Bekal Makan Tiara

Bekal Makan Tiara

Bekal Makan Tiara

Oleh : Dhilaziya

 

Aku tidak bisa berkata-kata, hanya mampu menarik napas yang tiba-tiba terasa begitu berat. Seolah ada godam yang menekan dadaku, menyumbat jalan napas, dan membuatku terengah menahan tangis. Aku tidak pernah suka melihat kemarahan, mendengar kata-kata keji, serta terluka oleh kalimat-kalimat petaka. Terlebih jika itu ditujukan pada mereka yang tangan kanannya belum lama mampu melingkari kepala untuk menyentuh telinga sebelah kiri. 

Bahkan jika semua mungkin memang karena kesalahan Tiarabegitu nama bocah perempuan yang sedang dimarahi gurunyatetap saja aku tak rela melihat pias wajahnya. Bola matanya berputar-putar menghindari tatapan Bu Widya. Jari-jari kecilnya bergerak saling meremas tanpa henti, kadang juga meremas rok, kadang mengepal, kadang menggunakan kerudung untuk mengusap wajahnya. Kedua belah bibirnya mengatup erat, meski kadang aku melihat getar yang coba ditahan. Bocah itu serupa melati yang kerontang kekurangan air. 

Hari ini semua siswa kelas dua SD Bina Insani sedang mengikuti pembelajaran di luar kelashal yang kerap dilakukan di hari Sabtu. Biasanya kegiatan semacam ini cukup dilakukan di halaman sekolah dengan melakukan berbagai permainan. Umumnya jenis permainan zaman dulu seperti gobak sodor, lompat tali, egrang, atapun congklak. Semua dilakukan agar anak-anak lepas dari kejenuhan belajar selama lima hari sebelumnya. Kali ini anak-anak itu diajak mengunjungi museum yang berada di dekat kantor bupati. 

Aku bukan guru di sekolah itu, hanya seorang tutor tamu. Setiap Sabtu aku libur bekerja, maka daripada diam saja di rumah, kurasa menghabiskan waktu bersama anak-anak akan lebih menyenangkan. Aku memilih mengisi jam bebas mereka dengan mendongeng, hal yang amat kusukai sedari kecil. Kukira itu yang membuat anak-anak selalu senang bersamaku. Menurut guru-guru di sana kedatanganku adalah hal yang cukup ditunggu. Entah aku atau ceritaku yang mereka tunggu, sama menyenangkannya bagiku. Sehingga ringan saja aku mengucap setuju saat Kepala Sekolah berkata butuh tenaga tambahan untuk mengawasi sekitar seratus lima puluh siswa dalam pembelajaran outdoor

Tiarabocah yang sedang tertegun-tegun mendengar omelan Bu Widya yang memang terkenal galak dan tak pandang bulu dalam menggertaksekarang menunduk. Mungkin dia menyesali kejujurannya. Mungkin dia berpikir jika saja dia diam dan tidak bilang kalau tidak membawa bekal makan siang, dia tidak perlu dimarahi seperti sekarang. Tidak  masalah jika dia tidak makan, itu lebih baik daripada dimarahi dan tetap lapar. Akan tetapi di sekolah ini setiap hari diajarkan bahwa setiap orang harus jujur, bahwa berbohong tidak baik, dan berdosa. Berbohong juga akan membuat yang melakukannya terus berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya. 

Destateman sekelas Tiara yang duduk di sebelahnyamenggoyang-goyangkan pahanya menyentuh-nyentuh paha Tiara. Mungkin dia bermaksud menenangkan dan memberi tahu Tiara agar jangan bersedih. Dia melakukannya sambil menunjukkan bekal makan siang miliknya. Sepertinya dia mau berkata bahwa nanti makanlah bersamaku. Aku melongok isi kotak makan Desta. Ada tiga ruang di kotak makannya berisi nasi, orak-orik sayur dengan irisan bakso dan telur puyuh, juga sepotong paha ayam goreng. 

Tiara juga menatap bekal Desta tapi tidak ada perubahan pada raut mukanya. Kurasa dia tidak senang meski aku tebak rasa makanan itu lezat dan Desta ikhlas berbagi dengannya. Wajah Tiara tetap saja sendu dan aku yakin tak salah lihat bahwa yang baru saja diusap melalui punggung tangannya adalah air mata. 

Aku tidak bisa langsung ikut campur sebab Bu Widya masih berdiri di dekat kedua gadis kecil itu. Akan menurunkan wibawanya jika aku seketika menunjukkan dukungan pada Tiara. Jadi aku hanya bisa diam, menggigit bibir, dan berpura-pura melambai entah pada siapa setelah sebelumnya menyusut air mataku. Lagipula posisi sebagai tutor tamu membuatku harus lebih bisa menahan diri dalam situasi semacam ini. 

“Desta! Jangan kamu bagi bekalmu! Biar sekali ini Tiara nggak usah dibantu. Sudah sering dia kelupaan apa saja!”

Gadis kecil membelalak dengan mulut terbuka begitu mendengar kepada siapa suara Bu Widya ditujukan. Tidak keras memang, Bu Widya hanya bicara dengan nada rendah. Mungkin hanya bisa didengar oleh kami bertiga yang memang duduk agak jauh dari kerumunan siswa lain, berteduh di bawah pokok bougenville yang tumbuh di salah satu sudut halaman museum. Perlahan tangan kanan Desta meletakkan penutup kotak bekal untuk menyembunyikan makanannya dari pandangan. Tiara juga sedikit menggeser duduknya, seolah menganggap kehadirannya sendiri tidak layak. Gadis itu memalingkan muka. Kali ini bibirnya gemetar, pasti dia berusaha keras meredam tangis. Sesuatu berdesir di dalam dadaku, nyeri. 

Memang bukan sekali dua Tiara menjadi topik pembicaraan guru karena hal semacam ini. Seragam yang keliru dikenakan atau tugas yang alpa dikerjakan adalah hal yang jamak dia lakoni. Apalagi untuk mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan, terlampau sering sudah dia merepotkan teman dengan harus berbagi peralatan praktek sebab dia tidak membawanya. Sekadar segulung benang jahit pun tetap saja dia menjawab tak punya ketika ditanya.

Pernah sekali waktu saat aku meminta agar semua siswa di kelas Tiara dan Desta membawa kertas origami, lagi-lagi hanya Tiara yang tidak mampu menunjukkan miliknya padaku. Padahal ada tenggang waktu sepekan sebelum mereka bertemu lagi denganku. Aku pun sudah meminta tolong pada wali kelas agar mengingatkan perihal kertas origami ini kepada semua siswa di hari Kamis juga Jumat. Rupanya terhadap Tiara tetaplah berlaku pengecualian. 

Pada sebuah kesempatan setelah salat Dhuha, yang memang dibiasakan oleh sekolah ini, aku pernah sengaja duduk di sebelah Tiara karena ingin menanyakan hal-hal yang telah lama amat ingin kuketahui kebenarannya. Tentang mengapa kancing bajunya yang terlepas tak kunjung dipasang kembali sehingga salah seorang guru berinisiatif melakukannya karena merasa tak tega. Tentang mengapa dia sering sekali lupa membawa mukena pada hari Senin, mengingat setiap Sabtu semua mukena milik siswa perempuan wajib dibawa pulang dan dicuci. Tentang mengapa kuku tangannya sering kotor sehingga ia sering mendapat hukuman dipukul perlahan dengan penggaris. Tentang pekerjaan rumah dari berbagai mata pelajaran yang lebih sering tidak ia kerjakan atau jikapun dikerjakan tidak selesai seluruhnya. Tentang mengapa dia selalu diam jika hal-hal yang ingin kutanyakan itu ditanyakan oleh teman-temannya. 

Satu kalimat jawaban dari Tiara waktu itu membungkam seluruh pertanyaanku yang lain. Aku bertanya padanya apakah dia punya adik dan gadis kecil itu menjawab dia punya tiga orang adik. Aku tidak sanggup bertanya lagi ketika dia menyebut umur adik-adiknya yakni lima, tiga, dan yang terkecil baru lahir sekitar lima bulan silam. Rasa lunglaiku sempurna saat dia berkata ayahnya bekerja di Jakarta dan mereka di rumah hanya bersama ibu. Aku memujinya sebagai kakak yang hebat dan anak yang luar biasa ketika dia berkata dia harus membantu menjaga semua adiknya supaya ibunya bisa memasak sambil mengoperasikan mesin cuci, membereskan pekerjaan rumah lain, atau untuk sekadar mandi. Ketika kemudian aku bertanya, apakah dia pernah bercerita pada guru lain tentang keadaannya, Tiara menjawab pernah. 

Sejak itu Tiara menjadi spesial bagiku. Jika aku meminta dia dan teman sekelasnya membawa sesuatu maka diam-diam aku sudah menyiapkannya untuk gadis itu. Melihat senyum dan sorot terima kasih dari matanya adalah salah satu alasan aku suka berjumpa dengan hari Sabtu. Beberapa orang temannya juga melakukan itu sebab Tiara anak yang menyenangkan sebenarnya. Dia senang membantu dan tak mudah marah. 

Yang paling sering menolong tentu Destakawan sebangku Tiara. Dia adalah anak tunggal yang berlimpah perhatian dari ibunya, yang memilih berhenti bekerja semenjak mulai mengandungnya. Berangkat sekolah selalu bersama sang ayah yang sekalian pergi bekerja di kantor pemerintahan, pulang selalu dijemput ibu yang sudah selalu siap di depan pagar sekolah sebelum bel tanda usai jam sekolah berdentang. Ibu yang selalu segera menyambut putrinya dengan pertanyaan tentang apa yang terjadi di sekolah dan menawarkan aneka hal untuk dilakukan sesampainya nanti di rumah. Sesekali ibunya Desta juga berbagi olahan kudapan yang menjadi komoditi usaha dagangnya kepada guru dan teman-teman sekolah putrinya. Desta selalu menjadikan Tiara orang pertama di sekolah yang mencicipi hasil masakan ibunya.

Sebenarnya sudah kusiapkan bekal untuk Tiara hari ini karena aku memang menduga jika dia akan lupa membawa bekal, lebih tepat jika dikatakan bahwa sang ibu tak sempat menyiapkan menu untuknya. Pihak sekolah meminta semua siswa membawa olahan sayur sebagai pendamping nasitidak boleh hanya nasi dan lauk saja. Mungkin hal itu cukup repot bagi ibu Tiara. Dari cerita Tiara setiap pagi dia dan adiknya sarapan dengan nasi dan telur dibubuhi kecap, sesekali dengan sayur jika sisa sayur kemarin sore masih ada. Ibunya juga tidak selalu memasak, lebih sering mengandalkan tukang sayur keliling yang membawa olahan matang siap santap. Kata Tiara, dia kerap tak tega meminta ini dan itu kepada ibunya. Menurut gadis kecil yang tutur katanya lembut dan santun itu, wajah ibunya selalu terlihat lelah sekali. Dia bercerita sambil mengusap air mata. 

Sebenarnya boleh saja jika bekal tidak dibawa dari rumah. Beberapa orang tua yang kebetulan tinggalnya tidak jauh dari lokasi museum bisa saja mengantarkan bekal makan anaknya tepat waktu makan siang sesuai jadwal kegiatan yang telah diedarkan. Akan tetapi untuk kasus Tiara? Hal semacam itu nyaris sebuah kemustahilan. 

Perhatianku kembali tertuju pada Tiara dan Desta ketika tangan kiriku digoyangkan perlahan oleh Desta. Rupanya dia telah memanggilku berulang kali dan aku tidak mendengar karena terperangkap lamunan. Bu Widya telah berada di barisan siswa lain barangkali tadi beliau berpamitan dan aku tak mendengar. 

“Bu Fatma, boleh pinjem hapenya? Desta mau telpon ayah. Ayah Desta kan kantornya dekat sini, di sebelah situ.”

Aku mengangguk. Aku mengetahui tempat bekerja ayah Desta berlokasi di deretan yang sama dengan museum benda-benda purbakala yang kami datangi. Aku mengetik nomor telepon milik ayah Desta sesuai dengan yang tertera di halaman terdepan buku tulis miliknya. Sudah menjadi ketentuan setiap siswa agar selain mencantumkan nama dan alamat rumah juga menuliskan nomor yang bisa dihubungi. 

“Ayah, ini Desta pake hape Bu Guru. Bekal ayah udah dimamam ‘lum? Boleh buat aku? Punyaku kukasih Tiara. Dia lupa bawa bekal.” (*)

  1. 26052021

 

Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

Gambar: https://pin.it/7zPho3G

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply