kasih,” jawabnya dan mereka bertiga tersenyum bersama. 

Sampai waktu jam kerja selesai pukul 11 malam Maira bersikap ceria. Sandi terus memperhatikan hal ini dan ketika mereka akan berpisah ia tak bisa lagi  membungkam rasa penasarannya, “Kau habis makan apa, Neng?”

“Apa maksudmu?”

“Kau terlihat bahagia.”

“Kau sirik?”

“Ih, mana mungkin.”

“Hal-hal kecil bisa mengubahmu,” jawabnya sambil menancap gas motornya pulang ke rumah. Sedang Sandi  masih tersenyum di tempatnya berdiri.

(*)

Selasa, 25 Mei 2021.

Nining Kurniati, perempuan yang ingin melihat hal-hal menakjubkan di depan matanya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply