America’s Greatest Sailor
Oleh: Evamuzy
Hai. Aku ingin menceritakan sebuah kisah. Tentang anak laki-laki kebanggaanku. Pe namanya. Begitu biasanya kupanggil untuk mengajaknya makan, belajar, mandi atau tidur siang di musim dingin. Panggilan “Pe” kupilih untuk menyingkat nama pemberian Ayah tercintanya, yaitu Popeye.
Ayah Popeye, atau suamiku adalah seorang pelaut, kapten sebuah kapal pesiar. Dia teramat bangga dengan pekerjaannya ini. Sebab di kala itu, menjadi sailor, ujung tombak keberhasilan berlayar di tengah laut adalah tugas yang terpandang. Dan saking bangganya, dia menginginkan putra kesayangan kelak mengikuti jejaknya.
“Kalau besar nanti, Jagoan Ayah harus menjadi pelaut hebat, siap?!” ujarnya optimis sambil mengangkat Popeye balita dengan kedua tangan. Yang diajak bicara terkikik geli, merasa sedang bermain-main.
Ah, namun sayang, pemandangan indah anak laki-laki bercengkerama dengan sang Ayah hanya sebentar kusaksikan. Menjelang usia sekolah Pe, suamiku meninggal dunia karena sakit. Dia memberiku sebuah pesan sebelum benar-benar berhenti bernapas, “Popeye harus tumbuh sehat dan kuat. Beri selalu dia sayur-sayuran bergizi.”
“Aku berjanji, Suamiku,” jawabku saat itu, menyaksikan kematiannya. Pilu, harus menjadi Ibu sekaligus Ayah bagi putra kesayangan seorang diri.
Popeye tumbuh menjadi anak yang kuat dan ceria. Dia bagai sosok reinkarnasi Ayahnya. Gagah dan pemberani, meski tubuhnya belum sebesar dan sekuat sang Ayah. Jelas, dia masih anak-anak saat itu. Setiap hari, gayanya bak seorang pelaut hebat.
“I’m the greatest sailor in America!”1 teriaknya sambil berkacak pinggang, memakai topi kebanggaan seorang kapten milik sang Ayah. Dia pamerkan kepada teman-temannya. Bahkan pernah satu ketika, dia rekatkan satu pelupuk matanya dengan lem kertas yang didapatkan dari meja belajar, agar sama persis dengan sosok sang Ayah pada foto ruang keluarga, seorang kapten kapal dengan satu mata.
***
Suatu ketika, kota kecil kami dilanda musim dingin yang ekstrem dan panjang. Salju tebal menutupi semua permukaan bumi di mana kami tinggal. Mengakibatkan berbagai hewan ternak dan tumbuhan mati. Penduduk kota bingung bagaimana cara mencukupi kebutuhan daging dan sayur mayur. Begitu pun yang terjadi di rumah kami.
“Ibu … Pe ingin makan sup hari ini. Beberapa hari tak makan sayur, tubuh Pe terasa lemas.” Bibir putraku terlihat pucat.
“Sabar, Sayang. Ibu akan keluar sebentar. Pe tetap di dalam rumah sampai Ibu pulang, ya.”
“Iya, Ibu.” Popeye kecil mengangguk, mengerti.
Hampir semua pasar dan toko yang menyediakan kebutuhan pangan, selama salju belum menipis, tutup. Aku putuskan untuk menuju kebun belakang rumah, sepetak tanah yang sengaja suamiku tanami aneka sayur dan buah-buahan sejak beberapa tahun yang lalu. Berharap menemukan sayuran yang masih bertahan hidup.
Nah, akhirnya dapat! Hanya ada satu jenis sayuran yang tidak mati dan terlihat masih segar, sementara yang lain sudah tidak layak konsumsi, tertimbun salju tebal. Sayur itu berbatang rendah dengan ukuran daun selebar sendok makan, berwarna hijau dan bergaris halus pada ruas-ruasnya, bernama … bayam. Tanaman asal negeri kami. Segera kupetik, mencuci kemudian memasaknya cukup dengan air, garam serta sedikit gula.
“Bagaimana, Pe? Enak?” tanyaku padanya yang sedang menikmati sup bayam di mangkuk.
“Ini lezat, Ibu. Tubuhku bertenaga kembali. Terima kasih. Mulai sekarang, inilah sayuran favoritku!” Putraku mengacungkan ibu jari sambil tersenyum manis.
“Sama-sama, Pe. Mulai sekarang, kita akan menyajikan sup sayur bayam di segala musim. Kau, setuju?
“Oke, Ibu.”
***
Popeye memiliki seorang sahabat. Gadis kecil, putri tunggal Tuan dan Nyonya Bernard yang tinggal tidak jauh dari rumah kami. Olive Oyl, namanya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, seperti bermain dan mengerjakan PR sekolah. Olive gadis kecil berkulit seputih susu yang cantik dan baik.
“Hai, Olive. Maukah Kau ikut makan sup bayam di rumahku?” tanya Pe pada jam istirahat sekolah.
“Apakah Bibi Michelle memasaknya spesial untuk kita, Pe?”
“Tentu.”
“Baiklah … Aku akan makan siang di rumahmu sepulang sekolah nanti.”
Popeye sangat menyayangi gadis kecil yang hobi bernyanyi dan berakting itu.
“Pe akan menjaga Olive sampai kapan pun, sampai Pe tua. Tenanglah Olive, Pe akan menjadi seorang kapten kapal yang hebat. Tak akan ada satu orang pun yang berani mengganggu Olive lagi mulai sekarang,” janji Popeye seusai melawan lima anak laki-laki yang usil dengan Olive di kelas.
“Really? Thank you, Pe.” Olive menatap wajah pria kecil yang tampan itu dengan mata berbinar.
Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang dengan bernyanyi bersama, bergandengan tangan di trotoar jalan raya yang belum begitu ramai oleh kereta-kereta mesin roda empat berlalu lalang.
“Setelah Pe jadi pelaut hebat nanti, maukah Olive menemani Pe berlayar?” tanya Popeye semangat.
“Maaf, Pe. Setelah dewasa nanti, Olive ingin pergi ke kota besar seperti New York, London atau Paris untuk menjadi seorang aktris. Olive ingin bermain film, bernyanyi atau berjalan dengan gaun-gaun yang cantik.” Olive lebih semangat berceloteh tentang cita-citanya. Namun, seketika rona ceria itu hilang saat mendapati wajah sang sahabat murung mendengarnya. “Pe, sedih?”
“Tidak. Pe bahagia jika Olive pun bahagia. Tidak apa-apa, Pe akan menemui Olive di mana pun Olive berada setiap Pe pulang dari berlayar.”
Kalian pasti ingin bertanya, dari mana aku mengetahui percakapan mereka ini? Pe, jagoan kecilku, selalu menceritakan semua kejadian yang dialaminya, di tiap malam, di atas ranjang tidurnya sebelum terlelap pulas.
***
Sampai Popeye tumbuh menjadi pria dewasa, nama Olive-lah yang ada di hati setelah namaku, Ibunya. Meskipun dia mendengar Olive telah memiliki kekasih bernama Harold Hamgravy, seorang kapten kapal tempat Popeye bekerja sebagai pelaut pemula.
“Kau patah hati, Pe?” tanyaku saat melihatnya pulang dengan wajah murung.
“Tidak, Ibu. Pe baik-baik saja.” Begitu jawabnya. Namun, aku teramat mengerti ada gurat kecewa dan luka pada hati putra kesayangan.
“Tenanglah, Pe. Jika Olive memang cinta sejatimu, maka pergi sejauh apa pun dia, akan tetap kembali padamu.”
Lalu benar, tidak lama kemudian, Olive datang ke rumah kami dengan menangis tersedu-sedu. “Sikap Harold berubah. Aku merasa sebentar dia akan meninggalkanku, Pe.” Oh … Olive putus cinta rupanya. Popeye menenangkan gadis kesayangan. Mengusap air mata Olive dengan satu tangan, sementara tangan satunya menggenggam jemari gadis cantik itu lembut.
Senyum di wajah cantik Olive berangsur tersembul kembali, berkat Pe yang tidak lelah menghiburnya setiap waktu. Sampai Olive menemukan kekasih baru. Brutus namanya. Laki-laki dewasa bertubuh cukup kekar yang bekerja sebagai mandor proyek bangunan. Wajah Olive merona tiap kali menceritakan tentang sang kekasih kepada sahabatnya. Menurut Olive, Brutus adalah pria sejati dan senang memberikan kejutan.
Pe lagi-lagi patah hati. Namun, tetap saja, Olive juga lagi-lagi putus cinta. Terhitung tiga bulan dari sebelumnya, untuk yang kedua kali, si cantik Olive datang ke rumah kami dengan cucuran air mata, dengan cerita yang sama.
“Cantik … Kau bersedia bercerita kepada Bibi?” Aku duduk menghadapnya di sofa ruang tamu. Dua cangkir teh dan sepiring biskuit keju kismis telah kusajikan di atas meja kayu.
“Bibi … Brutus mengkhianati cintaku. Semenjak penampilannya semakin gagah dan atletis, juga naik jabatan menjadi kontraktor, dia menjadi pongah. Dan puncaknya siang ini. Saat aku sedang ada pemotretan di pantai, aku melihatnya bergandeng tangan dengan seorang wanita seksi. Dia memang meminta maaf saat kudatangi dan melabraknya. Tapi ….” Gadis bertubuh langsing itu tergugu di akhir ceritanya.
“Olive ….” Kini giliran putraku meraih jemari Olive, dia duduk di samping sahabatnya itu. “Mungkin ini tidak tepat waktu, tetapi kumohon dengarkan aku. Olive … sejak dulu, sejak kita masih kecil, aku sangat menyayangimu. Dan sekarang pun sama. Aku … mencintaimu. Berhentilah mencari pria lain di luar sana dan … will you marry me?” Pe mengeluarkan kotak kecil berwarna merah hati, dibukanya, kemudian terlihat lingkaran seukuran lingkar jari dengan batu permata berkilau berwarna perak.
Mata Olive membulat sempurna, kaget tak percaya. Namun, tak lama kemudian, senyum tercipta. Ditariknya napas dalam-dalam lalu menjawab, “Yes, I will.”
***
“Kau akan berangkat jam berapa, Kapten?” tanyaku padanya yang sibuk membersihkan cerutu. Kapten kecilku kini telah berhasil mengarungi lautan luas di usia yang tergolong muda. Samudra Pasifik hingga samudra Hindia telah ditaklukkannya dalam waktu tiga bulan saja.
“Kira-kira satu jam lagi, Ibu. Apakah Ibu sudah menyiapkan pesananku?”
“Sup bayam siap saji. Kau membutuhkan berapa kaleng, Kapten?”
“Seratus kaleng untuk satu bulan berlayar. Apakah ada?”
“Tentu. Akan Ibu siapkan.”
Ingin mendengar kabar baik selanjutnya? Ya, saat ini, dibantu beberapa karyawan, aku telah mempunyai sebuah pabrik sup bayam kaleng. Untuk dijual? Tidak. Sup siap saji itu kami bagikan kepada anak-anak di sekolah, pengemis dan para tetangga saat musim dingin ekstrem tiba. Aku dan Pe teramat bahagia.
“Dan Kau akan meninggalkanku, Pe?” suara lembut Olive tiba-tiba. Entah sejak kapan dia telah berada di dalam rumah, mengagetkan kami. “Bagaimana jika Brutus datang dan menginginkanku kembali kepadanya seperti yang sudah-sudah?” Wajah cantiknya terlihat sendu.
“Tenanglah, Sayang. Panggillah namaku, The Greatest Sailor in America, saat dalam bahaya. Maka Pe akan segera datang menolong Olive,” ucap Pe meyakinkan. (*)
Cerita ini merupakan fanfiction dari film kartun anak, Popeye The Sailor Man.
1Akulah pelaut terbaik Amerika
Brebes, 24 Januari 2019
Evamuzy, gadis yang anti protein tinggi dan zat besi.
Tantangan Lokit adalah tantangan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata