Aku Mati di Paragraf Pertama Cerita Pendek Itu
Oleh: Vianda Alshafaq
Tubuhku tergeletak begitu saja di atas tanah. Gaun putih yang semula bercampur biru, kini semakin berwarna dengan bercak merah darah di mana-mana. Rambutku yang sepanjang pinggang, menutupi sebagian wajahku yang sudah pucat pasi seperti bulan di siang hari. Beberapa goresan di pipi dan leher, membuatku kembali merasakan sakit, persis seperti yang kurasakan selagi hidup tadi. Di sinilah aku sekarang, melayang dan menatap tubuhku yang sudah terkapar begitu saja. Aku … sudah mati.
Pengarang merancang tempat kematianku dengan sangat baik. Tempat mengerikan untuk kematian yang mengerikan. Wah, bukankah hebat?
Aku penasaran mengapa Pengarang mengirim laki-laki bertopeng hitam tadi untuk membunuhku. Padahal, ia baru saja membuatku hidup. Sungguh, bahkan belum genap satu hari aku hidup. Tiba-tiba, dengan cara yang entah seperti apa, Pengarang mengirim seseorang untuk mengetuk pintu rumah. Laki-laki itu kemudian menutup hidungku dengan sebuah sapu tangan cokelat. Setelah itu, seperti dugaanmu, aku hanya melihat kegelapan.
Saat Pengarang membuatku kembali terbangun dari pingsan, aku sudah berada di hutan tak jauh dari rumah. Aku terikat pada sebuah pohon kayu besar yang berdaun lebat. Mulutku ditutup kain dan, tragisnya, aku sudah mendapati kakiku tergores dan berdarah-darah.
Tak lama setelah itu, laki-laki tadi kembali datang. Ia datang dengan senter kecil di tangannya, mungkin agar ia bisa melihatku. Aku menengok ke atas, melihat langit hitam dari celah-celah daun pohon dengan sedikit bulan di sana. Ah, entah sudah berapa lama aku di sini.
“Kenapa Pengarang mengirimmu ke rumahku?”
“Jangan tanyakan padaku, tanyakan saja pada Pengarang.”
Ah, benar. Ia hanya melakukan apa yang dituliskan Pengarang, bagaimana ia tahu mengapa Pengarang mengirimnya padaku.
Hanya sepersekian detik, laki-laki itu mengeluarkan sebuah pisau. Aku takut. Jangan-jangan Pengarang menciptakan laki-laki ini untuk membuatku mati. Oh Tuhan, untuk apa dia menciptakanku kalau dia hanya akan membunuhku di paragraf pertama cerita pendek itu?
***
Aku melayang di belakang Pengarang. Ia duduk di depan meja kayu yang terlihat kusam dengan secarik kertas di tangannya. Ia sedang membaca kalimat-kalimat yang baru saja ia tulis. Aku ikut membaca. Paragraf itu tidak panjang. Isinya hanya seputar kematianku yang dirancang begitu mengerikan.
“Kenapa kau menciptakanku jika kau hanya akan membunuhku? Bahkan masih di paragraf pertama.”
Pengarang berbalik. Menatapku. Kemudian tersenyum. Kertas yang tadi dipegangnya ia tinggalkan di meja. Tak lama, Pengarang mengukir seulas senyum yang manis di bibirnya yang ranum.
“Karena aku membutuhkanmu.”
Aku tercengang. Butuh, katanya? Yang benar saja!
“Kau membutuhkanku untuk menjadi korban pembunuhanmu?”
“Hmm,” ia berpikir sebentar, “Kurang tepat, sebetulnya. Aku tidak membunuhmu. Laki-laki itu yang membunuhmu.”
Ia berdiri, lalu berjalan pelan di depan rak buku sembari mencari sesuatu. Mungkin ia sedang mencari korban pembunuhannya yang lain. Sebuah buku dengan sampul hitam ia tarik dari rak, lalu membuka halaman bab pertama. Seseorang keluar dari sana. Seorang laki-laki dengan tali yang melingkar di lehernya.
“Kau kenapa?” tanyaku melihat laki-laki itu.
“Ini aku sebelum mati. Seseorang memasangkan tali ini dan kemudian menggantungku di taman belakang rumah.”
Aku menatap Pengarang, lagi. Dia masih sama, tersenyum kecil. Ah, seandainya aku bisa membunuhnya, sudah kubunuh ia saat ini. Senyuman itu membuatnya terlihat seperti sedang meremehkanku karena hidup dan matiku ada di tangannya.
“Kenapa kau membunuh kami?” tanyaku sekali lagi.
“Karena aku membutuhkan kematian kalian.”
“Untuk kesenanganmu? Atau melampiaskan keinginanmu untuk membunuh orang lain? Begitu?”
Pengarang menutup buku yang tadi ia buka. Si Lelaki Tergantung—sayang sekali aku belum menanyakan namanya—kembali ke dalam buku dan menghilang dari penglihatanku. Pengarang melihatku, masih dengan senyuman yang sama.
“Aku membutuhkan kematianmu untuk melanjutkan cerita itu.”
“Bagaimana kau melanjutkan ceritamu hanya karena kematianku?”
“Kau tidak perlu tahu. Itu takdir tokoh lain.”
“Kau sudah gila!”
“Ya, kurasa. Orang-orang tidak akan menulis jika mereka tidak gila.”
Apa? Dia mengakui kalau dia sudah gila? Aku betul-betul tak habis pikir.
Ia kembali duduk di kursinya. Mengambil secarik kertas tadi dan kembali menuliskan kalimat-kalimat berikutnya. Kalimat-kalimat itu kemudian menjadi paragraf. Paragraf kedua. Paragraf setelah kematianku.
Aku mengamatinya, melihat seberapa lama ia akan duduk sambil menulis tanpa memedulikan aku yang menunggu kejelasan darinya. Sebetulnya, aku tahu bahwa ia tidak berkewajiban sedikit pun untuk memberiku penjelasan, tetapi, demi cerita pendek yang ia karang itu, aku butuh kejelasan untuk keberadaanku.
Satu jam berlalu, ia masih berkutat dengan kertas putih yang sudah bertambah. Sudah banyak paragraf yang ia buat, bahkan ia juga menuliskan dialog-dialog yang kadang pendek dan kadang panjang.
Aku sudah lelah hanya melihat Pengarang. Oleh sebab itu, aku berjalan ke mejanya dan duduk di sana.
“Aku tidak peduli kau sedang apa, tapi kau harus menjawab pertanyaanku.”
“Kau hanya tokohku. Jadi aku tidak punya kewajiban apa pun. Mengerti?”
“Oh, Tuhan, aku tidak peduli siapa kau dan siapa aku. Aku hanya peduli kenapa kau membunuhku dengan cara semengerikan itu.”
“Karena begitulah seharusnya. Tidak ada alasan dan kau tidak perlu tahu. Paham?”
Aku kesal. Bagaimana mungkin aku tidak perlu tahu tentang kematianku. Ini hidupku. Seharusnya dia menjelaskannya padaku. Seharusnya dia memberi alasan kenapa aku dibunuh seperti itu.
Aku menatap wanita berambut pirang itu dengan tajam. Rasanya aku betul-betul ingin membunuhnya. Namun, jika aku membunuhnya, apa bedanya aku dengan dia?
Alih-alih membunuh perempuan itu, mungkin lebih baik menghancurkan kehidupanku yang sudah dia ciptakan selama beberapa menit itu. Lebih baik tidak hidup sama sekali daripada hidup selama beberapa menit kemudian mati penasaran selama-lamanya.
Aku mengambil kertas pertama yang tadi dia tulis. Dengan segera, kurobek kertas itu tepat di paragraf pertama. Hanya sepersekian detik, paragraf itu telah berubah menjadi serpihan-serpihan kecil yang bertaburan di lantai.
“Selamat tinggal,” ucapku pada Pengarang yang berdiri kaku di tempatnya.(*)
Vianda Alshafaq, anggota Kelas Menulis Loker Kata yang menyukai segala hal berbau cokelat.
Editor: Respati