Another Earth

Another Earth

Another Earth

Oleh: Mila Athar

Terbaik ke-4 Tantangan Lokit 13

Waktu melesat jauh menembus batas cakrawala. Langit tak lagi membiru, yang ada hanya pekat hitam seolah akan menumpahkan titik kulminasi kapan saja. Matahari tegak, congkak karena semakin dekat dengan bumi. Cita-citanya sejak dahulu mungkin akan segera menemukan muara. Mencumbu bumi dengan mesranya.

Jangan lagi kau mencoba membuka peta dunia. Karena ia telah bergeser tidak sesuai tatanan lagi. Hamparan hutan yang menghijau kini telah berganti dengan gersang dan berwarna kecokelatan. Di sini, aku hanya ingin mengungkapkan kisah, bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja. Ia sedang menyimpan berbagai penyakit yang telah berakumulasi dan tinggal menunggu ajalnya.

***

Sean hanya berjalan serampangan di jalan berbau busuk. Masker berbentuk moncong yang dikenakan, hampir bergeser dari hidung dan membahayakan dirinya sendiri. Butuh waktu tiga jam untuk menempuh perjalanan hingga ia tiba di tempat beradanya sekarang. Gunungan sampah. Kanan kiri terlihat petak-petak dari plastik dan kardus reyot yang berbau apak. Jangan kau kira ia adalah seorang pemulung, bukan. Profesi itu berlaku puluhan tahun lalu. Ia masuk ke gunungan sampah bagian utara. Di sana, berbentuk kotak dari plastik yang disusun rapi diperkuat kardus, ia masuk. Bau menyengat menusuk hidungnya meski Sean telah memakai masker. Apa maskernya telah rusak, ia menghela napas. Butuh menabung dua belas purnama untuk membeli moncong menyebalkan tersebut.

“Bean telah dimasukkan ke lubang sampah di koridor 21. Napasnya telah berhenti di waktu dia harusnya berangkat untuk membangun saluran udara bersih di koridor 7.”

Sekonyong-konyong lelaki lusuh masuk ke kotak plastiknya, memberikan informasi yang setiap hari membuatnya sesak. Mereka harus selalu siap menunggu giliran, usia manusia zaman sekarang tak lebih di angka 4.

Sean mengangsurkan air berwarna cokelat pekat. Bukan susu atau kopi, namun itu memang air yang ia dan teman-temannya minum setiap hari.

Lelaki lusuh tersebut menerima kemudian menenggaknya dalam sekejap. Sean mengambil gelas kemudian ikut meminum air yang dahulu orang menyebutnya sebagai air putih. Mungkin ia perlu mengganti sebutan itu sekarang menjadi air cokelat, air comberan, air sialan. Ah, entahlah tidak penting menyebutnya.

“Kurasa kau harus mulai membeli masker, aku sudah sering memperingatkanmu dari dulu.”

“Aku tak sudi, untuk apa bertahan hidup dengan keadaan bumi yang menjijikkan seperti ini.”

Lagi-lagi ucapannya tak pernah digubris lelaki berperawakan besar itu. Sudah sering kali ia melihat lelaki lusuh tersebut mengeluarkan muntahan berwarna kehijauan. Tersengal-sengal memegang dada kirinya.

“Aku pamit, aku akan kembali ke tempat asalku.”

Dia bergerak keluar dari kotak reyotnya dengan senyuman getir yang tertahan di bibir. Mata hitam itu menyorot seolah ingin mengatakan suatu hal. Namun tanpa kata lelaki lusuh itu melangkah pergi. Sean acuh, ia memutuskan untuk memejamkan mata sejenak.

Sean merasa baru 37 menit ia memejamkan mata. Ada suara berisik dari luar mengganggu istirahatnya. Ia segera menajamkan pendengaran. Suara peluit panjang. Pertanda buruk. Sean bergegas keluar dari kotak plastiknya dan bertanya kepada salah satu anak yang sedang hilir mudik panik.

“Apa yang terjadi, siapa yang mati?”

Sean mencekal tangan anak berambut cokelat kemerahan itu.

“Bean dan Dean telah ditemukan terbujur kaku di saluran koridor 7 tadi pagi.”

“Siapa kau bilang, Dean? Jangan mengada-ada,” ujarnya geram.

Sean melotot dan mencengkeram tangan anak tersebut kencang. Dadanya berdetak cepat. Tak digubrisnya meski wajah anak itu meringis sakit.

“Iya, orang-orang bilang mereka berdua kemungkinan tanpa sengaja menghirup gas beracun di dalam saluran. Kalau kau tak percaya, lihat saja di koridor 21. Mayat mereka akan segera dilempar ke sana.”

Pegangan Sean terlepas begitu saja. Tubuhnya merosot di atas sampah busuk berbau menyengat. Ia menutup wajahnya. Pasti, orang-orang salah. Dean. Mustahil. Bagaimana bisa, jika lelaki bernama Dean itu baru saja menemui dan berbicara dengannya beberapa menit lalu. Lelaki lusuh kurang ajar.

***

Nam memandang hamparan padang sampah di sekitarnya. Sebelah barat dan timur sampah menggunung dari mulai limbah plastik, serat kain, karton, logam berat tercecer di setiap sudut. Sedangkan bagian utara dan selatan botol plastik dan baja berjumlah ratusan terhampar. Sampah-sampah itu seolah pohon yang terus tumbuh dari tanah dan mendominasi di seluruh wilayah. Nam tiba-tiba mengingat buku usang milik  moyangnya. Buku bergambar yang menceritakan kejayaan masa lalu moyangnya.

Dulu, berpuluh tahun lalu nenek moyangnya adalah seorang petani sukses. Setiap hari berton-ton gabah mereka kirim ke wilayah-wilayah lain. Gabah, petani, istilah yang begitu asing di telinga Nam. Ia hanya mendengar istilah itu melalui kisah-kisah pengantar tidur dan dari buku usangnya. Bahkan tempat yang kadang menghijau atau menguning tersebut dahulu berhektare-hektare jumlahnya. Tempat indah serta menawan untuk menanam itu kini telah tenggelam dengan lautan sampah. Nam mencoba mengingat istilahnya di buku. Awah, nawah, lawah. Oh iya, sawah namanya. Hamparan padang hijau yang konon berisi tanaman ajaib. Kabarnya menjadi tanaman pokok, lezat, dan mengenyangkan. Kini di bumi, tanaman tempatnya hidup tidak ada lagi. Hanya tinggal sejarah dan diceritakan dari mulut ke mulut. Orang-orang yang mendengar kisah kelezatan tanaman itu sekarang hanya bisa mengelus perut dan menahan liur.

“Nam, sedang apa di situ, kemarilah,” tiba-tiba dari kejauhan ada sosok kecil, hitam legam serta berperut buncit memanggilnya. Nam memutuskan melangkahkan kaki ke arah tumpukan sampah berbentuk onggokan menjulang tinggi. Tubuhnya yang kerdil melangkah mantap. Seolah ketika pijakannya tak kuat, ia akan terjerembap.

“Ada kabar baik. Aku menemukan hewan melata cukup banyak di bagian plastik-plastik sebelah sini. Cepatlah, ini akan menjadi santapan kita selama beberapa hari.”

Nam hanya termangu memandang sosok di depannya. Lam yang begitu senang dengan hewan melata favoritnya. Hewan yang tinggal di sela dalam sampah. Untuk mendapatkannya, kita harus mengeruk lebih dalam. Lam suka sekali membakar hewan tersebut. Hewan yang menurut Nam terasa hambar di lidah. Ia memilih memakan plastik lembek daripada hewan bakar yang disukai Lam.

“Cepatlah, jangan hanya diam saja. Jika kau membantuku, kemungkinan besar kita akan memiliki cadangan makanan dalam beberapa hari.”

Ia jadi membayangkan gambar sebuah makanan di buku moyangnya yang berbentuk hampir sama dengan makanan favorit Lam. Hanya saja dari gambar tersebut hewan atau benda tersebut berwarna kuning dilengkapi air kuah agak kecokelatan dengan taburan sesuatu di atasnya. Ia merasa makanan itu pasti juga hambar. Nam heran, bagaimana nenek moyangnya yang dulu katanya makmur dan sejahtera, bisa memilih makanan sejenis itu.

Ketika asyik memandang Lam,  Nam kaget ketika ada hewan kecokelatan bergerak-gerak tak tentu arah meloncat di atas kakinya yang legam. Lam dengan tangkas mengambil hewan tersebut. Tampak jelas tangan Lam yang mengerut dengan kuku kehitaman. Tanpa rasa jijik, Lam segera memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan lahap.

Tiba-tiba bunyi gemuruh dari dalam tanah menyentak mereka. Nam dan Lam berpandangam. Mata kecokelatan mereka meredup menyiratkan kekhawatiran yang sama. Jangan lagi. Harusnya masih dua pekan lagi mereka masih bisa menjelajah wilayah itu. Namun, suara menggeretak dari dalam tanah tersebut semakin jelas dan terasa dekat di bawah kaki mereka. Tanpa aba-aba, mereka serentak berlari dengan kecepatan penuh. Tubuh Nam dan Lam yang kempis, hanya tinggal tulang berbalut kulit, berpacu gesit di tengah deru yang semakin menggelegar. Mereka tak mau mati konyol. Mati ditelan oleh timbunan sampah berlendir.  Sampah yang telah mendekam di dalam perut bumi berjuta-juta tahun lamanya. Seolah ingin lahir menunjukkan kehadirannya ke permukaan bumi. Mereka terus berlari dengan sekuat tenaga tanpa berniat menengok ke belakang.

“Ah, sial. Kita tak jadi menyantap makanan favoritku malam ini,” ujar Lam gemas.

***

Badan tegap berambut sebahu berenang dengan gesit di tengah lautan berwarna kehitaman. Dia gesit menyelam ke dasar, muncul ke permukaan untuk mengambil napas dan kembali untuk menyelam. Di tangannya ada jaring yang cukup besar berwarna cokelat kehitaman. Beberapa kali dia meludah untuk mengenyahkan rasa pahit serta getir di lidah. Telah hampir dua jam dia berenang di air yang berwarna pekat. Namun, entah mengapa tidak ada satu hewan laut apa pun yang singgah di jaringnya. Keningnya berkerut. Dia mencoba menyelam agak dalam. Namun, hasilnya nihil. Hanya gelap, sepi tanpa pergerakan hewan-hewan laut seperti biasanya. Seolah samudra itu hanya berisi dirinya seorang.

Lelaki tegap itu akhirnya memutuskan untuk naik. Tubuhnya meminta untuk diistirahatkan. Dia muncul di tepi pantai dan menyugar rambut sebahunya. Dia menjejak butiran pasir yang berwarna ungu kehitaman dan mendudukkan dirinya di situ.

Ombak hitam berbuih putih bergulung-gulung menerjang kakinya. Dia memandang lautan samudra kehitaman yang terhampar luas. Pemandangan ini adalah makanan sehari-harinya sejak dia berusia kanak-kanak. Dia ingat, bagaimana pertama kali kaki kecilnya merasakan hangat air hitam dengan butiran pasir di bawahnya. Mata kecilnya memandang antusias hamparan air berwarna hitam. Saat itu dia tidak menyadari hidupnya akan berubah.

Dia ingat, ketika ayahnya berlari memeluknya di depan pintu. Para tetangganya telah berkumpul dengan wajah panik disertai keheranan. Lelaki itu memeriksa wajah dan seluruh tubuhnya. Wajahnya menyimpan sejuta tanya.

“Kamu selamat, Liu. Syukurlah.”

Kalimat itu masih terngiang jelas sampai saat ini. Belakangan, setelah menginjak dewasa Liu paham, bagaimana kelegaan ayahnya melihat dia masih bisa hidup setelah beberapa orang melihatnya bermain di pinggir laut hitam. Laut hitam yang telah menelan banyak nyawa termasuk ibunya. Sejak kejadian itu Liu dijuluki “Dewa Samudra”.

Menurut dongeng yang entah nyata atau tidak, konon katanya samudra itu dulunya berwarna jernih kebiruan. Orang-orang bebas hilir mudik memakai alat yang bisa mengapung di atas laut. Bahkan setiap hari ratusan orang dari berbagai wilayah suka bermain di tepi pantai itu, bermain ombak atau sekadar berjemur menghangatkan badan. Ada beberapa keluarga bahkan suka menggelar tikar, makan bersama disertai canda tawa di bawah pohon yang rindang.

Jika tidak hanya sekadar dongeng, Liu membayangkan hal itu pasti indah sekali. Laut pasti tidak akan sesenyap ini. Para pengunjung yang datang akan menawarkan kebahagiaan. Dataran ini akan kembali ramai. Namun, itu hanya angannya semata.

Laut di hadapannya telah menjelma menjadi monster menakutkan. Entah, siapa yang harus disalahkan. Liu memutuskan untuk beranjak pulang. Dia merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Ulu hatinya terasa nyeri beberapa hari ini. Dia bangkit, namun wajahnya tertegun ketika melihat jejak seperti rantai di pergelangan kaki kanannya. Dia mencoba meraba dan mengusapnya. Namun, jejak itu tak mau hilang.

Liu menggeleng dan memutuskan bangkit untuk kembali ke pondoknya. Dia merasa mual dan pandangannya terasa berkunang. Perlahan, dia mencoba melangkah dan memutar kepalanya ke kiri dan kanan beberapa kali. Ada kecewa yang coba Liu hempaskan, sekali lagi dia pulang dengan tangan hampa.

Sejak beberapa pekan ini, samudra memang tidak seperti biasanya. Liu merasa warna hitamnya semakin terasa pekat sehingga menyulitkan pandangannya ketika menyelam. Rasanya airnya pun semakin jauh lebih pahit dan getir.

Liu sudah tiba di dataran tempatnya tinggal. Dia memandang puluhan rumah yang telah ditinggalkan para pemiliknya. Rumah-rumah usang dari daun rumbia yang rata-rata hampir roboh. Sebagian penduduk dataran ini memang lebih memilih untuk pergi dan mencari penghidupan lain. Namun, masih ada tiga belas orang termasuk Liu yang memutuskan untuk tinggal. Liu dengar, dataran sekitar pantai di wilayah lain telah ditinggalkan belasan tahun yang lalu dan kini menjadi dataran mati sejak laut berubah menghitam.

“Liu, bagaimana hasilnya? Apakah kami bisa makan hari ini?”

Suara lirih dari sesepuh desa menyadarkan lamunannya. Tak terasa kakinya telah menjejak di depan pondokan. Lelaki berkain putih itu menunggu sambil menatap cemas ke arahnya.

“Maaf, Hui. Saya belum berhasil mendapatkan ikan pagi ini. Namun, sore saya akan kembali. Mungkin gelombang samudra lebih tenang.”

Lelaki tersebut mengangguk dan beranjak tanpa berkata apa-apa lagi. Liu tak bisa menyalahkan Hui. Dia hanya ingin memastikan ketiga belas penduduk bisa mengisi perut mereka.

Benar saja, sore hari walaupun langit berwarna kelabu, Liu memutuskan untuk kembali berenang ke laut hitam. Liu memutuskan mengacuhkan sakit di tubuhnya. Menyelam dalam, lebih dalam, dan semakin dalam. Dengan bergerak lincah dia bergerak ke sana kemari. Matanya nyalang mengamati dasar kaut. Entah bagaimana, di tengah kepekatan laut hitam Liu bisa jeli mencari hewan-hewan laut.

Liu menyadari ada suara pergerakan di bawah kakinya. Dia tersenyum, dan segera menebar jaring. Namun, tiba-tiba ulu hatinya kembali terasa nyeri. Paru-parunya terasa sesak. Pandangannya agak menggelap. Dia mencoba bergerak ke atas untuk kembali ke permukaan. Akan tetapi, bagian kakinya terasa kebas. Liu tidak menyerah, tangannya mencoba bergerak sekuat tenaga. Sampai beberapa meter lagi sebelum permukaan, dia sudah merasa tak kuasa. Pandangannya sudah sempurna menggelap. Oksigen sudah tidak dia rasakan. Di tengah semua hal yang dirasakannya, Liu melihat seberkas wajah orangtuanya yang sedang tersenyum ke arahnya. Wajah mereka begitu teduh, membuat Liu merasakan kelegaan yang luar biasa. Dia tersenyum bahagia. Tubuhnya selama beberapa detik memancarkan cahaya terang di kegelapan laut hitam. Janjinya telah dia penuhi. Anak samudra, senantiasa berjuang di tengah kepekatan, sepenuh jiwa raga, hingga akhir hayat memeluknya. (*)

Klt, 24 November 2019

Gadis biasa, mencoba menjadi luar biasa lewat aksara.

 

Komentar juri:

Dari awal kita langsung disuguhi dengan diksi yang cakep, umpatan yang serasa tepat pada tempatnya, karena ya, sialan bumi yang penuh penyakit. Deskripsinya juga keren, sampai-sampai seakan disodori gambar gunungan sampah dan lautan hitam langsung saking real-nya. Tiga kisah yang dibungkus dalam satu cerpen ini sayang untuk dilewatkan.

-Fitri 

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply