Buku Harian Helenina
Oleh: Adele Moon
Terbaik ke-7 Tantangan Lokit 9
Semua manusia yang pernah hidup pasti akan mengalami kematian, baik itu karena kehendak Tuhan atau kemauannya sendiri. Pieter van Rodwijk, arsitek asal Belanda itu sudah tenang di pembaringan terakhirnya setelah dua hari diautopsi. Tuan Pieter ditemukan tewas mengenaskan saat istrinya yang bernama Beatrix hendak mencuci muka. Dia diduga melakukan tindakan bunuh diri dengan menusuk bagian perutnya menggunakan pisau dapur.
Sepulangnya dari pemakaman, aku dan lima orang tetangga lain menemani Nyonya Beatrix di rumahnya. Sungguh malang wanita ini, air matanya belum surut sejak kepergian Tuan Pieter.
“Sudahlah, Nyonya Beatrix. Mungkin itu sudah takdir untuk Tuan Pieter,” bujukku sambil mengelus punggung Nyonya Beatrix.
Nyonya Beatrix menggeleng lemah, lalu menyeka air mata. “Tidak, Corrine. Suamiku mana mungkin melakukan tindakan bunuh diri. Selama ini dia tidak pernah memiliki masalah berat. Dia baik-baik saja. Aku yakin, Ferdinant telah menyewa seseorang untuk membunuhnya. Sejak suamiku bekerja di kantor barunya, pria itu selalu menganggapnya sebagai saingan,” tandasnya.
Aku menghela napas mendengar perkataan Nyonya Beatrix. Memang, kesedihan kerap menggiring pikiran kepada prasangka buruk. Namun, itu bukan berarti bisa seenaknya menuduh seseorang tanpa bukti, kan?
Sejenak, aku menyapu pandangan ke seisi ruangan. Ada yang aneh. Ke mana putri semata wayang Nyonya Beatrix? Aku tidak melihat Helenina di sekitar sini.
Ketika mataku mengarah ke tangga, tampak seorang gadis kecil berambut pendek sedang mengintip kami. Sekilas matanya terlihat membelalak, tubuhnya gemetar dan bermandikan keringat. Ia berlari menuju lantai atas setelah melihatku.
“Helenina.” Aku segera bergegas untuk mengejar gadis itu ke lantai atas, tapi Nyonya Beatrix telah memegang tanganku lebih dulu.
“Kau mau ke mana, Corrine?” tanya wanita itu dengan suara parau.
“Nyonya, aku mau melihat keadaan Helenina. Mungkin dia butuh teman saat ini,” ucapku sambil melepas genggamannya dari pergelangan tanganku.
“Kau benar. Kalau begitu, tolong kau cari tahu keadaan dia,” ujarnya.
Aku mengangguk.
Tanpa membuang banyak waktu, aku menaiki satu per satu anak tangga. Memanggil-manggil nama gadis itu hingga tiba di lantai atas. Tidak ada siapa pun di sini. Hanya lorong kosong dengan dua pintu kamar di sisi kanan dan kiri.
“Helenina,” sahutku seraya membuka pintu sebelah kiri. Tidak ada Helenina di sana. Hanya ruangan sepi dengan ranjang kusut, lemari, dan satu foto sepasang suami istri yang terpasang di dinding sebelah kiri. Ternyata ini kamar Nyonya Beatrix.
Hm, mungkin gadis kecil itu ada di kamar lain. Aku pun berbalik badan, lalu membuka pintu lain. Tampak sebuah ruangan dengan ornamen serba merah muda serta boneka di sekitarnya. Ini pasti kamar Helenina.
“Helenina … di mana kau?” Aku menyisir setiap penjuru ruangan, tapi gadis itu tidak bisa ditemukan.
Sebelum memutuskan keluar dari kamar, aku melihat sebuah buku harian berwarna merah di atas meja belajarnya. Aku penasaran dengan apa yang ditulis Helenina di buku hariannya itu.
Untuk mengentaskan keingintahuan, aku berjalan menuju meja belajar dan membuka buku hariannya. Dilihat dari lembaran yang telah diisi tulisan, sepertinya buku ini masih baru.
Aku mulai membaca lembar pertama.
Brooklyn, 1 November.
Ini hari pertamaku menginjakkan kaki di Amerika. Aku sangat senang bisa bertemu dengan orang-orang baru yang ramah di sekitar sini.
Wah … tidak disangka gadis itu menyukai tempat ini. Ah, sebaiknya kubuka lembar berikutnya.
Brooklyn, 2 November.
Hari pertama sekolahku sangat buruk. Stephanie dan teman-temannya mengejekku habis-habisan, bahkan dia memasukkan tasku ke dalam got sepulang sekolah. Lihat saja! Aku pasti bisa membalasnya.
Aku terkekeh sebentar membaca lembar kedua ini. Pendatang baru akan membalas dendam? Hm, menarik. Lembar ketiga sepertinya lebih seru.
Brooklyn, 3 November.
Haha … hari ini aku bisa tertawa sepuasnya. Si perundung murahan akhirnya lenyap. Stephanie memang bodoh. Pantas saja dia mudah diperdaya agar datang ke taman belakang sekolah. Di sana aku bisa membunuhnya dan tidak ada seorang pun yang mengetahui tindakanku.
Sejenak aku terperangah dan menahan napas. Rasanya mustahil bila seorang bocah berusia sembilan tahun sanggup melakukan pembunuhan. Ini pasti gurauan Helenina belaka. Aku yakin.
Brooklyn, 4 November.
Aku sangat kesal! Stephanie sudah lenyap, tapi kenapa masih ada orang menyebalkan di dunia ini? Tante Clarissa menggoda ayahku di taman. Sialnya, Ayah malah balas merayunya. Aku ingin sekali mengatakan hal ini pada Ibu, tapi aku takut ucapanku hanya dianggap lelucon. Apa aku harus membunuh Ayah dan Tante Clarissa juga?
Astaga! Aku benar-benar tidak habis pikir dengan semua tulisan ini. Membunuh dan membunuh. Ini lebih mirip dengan catatan pribadi seorang psikopat daripada buku harian gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Tinggal dua halaman lagi yang berisi tulisan Helenina. Aku harus membacanya sampai tuntas.
Brooklyn, 5 November.
Malam ini sangat mencekam. Aku menuruni tangga dan berjalan mengendap-endap mencari asal suara gaduh itu. Saat hendak memasuki kamar mandi, aku melihat seorang wanita menusuk perut ayahku. Aku kira itu adalah Tante Clarissa, tapi dugaanku salah. Orang itu sangat mirip dengan perempuan yang tinggal di rumah seberang jalan. Aku panik dan berlari menuju kamar, lalu mengunci pintu. Aku takut orang itu mengejarku sampai sini.
Aku memang membenci Ayah, tapi tidak sedikit pun ingin membunuhnya. Bagaimanapun juga dia ayahku.
Aku mendesah kasar. Melirik kanan-kiri, lalu membuka lembaran keenam.
Brooklyn, 7 November.
Sesuai janjiku, aku baru bisa menulis lagi di buku ini setelah berhasil melihat jelas wajah pembunuhnya. Iblis itu datang sendiri ke rumahku dengan menyamar sebagai malaikat. Dia menghibur ibuku seolah tidak memiliki rasa bersalah sama sekali. Menyebalkan! Aku akan mencabut nyawamu hari ini juga, Corrine Houston!
Sial! Kenapa dia harus menulis namaku juga sih? Bukti ini harus dilenyapkan. Jika tidak, kesenanganku menghabisi orang asing akan terhenti. Aku sangat membenci mereka sejak mengetahui ayahku tewas ditembak oleh seorang imigran dari Eropa.
Aku pun merobek enam lembar catatan itu sampai menjadi serpihan kecil, lalu melemparnya bersama buku harian Helenina ke luar jendela.
“Helenina! Keluar kau!” Aku menyisir lagi seisi ruangan, lalu mengintip ke kolong ranjang.
“Aku di sini, Corrine Houston.” Suara cempreng itu tiba-tiba mengagetkanku dari belakang.
Aku menoleh dan segera berbalik. Tampak Helenina sedang mengangkat tangan sebelah kanannya yang memegang pisau kater. Matanya menatapku tajam seperti serigala yang hendak menerkam mangsanya.
“Kau harus mati, Corrine!” Helenina menikamkan pisaunya ke arah badanku.
Aku dengan gesit berhasil mencekal tangannya. Persetan dengan dentuman keras di dalam dadaku. Meredam keganasannya lebih penting daripada menyerahkan nyawa kepada bocah nakal ini.
Kukerahkan seluruh tenaga dan memelintirkan tangan kanan Helenina meski mendapat perlawanan keras darinya. Mata pisau perlahan mengarah ke tubuh Helenina. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dan mendorong lengan Helenina sekuat mungkin sampai pisau itu menusuk tepat ke dadanya.
Helenina terkapar di hadapanku. Matanya melotot, darah segar mengalir dari dada dan mulutnya. Kudekatkan jari di depan lubang hidungnya, tak ada embusan udara sama sekali dari sana. Aku yakin, Helenina sudah tewas.
“Kau memang berpotensi menjadi sepertiku, Helenina. Sayangnya, kali ini kau tidak mengenal siapa mangsamu,” ucapku sambil tersenyum sinis menatap mayat Helenina.
Aku bergegas keluar dari kamar Helenina. Menuruni anak tangga dengan memasang wajah panik sampai orang-orang di bawah sana menatapku heran.
“Ada apa, Corrine? Apakah Helenina baik-baik saja?” tanya Nyonya Beatrix, suaranya terdengar gemetar.
Aku menghampiri mereka dengan tergesa-gesa. Membelalakkan mata sambil menggetarkan bibir agar terlihat meyakinkan.
“He—Helenina … Helenina bunuh diri, Nyonya Beatrix,” jelasku terbata-bata.
Kedua mata Nyonya Beatrix membesar. “Tidak mungkin! Jangan coba-coba bercanda denganku, Corrine!” bentaknya.
“Aku serius, Nyonya. Sebaiknya kita ke kamar Helenina,” tandasku.
Nyonya Beatrix segera menaiki tangga meski langkahnya terlihat goyah. Begitu juga dengan lima orang lainnya yang bergegas menuju lantai atas. Ternyata mereka semua ikut panik mendengar kabar dariku.
Ha, akhirnya hari ini bukti dan saksi sudah lenyap. Untuk sekian kalinya, jejak kebencianku terhadap orang asing pasti sulit terungkap. (*)
Ciamis, 5 November 2018
Adele Moon, Gadis pencinta malam dan penikmat literasi. FB: Adele Moon
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diselenggarakan di grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata