Dua Sisi Sebuah Cerita (Cermin Ke-4 LCL)

Dua Sisi Sebuah Cerita (Cermin Ke-4 LCL)

Dua Sisi Sebuah Cerita

Oleh: Jeevita

Terbaik Ke-4 Lomba Cermin Lokit

 

Dalam sebuah cerita banyak kemungkinan bisa saja terjadi, bukan? Tergantung bagaimana cara menuliskan alurnya seperti apa. Atau, tergantung menjadikan tokoh itu seperti apa. Tentu saja cerita yang kumaksud di sini adalah cerita yang setiap hari kau karang. Tetapi, apakah kau pernah berpikir cerita yang kau buat itu adil atau tidak?

Tidak… aku tidak bermaksud untuk protes atau pun mengeluh dengan cerita-cerita itu.Hanya saja… bisakah kau berbaik hati sebentar dan bergantian mendengarkan ceritaku?

Siang tadi, jalanan ibu kota benar-benar macet. Mobil-mobil pribadi serta kendaraan lain berimpitan, berusaha saling mendahului seperti atlet maraton yang berlomba merebutkan tempat pertama, tetapi nyatanya laju mereka tidak lebih cepat dari seekor siput. Belum lagi asap pekat bercampur debu mengepul-ngepul tertiup angin kering, membuat siapa pun yang menghirupnya bisa langsung terbatuk-batuk atau sesak napas.

Di sana, tidak hanya ada kendaraan-kendaraan besi yang membawa banyak nyawa. Lihatlah orang-orang di pinggir jalan, sudut-sudut lampu merah, perempatan, atau pun di bantaran kali berbau bacin.

 

Beberapa dari mereka yang mempercayai iklan-iklan di baliho, radio, atau televisi tentang adanya virus yang katanya bisa langsung membunuh siapa pun tanpa ampun, menutup hidung dan mulutnya menggunakan kain kumal atau masker kendur yang telah berlapis debu tebal. Tidak sedikit pula dari mereka memilih abai, tetap menjalankan perannya seperti biasa tanpa menggunakan pelindung mulut. Dan menganggap orang-orang yang mati karena virus itu hanya bagian dari jalan cerita yang sudah ditentukan untuk hidupnya. Serta, ada pula dari mereka yang memakai penutup mulut dan hidung karena takut seorang penguasa akan menjatuhkan hukuman padanya, jadi mereka hanya mencari aman saja tanpa peduli dengan situasi yang sedang terjadi sesungguhnya.

Seseorang di antara mereka napasnya tersengal di balik kain kumal yang menutupi hidung dan mulutnya. Entah sudah sejak pukul berapa lelaki yang bahkan tak bisa berjalan layaknya orang normal pada umumnya itu berada di pinggir jalan, menenteng dua buah kantong plastik bening masing-masing berisi tiga botol air mineral. Terdapat sobekan kertas kardus bertuliskan ‘tiga botol 10 ribu’ yang digantung menggunakan tali rafia di lehernya.

Dahi keriputnya mengilat. Keringat terus mengalir seiring dengan rasa penat yang menjalar di seluruh tubuhnya. Ia sedikit menyekanya menggunakan lengan kirinya, lantas bergegas mendekati sebuah mobil hitam yang berhenti dicegat lampu merah.

Lelaki tua itu mengangguk takzim, menawarkan air mineral di tangannya kepada si pengendara mobil. Sudah petang, sebentar lagi azanMagrib berkumandang. Barangkali saja, pengendara mobil itu tak sempat sampai ke tempat tujuannya, dan hendak berbuka puasa di jalan. Namun, tak ada tanggapan dari dalam sana.

Mendadak lampu lalu lintas berubah hijau.Lelaki tua itu menghela napas, lantas dengan kepayahan kembali ke trotoar. Kedua matanya masih tertuju pada mobil hitam yang perlahan melesat, ditelan kerumunan kendaraan lain.

Kedua kakinya gemetar, ia pun memutuskan duduk di trotoar sambil melepaskan kertas kardus yang dikalungkan di lehernya, lantas mengibas-ngibaskan kertas kardus itu ke wajahnya. Tarikan dan embusan napasnya terasa begitu berat. Tak ada jam tangan atau benda lain yang membantunya menunjukkan waktu, tapi langit cerah yang sedari tadi menyengatnya, perlahan mulai gelap.

Sekali lagi lelaki itu menarik-embuskan napas, ia pun bangkit dan dengan kepayahan berjalan pulang, menyusuri jalanan ibu kota yang kerontang sambil menenteng dua kantong plastik di tangannya. Sesekali ia berhenti, dan menengok ke belakang atau ke jalanan yang penuh sesak dengan kendaraan. Raut mukanya jelas begitu kecewa. Dalam benaknya terbayang wajah anak dan istri yang tersenyum semringah melihat kepulangannya sambil membawakan sesuatu untuk berbuka puasa.

***

Jam di pergelangan sudah menunjukkan pukul lima tiga puluh, itu artinya ia tak akan pulang tepat waktu jika laju mobilnya terus-terusan selambat ini. Ia kesal, entah apa yang menghambat di depan sana sehingga semua kendaraan di jalanan seperti telah mati. Belum lagi ponselnya sedari tadi terus saja berdering. Sungguh sangat mengganggu.

Ia pun berdecak, mengusap kasar muka menggunakan tangan kirinya, lantas mengangkat ponselnya sambil bersungut-sungut. “Emangnggak bisa, kamu paham sedikit aja? Jalanan tuh lagi macet banget… terserah, deh, kamu mau bilang apa.Yang penting aku cepet pulang, kan?Oke!” cecarnya sebelum memutus sambungan telepon.

Lampu merah. Itu juga salah satu penyebab dari keterlambatannya kali ini. Ia kembali mengumpat, jika saja pengendara di depannya tidak bodoh, pasti ia tak akan teradang lampu merah yang cukup lama seperti sekarang.

Ia memijit-mijit kepalanya yang mendadak terasa pening. Tiba-tiba seorang lelaki tua yang menenteng dua kantong plastik berisi air mineral mendekati mobilnya. Lelaki tua itu mengangguk lantas menawarkan air mineral itu. Ia melirik jam tangannya, sebentar lagi memang waktu berbuka. Tapi melihat penampilan lelaki tua itu… baju kumal dan masker kain lusuh. Tidak, kain itu lebih mirip kain lap yang jelas sudah penuh peluh dan begitu kotor. Kesan pertama yang ia dapat, menjijikkan. Orang-orang seperti inilah yang bisa membuat virus mematikan itu cepat menyebar.

Lampu mendadak berubah hijau, tanpa buang-buang waktu ia pun langsung tancap gas mengabaikan lelaki tua itu, yang terpenting sekarang ia harus cepat sampai di rumah, lagi pula anak istrinya di rumah sudah lama menunggu.(*)

Rabu, 5 Mei 2021

Jeevita, perempuan berdarah Jawa ini lahir di bulan Februari. Ia bertempat tinggal di Batang Jawa tengah dan sudah sejak kecil gemar membaca. Mimpinya memiliki buku solo yang terpajang di toko-toko buku besar di seluruh Indonesia. Penulis biasa aktif di sosial media Facebook bernama Jeje, dan Instagram Jeevita_21.

Komentar juri:

Cermin ini dibuka dengan rentetan kalimat yang mengajak kita berpikir, bahwa sesungguhnya di dunia ini banyak kisah yang terjadi dengan berbagai ragam versi dan alasan. Penulis seolah tengah mempersiapkan alam bawah sadar kita untuk memahami alasan dari kisah yang ingin ia tuturkan.

Dua situasi yang berbeda dari tokohnya disuguhkan dalam satu suasana urban yang kental. Seseorang yang tetap berada di jalanan, dengan protokol kebersihan yang jauh dari standar demi menghidupi keluarganya dan seseorang lagi yang terlindungi di dalam mobilnya, dengan keresahannya sendiri tentang keluarga yang tengah menunggunya.

Sangat menarik, bagaimana sebuah kisah yang singkat mampu mengajak kita merenung dan melihat kisah-kisah yang berbeda dari orang-orang di sekitar kita.

—FrekyMudjiono—

Lomba Cerpen Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply