Darsinah

Darsinah

Darsinah
Oleh
: Gloria Pitaloka

Darsinah menyeka keringat yang berleleran di wajahnya. Sinar mentari siang ini sangat terik. Di tengah-tengah sawah tanpa penghalang, panasnya sukses menyengat kulit. Sedikit lagi, sedikit lagi pekerjaannya akan selesai. Darsinah terus mengayunkan cangkul. Tidak dipedulikan lagi rasa lapar dan haus yang menderanya.

Terdengar teriakan Juragan Ningsih—istri Juragan Karto—dari arah gubuk di tepi sawah terus memanggil namanya, tanpa memberikan kesempatan ia menyelesaikan pekerjaannya. Suara Juragan Istri—demikian Darsinah memanggilnya—serupa petir di siang hari. Menggelegar, menyambar siapa pun yang mendengar.

Bukan apa-apa jika hanya teriakan. Namun, buah perbuatan yang akan menyusul teriakan Juragan Istrilah yang ditakutkan Darsinah. Maka, ia terus saja mengayunkan cangkulnya tanpa peduli teriakan itu. Tanah lumpur kecokelatan yang liat itu terasa mudah ketika bayang wajah Abimanyu—anaknya yang tergolek lemah di rumah menunggu sesuap makanan—seakan terlihat di lumpur yang terus dicangkulinya. Demi Manyu, putra semata wayangnya, apa pun akan dilakukannya. Seandainya saja, suaminya tidak meninggal ketika ia hamil, mungkin nasib mereka tidak akan sesusah ini.

Tepat matahari di atas kepala, selesai pula pekerjaan Darsinah mencangkul  petakan sawah yang terbentang begitu luas itu. Kelegaan menyelusup relung hatinya. Namun, tak bertahan lama. Lagi-lagi, teriakan istri juragan itu membuatnya tergopoh menaiki pematang.

Darsinah membersihkan tubuhnya yang berlepotan lumpur di selokan jernih yang mengalir, hingga bau khas tanah lunak yang tercium dari tubuhnya berkurang. Hanya air saja. Air yang mengalir dari saluran mata air yang naik-turun melewati perbukitan di atas sana, mengaliri sawah-sawah di bawahnya, kemudian mengalir lagi bercampur dengan aliran selokan. Membawa segala macam kandungan tanah dan apa pun yang orang buang di atas sana. Termasuk kotoran bebek dan warga yang membuang hajatnya di atas palang bambu.

Begitulah warga Desa Cihening hidup. Air itu bahkan sampai ke rumah-rumah warga. Mereka menggunakannya untuk mencuci pakaian, mandi, dan terkadang mencuci piring hingga beras. Sebab itulah, tak jarang mereka mendadak menderita sakit muntaber. Ketika di hulu sungai ada yang membuang hajat dan sedang menderita penyakit itu, maka nyaris seluruh warga desa di hilir terkena wabah yang sama. Seperti sudah menjadi tradisi. Meskipun diingatkan berkali-kali agar membuang hajat di kakus—sudah diwajibkan oleh pemerintah desa—mereka tetap tak peduli.

Sinariuen, sabeduk beres[1]?” Juragan Istri meletakkan sebungkus timbel dan satu bungkusan kecil berisi ikan teri bercampur kacang tanah, sayur nangka muda dengan bumbu kelapa, dan sambal goang.

Meski matanya melihat dan hidungnya menghidu aroma ayam goreng laja dan telur dadar, Darsinah tak berani berharap. Bahkan ia takut untuk memandang lama-lama, takut Juragan Istri murka. Ia sadar, makanan itu hanya untuk juragannya. Namun, makanan itu tak dibuka karena Juragan Karto tak kunjung datang ke gubuk di tepi sawah itu.

Darsinah dapat merasakan kegelisahan majikannya. Namun, ia memilih khusyuk makan, menikmati dan menghabiskan nasi sebanyak mungkin meski hanya berlauk sederhana, agar nanti malam perutnya tak berbunyi meminta diisi. Rasa lelah sejak subuh bekerja tanpa sedikit pun makanan, terobati dengan makan siangnya kali ini, meski tak biasanya ia kurang menikmati makanan. Ada hawa kegelisahan yang turut ia rasakan.

“Dar, apa kamu melihat suamiku?” Nyaris tersedak Darsinah mendengarnya. Cepat-cepat ia meminum teh menggunakan batok kelapa tempat biasa ia minum yang warnanya sudah hitam mengilap. Air teh hangat itu mendorong nasi di tenggorokan. Akhirnya, pertanyaan yang sangat ditakutinya itu keluar juga dari mulut majikannya. Darsinah menghela napas.

“Dar?”

“Ti-tidak, Juragan. Sa-saya tidak melihat juragan pameget[2].” Darsinah melengos, menghindari tatapan Juragan Istri.

“Kenapa kamu begitu gugup, Dar? Apa yang kamu ketahui tentang suamiku?” Majikannya memandang tajam, seakan hendak menguliti apa yang Darsinah sembunyikan.

“Ma … maaf, Juragan. Darsinah tidak tahu. Darsinah hanya diperintahkan juragan untuk menggarap sawah. Karena putra saya sedang sakit, subuh-subuh saya sudah berangkat.”

Juragan Istri terdiam mencerna ucapan istri dari almarhum bujangnya yang paling setia. Meski mulutnya galak, tetapi hatinya merasa kasihan pada nasib Darsinah yang menjadi janda tatkala mengandung sembilan bulan. Sementara kemiskinan setia menjadi hidup mereka. Tentu saja kemiskinan yang ia dan suaminya pelihara, karena dengan begitu mereka tetap setia mengabdi—karena  selamanya juragan-juragan kaya dibutuhkan oleh mereka. Namun, rasa kasihan itu semakin lenyap semenjak ia tahu suaminya suka menggoda Darsinah. Bahkan sebelum perempuan itu menjadi janda.

Setelah menjanda, tentu saja suaminya yang mata keranjang itu semakin gencar mendekati Darsinah. Jika saja ia tak memergoki mereka, tentu janda yang banyak diinginkan oleh lelaki di desanya itu sudah menjadi istri keempat suaminya.

Juragan Karto sudah memiliki tiga istri di desa yang berbeda. Juragan Istri yang merupakan istri pertama sudah tak mampu lagi menerima jika suaminya meminta izin agar janda Darsinah menjadi istri keempatnya. Satu-satunya jalan baginya adalah menekan Darsinah agar takut dan menghindar dari suaminya. Cukup sudah ia sakit hati dan sibuk menahan cemburu dalam tangis di kamarnya seorang diri, tatkala suaminya bergilir di rumah istri yang lain.

Juragan Istri terus merasakan kegelisahan semenjak semalam suaminya pergi tanpa pamit. Apa pun yang ia lakukan tak mampu membuatnya tenang. Ia berpikir, jika Juragan Karto pergi ke rumah istri yang lain, suaminya itu selalu pamit. Sedangkan tadi malam pergi dan menghilang begitu saja. Ada rasa curiga yang tumbuh pada Darsinah, secara ia orang yang mengaku terakhir kali ditemuinya karena disuruh mencangkul sawah. Namun, mengingat Darsinah memiliki anak yang sakit di rumah tak mungkin rasanya jika dia berbuat sesuatu pada suaminya.

Haruskah Juragan Istri mengutus pembantunya yang lain untuk mencari di rumah istri yang mana suaminya berada? Bukankah itu justru akan membuatnya semakin terlihat tak punya wibawa sebagai istri pertama?

Sebulan berlalu semenjak Juragan Karto menghilang. Para istri silih berganti datang mencarinya. Kabar sudah menyebar. Pencarian tetap dilakukan, bahkan Juragan Istri dan mertuanya membayar dukun terkenal. Namun, hingga kini tak ada hasilnya. Pencarian itu seakan sia-sia setelah menghabiskan banyak biaya.

Sementara Darsinah masih terus bekerja di sawah. Padi yang ditanam mulai menghijau dan rumput-rumput anakan semakin banyak menutupi lumpur. Akarnya seperti mencengkeram sesuatu yang terkubur dalam di bawah sana.

Pagi ini setelah meninjau sawah garapannya yang subur, Darsinah berpamitan pada majikannya hendak pulang ke desa asal kelahirannya. Darsinah memang bukan asli Desa Cihening, ia diboyong suaminya setelah menikah.

Juragan Istri sedih karena sejak menghilangnya sang suami, hanya Darsinah yang menemani dan menghiburnya. Semua keluarga dan tetangga menjauhinya. Hanya Darsinah yang memahami kesedihannya. Sementara mereka—keluarga dan para tetangga—malah menebar desas-desus, menuduhnya menghilangkan sang suami karena cemburu. Bahkan yang lebih parah lagi, ia dituduh menumbalkan Juragan Karto untuk pesugihan.

Dengan berat hati Juragan Istri melepas Darsinah. Ia membekali sisa upah terakhir dan tambahan uang santunan yatim untuk Abimanyu, putra mendiang bujangnya. Sekotak perhiasan, juga beberapa lembar pakaian terbaiknya ia berikan pada Darsinah untuk bekal hidup dan masa depan mereka. Semenjak menghilangnya sang suami, Juragan Istri tak bersemangat lagi mempertahankan harga benda. Suami yang dicintainya sudah benar-benar menghilang, mungkin tak akan pernah kembali. Para istri dan keluarga suami tak henti datang mengambil semua harta berharga miliknya. Perhiasan yang ia berikan adalah miliknya yang belum pernah dipakai. Jadi, keluarga suaminya belum tahu dan tak bisa merampasnya.

Kini, Juragan Istri memandangi sawah yang sedang menguning itu dalam kesendirian. Sawahnya sudah siap panen. Tiba-tiba ia menyadari ada gundukan aneh di tengah-tengah sawah. Gundukan tanaman padi yang terlihat berbeda. Lebih rimbun, lebih subur, lebih tinggi dengan bulir padi yang membunting. Padahal, di minggu-minggu pertama, padi di tengah itu tak mau tumbuh. Malah mati dan menguning seperti kepanasan. Ia menduga terlalu banyak pupuk kandang di sana, hingga Darsinah harus menandur ulang padi dengan bibit yang baru.

Juragan Istri masih memandang sawah yang biasa Darsinah dan bujangnya garap. Dulu, suaminya, Juragan Karto akan meninjau langsung para kuli dengan gagahnya dalam balutan pangsi hitam dan tudung laken kesayangannya. Namun kini, ia sendirian. Mengawasi sawah satu-satunya yang tersisa tanpa diambil mereka yang serakah, sebab terbukti jika sawah ini milik orang tuanya.

Hari ini, Mang Uhe, bujangnya yang sudah sepuh akan mencangkulnya. Ia sebenarnya tak tega melihat lelaki tua yang sudah setia mengabdi itu bekerja, tetapi tak ada pilihan lain. Kini tak ada yang mau lagi bekerja padanya karena takut hilang mendadak sebab isu pesugihan.

Berkali-kali bayangan suaminya dan kenangan indah tentangnya terus berkelindan. Namun, teriakan Mang Uhe membuatnya tersentak.

“Juragaaan! Juragan, kadieu[3], Juragaaan!”

“Ada apa, Mang Uhe? Kunaon gogorowokan[4]?” Tergopoh ia mengikuti langkah kaki Mang Uhe yang begitu gugup dan ketakutan. Apa yang terjadi, pikirnya.

Sesampainya di tengah sawah, Juragan Istri menjerit, lalu terkulai. Di sana, di tengah-tengah sawah yang tengah digarap ditemukan tumpukan tulang belulang manusia. Mang Uhe yang panik berteriak-teriak meminta pertolongan tetangga yang berada di sawah.

Sementara itu, Darsinah telah jauh meninggalkan desa. Meninggalkan sawah yang mengubur kisah kelam hidupnya. Saksi perbuatan durjana sang pembunuh suaminya. (*)

 

Catatan:

[1] sinariuen, sabeduk beres: tumben, setengah hari beres.

[2] pameget: laki-laki

[3] kadieu: ke sini

[4] kunaon gogorowokan: kenapa teriak-teriak

 

Bumi Subang, 30 Maret 2021

Gloria Pitaloka, ibu muda tiga anak, yang suka menulis dan mencintai lingkungan.

Editor : Inu Yana

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply