Choices

Choices

Choices

Oleh : Ken Lazuardy

 

“Kak Ana, Kakak nggak apa-apa? Aku masuk, ya.”

 “Ada apa, Din? Kamu seneng kan? Dari dulu selalu kamu yang disanjung-sanjung sama Mama Papa. Sepertinya mereka lebih sayang kamu daripada aku.”

“Nggak, Kak. Mama Papa pun sayang sama Kakak. Tadi mungkin mereka .…“

“Cukup! Aku udah ngerasa mulai dari kelahiranmu di rumah ini, semuanya berubah. Aku udah bosan dibandingkan denganmu, Din. Adik yang selalu berprestasi di sekolah, juara olimpiade matematika, bla bla bla. Apalah aku yang hanya punya hobi ngegambar. Gambar ilustrasiku menang aja, Mama Papa nggak ada bangganya, tuh!”

“Nggak gitu, Kak. Tapi … “

“Oh iya, satu lagi, kamu nggak pengen punya hobi lain apa, selain ngerebut? Perhatian, kasih sayang Mama Papa, mainan, semuanya. Sedari kecil aku harus rela mengalah dalam segala hal hanya karena aku seorang kakak.”

“Maafkan, Kak. Aku … “

“Nggak usah minta maaf, nggak guna. Buat apa kamu minta maaf? Aku udah muak sekarang. Keluar. Lebih baik kamu emang nggak ada!”

Napas Ana memburu, terlihat ia mengepalkan tangan erat, dahinya yang berkerut membuat sepasang alisnya menyatu, serasa ada bara panas yang keluar dari dada yang sudah lama ia simpan. Wajah Dini tertunduk, sambil sesekali menyeka air yang menetes dari mata madunya.

“Kakak jahat! Aku benci Kakak!” Dini pun keluar dari kamar kakaknya dan membanting pintu sekuatnya.

Keesokan harinya, Ana mencoba masuk ke kamar Dini, dia merasa tidak enak atas perkataannya semalam. Setelah mengetuk pintu kamar beberapa kali, tak ada sahutan. Gadis berpenampilan tomboy itu membuka gagang pintu kamar si adik, yang ternyata tidak terkunci. Betapa terkejutnya, karena ia tidak menemukan Dini di sana. Lebih aneh, ada seorang wanita yang kira-kira seumuran mamanya berdiri di dekat jendela kamar Dini.

“Siapa kau? Kemana Dini?” tanya Ana sambil beringsut mengambil beberapa langkah ke belakang.

Si wanita misterius bertopi lebar dan bergaun panjang serba hitam itu berbalik tanya pada Ana.

“Seharusnya kau berterima kasih padaku. As you wish, dia tak lagi ada di sini.”

“Bicara apa kau? Kau apakan Dini?”

“Hei, Nak. Kau sendiri yang berkata ingin dia menghilang ‘kan?

“I-iya, sih.”

“Aku punya tawaran baik untukmu. Jika kau ingin adikmu kembali akan kuberitahukan caranya. Namun, jika kau ingin adikmu tetap menghilang, kau tak perlu risau. Orang tuamu tidak akan menyadarinya. Aku akan mengambil semua ingatan  keduanya tentang adikmu bahkan semua memori di rumah ini seakan-akan dia memang tidak pernah dilahirkan. Bagaimana?”

Gadis yang kini berumur 17 tahun itu mulai berpikir, ada baiknya juga jika Dini memang tak ada lagi di rumah. Jika ini memang terjadi maka dia akan menjadi anak satu-satunya. Sebelum si wanita cantik misterius tiba-tiba menghilang dari pandangannya, wanita itu berkata bahwa ia memberi waktu kepada Ana selama 24 jam untuk memutuskan.

Tanpa berpikir panjang, Ana menemui kedua orang tuanya untuk membuktikan perkataan wanita itu. Ternyata benar, wanita itu tidak membohongi Ana, mama papanya sama sekali tidak mengingat perihal Dini, bahkan semua foto Dini di album atau di foto keluarga tak ada. Ana berteriak loncat kegirangan karena senang bukan main. Setelah setengah hari tanpa kehadiran Dini di hidupnya, semua memang terasa berbeda, dia sangat menikmati waktu bersama mama papanya.

Ana membaringkan tubuhnya di atas ranjang, ada perasaan bahagia setelah kepergian Dini. Ketika sedang memandangi dinding kamar, tiba-tiba pandangannya terpaut pada syal merah yang tergantung dekat lemari pakaian. Teringat kembali bagaimana Dini yang rela kembali ke sekolah karena syal merah Ana tertinggal, ia rela berjalan kaki di tengah hujan yang lebat. Gara-gara itu, Dini tidak masuk sekolah selama dua hari karena demam. Masih terngiang dalam benak Ana ketika Dini berujar, “Aku sayang sama Kakak. Aku akan melakukan segalanya agar suatu saat Kakakr bisa menyayangiku.”

“Hai, Ana. Apa kau berubah pikiran?” Lamunan Ana tentang adiknya buyar seketika karena terkejut mendengar dan melihat si wanita misterius muncul tiba-tiba di kamarnya.

“Kau mengagetkanku saja! Aku sebenarnya suka keadaan yang seperti ini, sungguh. Namun rasanya ada yang salah. Aku tak sungguh-sungguh menginginkan Dini menghilang.” Wajah Ana tertunduk lesu. “Aku akan mengambil opsi pertama. Akan ingin adikku kembali.”

“Oke. Kita sepakat.”

Pooff! Si wanita menggandeng tangan Ana, dan dalam hitungan detik, Ana berpindah ke dalam suatu ruangan yang gelap. Sendirian. Bahkan wanita misterius itu tidak tampak lagi di sampingnya, hanya suaranya saja yang terdengar.

“Hai, gadis cantik, apa kau bisa mendengar suaraku?”

“Ada di mana aku ini? Apa yang kau lakukan?”

“Jangan khawatir, aku hanya membantu untuk melakukan apa yang menjadi pilihanmu. Kau hanya perlu menaklukkan dua rintangan untuk bisa menyelamatkan adikmu. Jika kau gagal, maka tak hanya adikmu, kau pun harus ikut denganku. Namun jika berhasil, kau bisa membawa adikmu kembali.”

“Baik. Aku terima tantanganmu.”

Seketika semua kegelapan tadi berubah lebih terang, hawa panas menyeruak. Ana baru menyadari bahwa dia berada di ujung sebuah titian yang terbuat dari batu-batu besar yang berjajar melayang tak beraturan. Di bawahnya terdapat lava yang berpijar kemerahan, mengalir dan meletup-letup.

“Tantangan pertama, lewatilah jembatan batu ini sampai batu terakhir. Kau tak bisa mundur, karena batu yang telah kau lompati akan segera menghilang begitu kau menginjak pada batu selanjutnya. Masing-masing batu memiliki pertanyaan, kau harus menjawab dengan melompati batu jawaban pilihan yang ada di depanmu. Jika salah, maka kau dinyatakan gagal. Kau hanya memiliki satu kesempatan untuk mengulang jawabanmu.”

“Baiklah, aku akan melewatinya, demi Dini.”

“Sungguh aneh, ya, manusia, yang semula begitu benci, kini malah mati-matian menyelamatkannya. Baiklah, langsung saja. Pertanyaan pertama, benda apa yang paling adikmu sukai? Lompatlah ke batu yang di sebelah kanan depan jika jawabannya boneka, lompatlah ke batu yang di sebelah kiri depan jika jawabannya buku.”

“Sangat mudah.” Ana segera melompat ke batu yang berada di sebelah kiri depannya.

“Aku memang tak begitu menyayanginya tapi aku sangat tahu dia lebih suka mengoleksi buku daripada boneka.” Jawaban Ana benar. Setelah melompat, Ana menoleh ke belakang, dia menelan ludah ketika batu yang telah dia pijak sebelumnya jatuh ke dalam lava panas, tak mampu ia bayangkan bagaimana jika dirinya yang terjatuh.

“Oke, pertanyaan kedua, hal apa yang paling adikmu takutkan? Lompatlah ke batu yang di sebelah kanan depan jika jawabannya kegelapan, lompatlah ke batu yang di sebelah kiri depan jika jawabannya laba-laba.”

Pertanyaan kali ini cukup membingungkan Ana, karena dia belum pernah tahu apa yang paling ditakuti oleh adiknya. Namun tiba-tiba dia teringat Dini yang menangis ketakutan ketika listrik padam, oleh sebab itulah papanya mengganti semua lampu rumah dengan lampu darurat yang ketika listrik padam akan tetap menyala. Jawaban Ana kembali benar hingga pertanyaan keempat. Tibalah Ana di batu pertanyaan terakhir.

“Pertanyaan terakhir. Siapakah orang yang paling adikmu benci saat ini? Lompatlah ke batu yang di sebelah kanan depan jika jawabannya orang tuamu, lompatlah ke batu yang di sebelah kiri depan jika jawabannya dirimu, Ana.”

Sudah jelas bagi Ana. Bahwa malam sebelum menghilang mereka bertengkar hebat,  Dini juga sempat mengatakan bahwa sangat membenci Ana. Gadis yang wajahnya penuh peluh dengan baju yang basah sempurna itu, tak ragu melompat pada batu di sebelah kiri depannya, namun sayang, batu itu terjatuh. Jawabannya salah! Ana kini menyadari suatu hal, bahwa Dini tidak betul-betul membencinya. Justru ternyata ia membenci kedua orang tuanya. Ana pasrah tubuhnya jatuh bersama batu yang ia lompati. Sambil memejamkan mata, Ana merasakan hawa yang semakin panas membakar kulit, namun tak pernah ia rasakan hatinya sesejuk ini sebelumnya.

Ketika Ana membuka matanya, ia terkejut mendapati dirinya masih utuh dan kembali berada di atas batu pertanyaan kelima. 

“Setiap manusia berhak memiliki satu kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang telah ia perbuat. Rupanya kau lupa bahwa aku pernah mengatakan bahwa kau memiliki satu kesempatan untuk mengulang kembali jawabanmu,” terdengar suara si wanita misterius itu. Ana merasa beruntung, akhirnya dengan yakin, ia pun melompat ke batu yang berada di sebelah kanan depannya. Berhasil! Ana selamat dan menyelesaikan rintangan yang pertama. Kini ia kembali di ruangan yang gelap seperti mula ia berada di tempat ini.

“Selamat, Ana. Kau mampu menyelesaikan rintangan pertama. Rintangan selanjutnya adalah kau akan bertemu dengan Dini, dan ajaklah pulang.”

“Semudah itu?” Ana mengernyitkan dahi, entah apa yang dirasakannya. Antara bingung dan senang karena ia tak lagi melalui hal-hal yang  membahayakan nyawanya seperti tantangan sebelumnya.

“Oh, tentu tidak, gadis manis. Kau memang akan bertemu Dini. Akan tetapi tidak hanya satu Dini, akan ada banyak Dini yang mengelilingimu. Kau harus menemukan mana adikmu yang asli. Kau hanya boleh memberikan tiga pertanyaan yang mungkin bisa membantumu menemukan Dini yang asli, tetapi kau tak boleh menyentuhnya. Jika kau memilih Dini yang salah, maka sesuai kesepakatan sebelumnya kau dan adikmu akan berada di sini selamanya bersamaku. Bagaimana? Apa kau siap?”

I have no choice. I’ll do it,” jawab Ana dengan tegas.

Ana saat ini dikelilingi oleh beberapa Dini. Semuanya sama bahkan baju yang dikenakan. Ana mereka-reka tiga pertanyaan yang sekiranya akan dijawab oleh adiknya yang asli. Pertanyaan yang hanya Ana dan Dini lah yang tahu.

“Kak, aku lah adikmu.” ujar salah satu Dini.

Dini yang lain pun ikut menyahut, “Bukan, jangan percaya mereka, aku yang asli, tolong percayalah, Kak.”

“Cukup! Kalian semua diam. Hanya aku yang tahu. Sekarang jawab pertanyaanku. Apakah yang paling suka aku lakukan?”

Semua Dini menjawab tetapi dengan jawaban beragam, ada yang menjawab bersepeda, berolahraga, dan menggambar. Ana terheran-heran, entah bagaimana ada yang bisa tahu karena Dini yang menjawab ‘menggambar’ lebih dari satu. Ini hal yang cukup sulit bagi Ana. Ia terus berpikir pertanyaan tentang dirinya yang lain.

“Baiklah, yang menjawab selain menggambar, mundurlah.”

Dari sepuluh Dini, kini hanya bersisa enam. Jumlah yang masih cukup banyak.

Ana kembali bertanya, “Apa warna syalku yang kau ambil ketika tertinggal di sekolah dulu?”

Semua sudah menjawab dan kali ini hanya tersisa dua Dini di hadapannya. Hanya dua yang mampu menjawab ‘merah’ yang menjadi jawaban benar dari pertanyaan Ana. Kali ini pertanyaannya harus tepat. Jika Ana memilih Dini yang salah, maka tak ada kesempatan lagi yang tersisa.

“Baiklah, yang terakhir. Hal apa yang tidak pernah aku katakan kepadamu?”

Dini pertama mengatakan, “Aku membencimu. Tak mungkin kau katakan hal itu padaku.” Sedangkan Dini kedua mengatakan, “Aku menyayangimu. Karena kau tak pernah mengatakan hal itu padaku.”

Tanpa banyak berpikir, Ana pun memeluk dan menggandeng Dini yang asli. Sebuah keajaiban pun terjadi. Semua kembali seperti semula. Ana terbangun dari tidurnya, ia masih tak percaya apa yang baru saja ia alami. Entah nyata atau mimpi. Ana merasa bersyukur bahwa ia mendapati dirinya baik-baik saja. Segera ia bergegas ke kamar Dini, perasaan lega merebak dalam dadanya ketika mengetahui adiknya baik-baik saja dan sedang berdiri di dekat jendela. Ana pun berhambur memeluk adiknya.

            “Eh, ada apa, Kak?”

            “Din, maafin aku, ya. Aku yang salah. Selama ini nggak pernah tulus menyayangi kamu. Aku terlalu egois, padahal kamu sama sekali nggak pernah membenciku betapapun aku tak mengacuhkanmu. Terima kasih, ya. Aku mungkin hanya iri padamu.”

Dini masih terheran melihat sikap kakaknya yang tidak biasa itu. Ia sama sekali tidak mengingat apapun. Ana masih meyakini petualangan itu nyata, karena ia melihat bayangan si wanita misterius itu tersenyum dan menghilang. (*)

 

Ken Izzun Nadhifah Lazuardy. Kelahiran 29 November 1990 di Pasuruan dan berdomisili di Magelang. Lulusan sarjana Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang. Seorang Ibu Rumah Tangga yang memilliki dua buah hati, dan baru menekuni dunia tulis menulis. Salah satu impiannya adalah bisa menghasilkan karya yang bisa menginspirasi banyak orang yang kelak jadi warisan bagi anak-anaknya. Jadikan setiap aksara yang kita tuliskan, mampu menginspirasi pembaca untuk melakukan kebaikan adalah motto menulisnya. Jika ingin berkenalan lebih lanjut bisa menghubungi via Whatsapp 082234570275 atau mengunjungi akun media sosialnya, FB : Ken Izzun Nadhifah Lazuardy dan IG : ken_lazuardy

Editor : Nuke Soperijono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply