Emakku Wonder Woman
Oleh : Sri Wahyuni
Emakku adalah wanita yang istimewa dan luar biasa bagiku, multitalenta kalau kata pakar. Bagaimana tidak, kegiatan beliau sehari-hari sungguh menguras tenaga. Rutinitasnya dimulai sejak matahari masih lelap di peraduannya. Pagi buta, Emak sudah bangun menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga: Bapak, aku, dan tiga adikku. Saat kami masih terlelap dibuai mimpi, Emak sudah mulai menyalakan tungku.
Meskipun sekarang ini menanak nasi menjadi lebih praktis karena sudah memakai penanak nasi listrik, kami masih menggunakan tungku kayu untuk memasak di rumah. Selain untuk memasak, tungku kayu juga digunakan untuk merebus air minum serta untuk merebus pakan ternak dan minum buat sapi—kalau kambing cukup air dingin biasa. Kami bisa punya kompor gas karena mendapat bantuan dari pemerintah jaman Presiden SBY, meskipun sekarang kompornya telah kami ganti karena sudah karatan. Kompor gas hanya dipakai ketika memasak lauk, ketika Emak sedang terburu-buru ke sawah pagi-pagi sekali. Atau ketika Emak harus segera pergi bantu hajatan ke rumah tetangga. Karena masakan Emak memang enak jadi ia sering dimintai tetangga untuk bantu-bantu memasak ketika ada hajatan.
Emak tidak melulu menyalakan tungku sendirian, seringnya ada Bapak yang ikut bangun menemani, Bapak membantu menyalakan tungku dan menjaga nyala api supaya tidak padam sambil ngopi dan menghangatkan diri, mirip perapian kalau di luar negeri. Kata Bapak, duduk di depan tungku yang menyala ketika hawa dingin itu namanya api-api. Dengan bantuan Bapak, Emak bisa berkonsentrasi mempersiapkan bahan yang mau dimasak.
Setelah bangun pagi, kami bergantian mandi, sarapan, lalu pergi ke sekolah. Emak akan selalu berceramah panjang lebar, betapa kami harus bersyukur karena setiap bangun tidur sudah ketemu nasi, padahal jaman Emak kecil harus kerja dulu baru ketemu nasi. Enak juga berkata pada kami untuk selalu bersyukur karena bisa mandi di kamar mandi, air sudah mengalir hanya dengan memutar keran. Dulu jaman Emak, kalau mandi harus pergi ke sungai, air untuk minum harus menimba dulu di sumur tetangga yang jaraknya jauh. Kami yang masih anak-anak ini hanya manggut-manggut saja, tidak membantah atau menjawab, karena itu memang benar adanya. Kami mensyukuri kehidupan kami yang sederhana di desa.
Setelah selesai urusan masak-memasak, pukul enam pagi Emak dan Bapak akan pergi ke sawah. Kadang mereka pergi ke sawah punya kami sendiri, kadang bekerja di sawah kepunyaan orang lain, menjadi buruh. Sekitar pukul sepuluh, pekerjaan di sawah selesai dan baru akan dilanjut nanti siang, sekitar pukul satu sampai empat sore. Selama itu biasanya Emak tidak langsung pulang ke rumah. Setelah kerja di sawah orang, Emak akan mencari rumput dulu untuk pakan ternak, jadi terkadang ia sampai rumah pukul sebelas bahkan kadang lebih, sedangkan Bapak selalu pulang lebih dulu.
Bapak bekerja serabutan, kadang jadi kuli bangunan, atau apa pun yang diminta orang untuk dikerjakan. Dulu ketika masih banyak yang menanam padi, Bapak menjadi pembajak sawah, dengan bajak yang ditarik oleh sapi. Sejak ramai orang menanam tebu dan ada traktor, alat bajak Bapak digantung di dinding luar rumah karena orang-orang lebih memilih menggunakan traktor mesin. Lebih cepat dan lebih dalam hasil balikan tanahnya.
Kalau tidak ada kerjaan di sawah, kegiatan Emak adalah mencari pakan ternak sampai bolak-balik dua kali, bahkan bisa jadi lebih kalau sedang mendapat pakan ternak. Padahal jaraknya bisa berkilo-kilo tergantung di mana ada pakan. Ditambah, Emak membawanya dengan sepeda ontel. Ketika aku bertanya apa ia tidak capek bolak-balik seperti itu, beliau menjawab, ya, capek, tapi mumpung bisa cari pakan. Besok kalau kerja memasak di rumah orang hajatan, ia tidak bisa cari pakan. Sayang uang juga kalau harus beli pakan. Kalau benar-benar sibuk tidak bisa cari pakan ternak Emak dan Bapak terpaksa beli tebon atau sisa tanaman jagung yang habis dipanen.
Emak menjelaskan, uang yang dikeluarkan lumayan kalau harus beli pakan, malah hitungannya jadi boros. Uang yang harusnya bisa buat membeli lauk malah digunakan untuk membeli tebon. Tapi kalau sampai tidak diberi pakan, kasihan juga si sapi. Si sapi suka protes, melenguh kencang sekali. “Moooooh!” Berisik.
Kami, aku dan adik-adikku, tidak pernah mengeluh soal makanan, yang penting ada nasinya. Sehari-hari, kami biasa makan tahu, tempe, kerupuk, ikan asin, begitu terus setiap hari selama tujuh hari seminggu. Bosan? Kami tidak mengenal kata itu dan lebih memilih untuk mensyukuri apa yang ada. Meskipun begitu kami tetap bahagia, bahkan kami pernah makan nasi dicampur jelantah alias minyak bekas goreng ikan asin, dan itu sedap sekali. Kami juga pernah juga memakan nasi pakai parutan kelapa yang digarami.
Meskipun cerewetnya sekampung diborong sendiri, Emak selalu mengajarkan kami cara bersyukur, sedangkan Bapak adalah contoh nyata bagi kami bagaimana mensyukuri apa yang kami punyai. Apa pun yang ada di meja makan selalu Bapak lahap tanpa berkomentar. Begitu juga kami. Yang penting ada nasi dan sayur kata Bapak. Karena tinggal di desa, sayur selalu tersedia setiap hari, bisa diambil langsung dari di pekarangan. Ada nangka, kluwih, pepaya, daun ubi, daun ketela, juga kangkung. Apalagi kalau musim hujan, banyak sekali bayam yang tumbuh liar di kebun. Aku suka semua masakan Emak: sayur pepaya campur daun melinjo muda dibumbu kuning; bobor bayam; tumis kangkung; daun ketela bumbu merah; sayur nangka. Semua masakan Emak memang juara.
Kalian tahu nikmatnya makan sayur nangka muda, sambal tomat terasi, dan ikan asin goreng? Kalau sehabis pulang sekolah dan Emak menyediakan menu itu, aku bisa makan sampai dua kali saking enaknya.
Adik-adikku juga menyukai semua yang dimasak Emak. Kalau Bapak, beliau paling tidak suka kalau Emak menggoreng ikan asin karena aku pernah tertelan duri saat makan ikan asing. Meskipun begitu aku tidak kapok dan sering minta Emak menggoreng ikan asing karena aku memang menyukainya.
Jarak kelahiranku dan kedua adikku terbilang dekat jadi aku tidak begitu ingat ketika Emak mengandung dan melahirkan mereka. Yang paling kuingat adalah saat Emak mengandung adik ketigaku. Saat itu aku sudah SMP. Meskipun perutnya sudah besar, Emak masih ke sawah dengan menaiki sepeda berkilo-kilo jauhnya untuk mencari rumput. Meskipun begitu, alhamdulillah adikku lahir dengan selamat, sehat tidak kurang apa pun.
Emakku memang wonder woman, sementara aku, anak sulungnya sekaligus satu-satunya anak perempuan dalam keluarga kami, justru merasa tidak mewarisi semua keistimewaan Emak. Aku tidak pandai memasak, terbukti, walaupun dengan bumbu yang sama tapi tetap tak sesedap buatan Emak. Mencari rumput? Aku pernah mencoba dan aku menyerah. Mungkin hanya kecerewetan Emak saja yang menurun padaku dengan sempurna. (*)
Magetan, 26 Mei 2021
Sri Wahyuni, lahir di Magetan, 15 Januari 1986, adalah seorang Ibu rumah tangga. Selain mengurus tiga buah hatinya, ia tetap berusaha mengejar impian masa kecilnya menjadi seorang penulis.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Gambar: https://pin.it/2WF8GKG
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata