Bocah Penjual Ayat

Bocah Penjual Ayat

Bocah Penjual Ayat
Oleh : Erien

Ali komat-kamit, sementara satu telunjuknya bergerak dari kanan ke kiri di tiap lembar buku kecil di pangkuan. Sudah sekitar setengah jam ia melakukan itu. Dua kali lembar berganti, Ali tak menunjukkan tanda akan berhenti. Ia bahkan tak memperhatikan kantong plastik yang sedikit terbuka, memperlihatkan sisa tisu dan pulpen yang belum terjual. Bukan sisa sebenarnya, karena dari pagi Ali baru menjual dua bungkus tisu dan sebuah pulpen. Baru enam ribu uang yang ia kantongi sampai siang ini.

Jalanan cukup sepi. Orang-orang mungkin tak berminat berpanas-panasan di salah satu jalan yang membelah pasar modern ini. Hanya ada satu-dua orang melewati bocah itu begitu saja, melirik sinis. Tak peduli.

Fattaqulloha mastatho’tum wasma’uu wa athii’uu wa angfiquu khoirol li`angfusikum, wa may yuuqo syuhha nafsihii fa ulaaa`ika humul-muflihuun ….“*

Ali berhenti sejenak. Ia menatap lampu lalu lintas di seberang trotoar tempat ia bersandar. Namun, matanya kosong seakan-akan membayangkan satu peristiwa di masa lalu. Satu napas diembuskan pelan. Senyum yang dipaksakan hadir, sebelum akhirnya ia menggeleng-geleng dan kembali pada Al-Qur’an kecil di pangkuannya.

“Masih ngaji, Li?” Satu di antara dua pengamen cilik yang melewati Ali menepuk bahunya.

Ali mengangguk sambil menyudahi bacaannya. Ia menutup dan mencium Al-Qur’an itu dengan khidmat, lalu menyimpan di ransel yang tergeletak di belakang punggungnya.

“Kalian nggak ngamen?” Ali menoleh pada dua bocah lelaki yang berjongkok di sebelahnya.

“Udah. Ntar disambung lagi. Laper aku.” Bocah yang tadi menepuk bahu Ali menjawab sembari membuka kantong plastik warna merah yang dibawanya. “Yok, makan bareng, Li!” ajaknya.

Senggolan spontan oleh bocah satunya ke lengan bocah yang menawarkan makan seolah memberi kode kepada Ali untuk tidak menerima ajakan makan itu. “Enggak, makasih. Aku mau keliling dulu.” Ia berdiri, membersihkan celana dari debu trotoar. Dengan ransel di gendongan dan keresek di tangan, Ali menyeberang.

“Ali! Sini!”

Baru juga sampai di seberang jalan, Ali mendengar panggilan dan menoleh mencari sumber suara. Dari salah satu warung makan, satu pemuda berkemeja cokelat dan bercelana jin melambaikan tangan kepadanya. Meski tak kenal, Ali berjalan mendekati pemuda itu.

“Saya, Om?” Dengan sopan Ali mengangguk. Ia duduk di sebelah lelaki itu setelah terlebih dahulu dipersilakan. Ransel kembali ia turunkan di dekat kaki, bersebelahan dengan keresek hitam berisi tisu dan pulpen.

“Kamu masih rajin baca Qur’an?”

“Alhamdulillah, masih, Om.”

“Kamu yang kemaren viral di medsos itu, kan? Fotomu lagi ngaji di trotoar itu terkenal banget, lho.” Lelaki yang kemudian memperkenalkan diri dengan nama Bastian itu menepuk-nepuk bahu Ali.

Sekitar sebulan lalu, foto Ali yang sedang mengaji memang menjadi viral di media sosial. Ia sendiri tak tahu. Kepala Keamanan Pasar yang memberi tahu. Entah siapa yang mengambil fotonya, entah siapa pula yang menyebarkan. Ia hanya tahu setelah itu hampir semua orang pasar mengenali namanya. Pun beberapa orang asing yang sesekali menyapa.

Seminggu sesudah viral, Ali didatangi sekelompok orang. Mereka berjas, dan beberapa membawa kamera, seperti layaknya seorang wartawan. Ali dihujani banyak pertanyaan, terutama tentang kebiasaannya mengaji di trotoar. Kebiasaan yang dilakukan sesudah salat Zuhur, Asar, dan Magrib. Hanya tiga waktu salat itulah masa ia masih ada di jalan sebelum akhirnya pulang ke gubuk tak jauh di belakang pasar modern itu. Di sana ia tinggal bersama neneknya. Orang-orang berjas itu lalu berfoto bersamanya. Mereka juga memberikan amplop berisi uang sebesar lima juta rupiah dan tentu saja tak lupa mereka tersenyum lebar saat kamera-kamera itu mengambil gambar.

Bastian melambaikan tangan di depan wajah Ali yang tampak melamun. “Hoi! Malah ngelamun. Makan, ya. Aku pesankan nasi sayur pake telur dadar untukmu. Temani aku ngobrol di sini sebentar.”

Ali yang tergeragap hanya bisa mengangguk dan mengucapkan terima kasih saat sepiring nasi bersama es teh manis datang untuknya. Selepas berdoa, Ali makan dengan mata berbinar. “Alhamdulillah … rejeki,” desisnya nyaris tak terdengar.

“Kamu tahu berita nggak enak sesudah keviralan fotomu itu?” Bastian bertanya sembari menyalakan rokok di tangannya.

“Enggak, Om.” Dengan mulut penuh nasi, Ali menjawab.

“Habis kamu didatengi orang berjas itu, terus mereka kasih uang, terus foto-foto sama kamu, kamu tahu beritanya sesudah itu?” Bastian menekuk satu kaki di kursi.

“Enggak, Om.”

“Habis nerima amplop itu, kamu diikutin bapak-bapak. Dia ngeliat kamu ngasih uang itu ke anak-anak pengamen di seberang sana, yang tadi ngobrol sama kamu. Padahal kata orang-orang mereka doyan ngelem, ngerokok juga. Kan, nggak bener tuh. Trus, kamu juga ngasih orang gila di deket tempat sampah belakang pasar ini, kan? Trus kamu ngasih ke tukang parkir di depan pasar ini, kan? Orang yang ngikuti kamu itu posting videonya di medsos, dan jadi viral lagi.”

Ali mengangguk-angguk sambil meneruskan makan. “Terus, Om?” Nasi berhamburan ketika ia membuka mulut, balik bertanya kepada Bastian.

“Ya … orang-orang bilang kamu itu sengaja ngaji biar orang-orang seneng, biar dapat uang. Mana uangnya malah kamu kasih-kasihkan orang lagi. Emang udah ngerasa kaya?”

Kali ini Ali menggeleng. Ia menyeruput es teh manis, lalu melanjutkan makan. Digigitnya sepotong besar telur dadar dan kembali menyuap nasi.

“Kata mereka, kamu itu bocah penjual ayat. Ngaji untuk dibayar. Kamu manfaatin simpati orang-orang biar pada ngasih uang ke kamu. Bener nggak, tuh?”

Ali tak mengangguk ataupun menggeleng. Ia menyuapkan nasi terakhir ke mulut dan mengunyah dengan cepat. Es teh manis yang tinggal separuh gelas dihabiskan dalam beberapa teguk. Bocah sembilan tahun itu mengelap mulut dengan punggung tangan kanannya. Lirih terdengar di telinga Bastian. “Alhamdulillah ….”

Bastian yang semula tampak berapi-api, jadi ragu-ragu. Jangan-jangan anak ini sebenarnya tidak tahu apa yang ia tanyakan. Semua yang ia ceritakan tidak dipahami oleh Ali. Lelaki itu mematikan rokoknya dan memperhatikan wajah bocah berkaus putih lusuh dan bercelana cokelat pendek itu.

Ali tiba-tiba menoleh, memandang tepat di mata Bastian. Kedua bibirnya menyunggingkan senyum. Rasa bersalah yang entah kenapa menyelusup di hati Bastian membuatnya salah tingkah dan menghindari kuncian mata Ali.

“Kata mereka … mereka itu siapa, Om?”

“Ya, orang-orang yang melihat video itu. Mereka komentar seperti itu, trus nge-share video dengan keterangan yang kurang lebih sama.” Bastian tak tahu apakah Ali mengerti semua ucapannya, ia memutuskan berpikir seolah-olah Ali paham.

“Oh … Om percaya?”

Gelagapan dengan pertanyaan Ali, Bastian hanya mengedikkan bahu. Ia meraih cangkir kopi dan meneguknya.

“Itu Putra sama Adi yang ngamen, aku kasih uang buat beli obat ibunya yang sakit. Enggak buat ngelem atau ngerokok kok. Aku ikut beli obatnya. Kalau orang gila di belakang itu, sebenernya nggak gila, Om. Dia nggak punya uang buat pulang ke rumahnya di desa. Sekarang udah nggak ada, kan? Udah pulang dia. Kalau Pak Asep tukang parkir, dia punya utang buat bayar lahiran istrinya, Om. Aku denger Pak Asep cerita sama temennya.”

Bastian mengernyit.

“Emang kamu nggak butuh uang? Ngerasa kaya, bagi-bagi uang begitu?” Bastian penasaran.

“Enggak. Mereka lebih butuh. Allah kasih uangnya lewat aku. Ya udah, aku kasihkan. Aku udah cukup kok. Bisa makan, bisa tidur nyenyak, bisa solat sama ngaji. Kata Nenek, kalau nanti kita yang butuh, ya tinggal berdoa dan usaha. Emang kita butuh apa lagi, Om?”

Bastian terdiam.

“Aku ngaji ya ngaji aja, Om. Aku nggak minta difoto, nggak pengen viral. Makanya, uang itu mungkin datang bukan karena aku butuh. Aku taunya yang butuh itu Putra sama Adi, terus Pak Kirno orang gila itu, sama Pak Asep. Ya udah, berarti itu uang mereka.”

Bastian mendengarkan dengan kagum. Ia meraih cangkir kopinya.

“Nenek nggak kamu kasih?”

“Dikasih dong. Tujuh puluh ribu, hasil jual tisu sama peyek waktu itu.” Ali tampak tersenyum bangga. “Aku sekarang jual tisu sama pulpen. Kalo ada yang bilang aku jual ayat, ya gimana cara jualnya, Om?”

Bastian hampir saja tersedak karena geli dengan jawaban Ali. Sementara itu, beberapa orang melewati bangku mereka dan melirik Ali dengan sinis. (*)

 

Kotabaru, 4 Maret 2021

 

Note :

* Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

fattaqulloha mastatho’tum wasma’uu wa athii’uu wa angfiquu khoirol li`angfusikum, wa may yuuqo syuhha nafsihii fa ulaaa`ika humul-muflihuun

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taghabun 64: Ayat 16)

 

Erien. Belajar menulis dengan baik tiap harinya. Kenali lebih dekat di akun FB Maurien Razsya.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply