Anak Lelaki dan Kembang Api
Oleh : Mila Athar
Satu tahun melesat begitu cepat. Masih ia ingat hingar bingar kembang api tahun lalu. Menyisakan ratap dan juga pilu. Azril, putra semata wayangnya meregang nyawa terkena petasan besar milik tetangga. Peristiwa itu seolah menjadi awal petaka bagi keluarganya. Bagaimana tidak, ia yang telah begitu lama mendambakan seorang putra, ketika ia telah memilikinya, tiba-tiba terenggut begitu saja dari tangannya.
Azril masih begitu mungil. Tiga tahun setengah usianya. Baru senang-senangnya berlari dan berceloteh tanpa henti. Belum juga tahu, apa itu pergantian tahun baru. Ia hanya tahu, suara memekakkan telinga itu menarik perhatiannya. Warna-warni di angkasa, menyisakan kepul asap di atas sana. Azril bertepuk tangan riang, tanpa tahu ‘benda’ itu yang akan merenggut nyawanya. Benda yang harusnya melesat ke angkasa, menyasar tubuh kecilnya tanpa sisa. Tubuh kecil itu terpental dengan darah segar di kepala. Tangan dan kakinya terkena luka bakar yang menganga. Tahun baru menjadi petaka.
Meski mereka dengan segera membawa tubuh kecilnya ke rumah sakit, nyawanya telah terbang mengangkasa. Buah hati mereka kembali kepada pemiliknya. Lantas, mau menyalahkan siapa?
Ketika, ia berteriak membabi buta ke rumah bertingkat tiga di sebelah selatan pemukiman. Pagar itu tertutup rapat, para penjaga berjumlah enam orang berpakaian hitam menahannya yang meronta-ronta.
“Saya ingin bertemu tuan kalian. Keluar kau pengecut!”
Teriakannya hanya sebatas angin lalu bagi mereka. Tubuhnya diseret paksa, tak memberi kesempatan menuntut balas. Ia geram, dari celah gerbang, masih bisa ia lihat mereka masih saja melanjutkan acara. Hingar bingar musik disertai tawa membahana. Oh, beginikah kelakuan orang kaya. Tahun baru durjana, menyebabkannya begitu nestapa. Tapi mereka masih merasa baik-baik saja. Dimanakah hati nurani mereka?
Malam itu juga, keluarganya memutuskan untuk mengubur Azril. Malam tahun baru, kelabu. Ia masih ingat. Ketika iringan hitungan satu, dua, tiga persis dimasukkan anaknya ke liang lahat. Mereka bersorak sedang mereka di sini berlinang air mata.
Esoknya, sebuah amplop tebal datang dari Pak RT. Amplop itu bertuliskan nama seseorang yang sangat ia benci.
“Terimalah, Din. Itu sebagai kompensasi dari Pak Dendi.”
Ia hanya geram menatap tubuh setengah baya di hadapannya. Kompensasi dia bilang, nyawa anaknya tak bisa dikompensasi dengan apa pun.
“Maaf Pak, saya tidak bisa menerimanya.”
Ia mengangsurkan amplop tersebut. Berusaha menahan amarahnya. Ia masih berusaha menghormatinya sebagai sesepuh di sini.
“Terimalah, mungkin kau membutuhkannya Din. Pak Dendi tidak sempat menemuimu karena dia harus segera ke luar negeri pagi ini.”
“Maaf, Pak. Saya menolak, tolong jangan paksa saya.”
Ia bergegas masuk ke dalam rumah. Bukan maksud tidak menghormatinya. Tetapi semakin lama ia berada di situ, amarahnya semakin menggelegak. Ia tak ingin Pak RT menjadi sasaran amukannya. Ia hanya mampu mengepalkan tangan.
Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa lelaki itu tidak berniat untuk menemuinya dan mengutus orang lain. Sesibuk apa dia, cih pengecut. Mulai saat itu, ia sangat membenci momen pergantian tahun. Selama beberapa tahun sejak itu, ia akan segera mengunci rumah dan mematikan lampu cepat-cepat jika malam pergantian tahun telah tiba.
Perempuan itu bersenandung, menimang-nimang gendongan yang ada ditangan. Kertas berbentuk terompet yang telah lusuh tak berbentuk ia acung-acungkan ke dalam gendongan. Berbicara dan tertawa pada bayi yang berada di dalamnya. Bayinya hanya terdiam tak menanggapi.
“Zril, udah bobok ya? Kok diem aja. Hari ini kita mau merayakan tahun baru, ayo bangun.”
Ia mengguncang gendongannya pelan. Meraba wajah yang ada di dalamnya kemudian tertawa.
“Bangun, katanya mau melihat kembang api di angkasa. Ini terompetnya juga sudah emak belikan.”
Ia tertawa, lama kelamaan tawa itu semakin kencang dan melengking. Cukup lama ia tertawa seperti itu dan berubah menjadi sedu sedan. Isakannya begitu menyayat dan memilukan hati siapapun yang mendengarnya.
Dari sudut ruangan seorang lelaki hanya memandangnya dengan mata nanar. Tujuh tahun sudah peristiwa memilukan itu terjadi. Namun, ternyata luka itu belum juga mengering. Masih terngiang jelas, wajah istrinya yang pias mendengar putranya telah tiada.
Secara perlahan, ia menghampiri perempuan yang dicintainya itu. Mengelus jilbab hitamnya yang telah memudar. Kemudian memeluknya penuh sayang. Hanya ini yang bisa dilakukannya sebagai suami.
Pelan-pelan, ia mengambil boneka panda berwarna hitam kumal dari gendongan istrinya. Meletakkan boneka itu secara perlahan di sudut meja. Perempuan itu hanya terdiam dan tak berniat memberontak. Ia memandang wajah teduh itu dan tersenyum.
“Rahma, sejatinya kita harus mengkhilaskan. Mungkin ia diambil karena pemilikNya lebih sayang.”
Kalimat itu untuk kesekian kalinya ia ucapkan. Kalimat penghiburan yang tak habis ia mantrakan sebagai penghiburan. Perempuan itu memandangnya dengan tatapan kosong. Kembali mengambil gendongan dan boneka di atas meja. Bersenandung lirih dengan air mata yang membekas di pipi.
Ia menghela napas. Setiap hari ia kuat dengan sebuah keyakinan. Bahwa waktu terus bergerak. Dan hidup pada akhirnya terus berubah setiap detiknya. Berubah atas skenario dari yang kuasa. Kita hanya bertugas menjalaninya sebaik mungkin selama napas masih dihela. Tidak perlu menunggu tahun berganti angka. Dirayakan begitu rupa, namun tanpa makna di dalamnya.
Kini, lelaki itu telah mengikhlaskan. Ia yakin anak lelakinya telah bahagia. Tidak ada lagi dendam. Setiap hari tanpa menunggu penghujung tahun ia akan selalu berdoa untuk kebaikan keluarganya. Melafalkan lantunan-lantunan zikir. Ketika malam pergantian tahun, ia akan lebih mendekatkan diri padaNya dengan doa tanpa putus. Mengoreksi diri dari segala bentuk kealpaan diri dan bertekad lebih baik lagi di hari-hari berikutnya.(*)
Mila Athar. Hanya seorang gadis biasa yang berusaha mengurai aksara yang terserak di semesta.