Air Mata Zahira (Episode 2)

Air Mata Zahira (Episode 2)

Air Mata Zahira (Episode 2)

Oleh : Zalfa Jaudah Jahro

 

Kedua bola mata Zahira terbuka perlahan, pandangannya terkunci pada salah satu foto yang berada di atas meja. Rasa sesak seketika kembali menghampiri kala ia mengingat bahwa dirinya telah melewati malam yang sangat terasa kelam. Tidak lagi ada senyum yang terlontar di pagi hari. Air mata Zahira jatuh begitu saja, kini semua terasa berbeda, tidak ada lagi raga yang selalu mengecup singkat pucuk kepalanya.

“Bunda udah bangun?” tanya Zahara pelan, seketika putri kecil itu mendekap Zahira dengan sangat erat.

Lemas terasa di sekujur tubuh. Rasa sakit akan kehilangan sosok yang ia cinta kembali menyayat hati. Zahira tidak sanggup jika harus melewati semuanya, terutama ketika putri kecilnya menatap, tatapan itu sama persis seperti lelaki yang kini tidak lagi dapat ia sentuh raganya.

“Bunda jangan nangis, Ahla takut, Bunda ….”

“Bunda nggak papa, Sayang. Ahla jangan takut, ya,” bisik Zahira dengan sangat pelan.

“Jangan nangis, Bunda. Ahla sedih,” rengek pilu Zahara tanpa melepas dekapannya.

Zahira memejamkan mata untuk menetralisir rasa sakit yang berkecamuk di hati. Seketika bayangan wajah Samudra tampak begitu jelas di depan mata. Namun, tidak ada yang bisa Zahira lalukan selain tersenyum getir. Ia menyadari bahwa sosok itu telah kembali pada Sang Pencipta.

“Jangan nangis, Bunda ….” Dengan cepat, Zahira membuka mata saat mendengar suara lugu yang tidak asing baginya.

Suara itu berasal dari arah pintu. Zahira segera mengarahkan pandangannya, seketika ia melihat sosok pria kecil berjalan mendekat dengan langkah kaki yang sangat perlahan. Sorot mata pria kecil itu terlihat sangat sendu. Wajah kusut dengan kedua bola mata yang memerah, Zahira merasa bersalah atas sikap acuh yang telah ia lakukan. Padahal, ada seseorang yang sangat membutuhkannya.

“Ethan,” ujar Zahira seraya memegang kedua pipi putranya.

“Ethan kangen Ayah, Bunda.” Bibir mungil Ethan bergetar menahan tangis.

Sebelum tangis itu pecah, dengan cepat Zahira memeluk erat tubuh Ethan untuk memberinya kekuatan. Perlahan ia mulai sadar, bangkit dari keterpurukan memanglah perihal yang sangat sulit. Terutama jika logika dan hati tidak sejalan, ia merasa pedih. Namun, kehidupan tidak boleh terbengkalai hanya karena sosok yang telah pergi. Zahira harus mulai menerima dan membiasakan diri, menerima setiap rasa sakit seraya berdamai dengan keadaan meski hal tersebut tidaklah mudah baginya.

Samudra menjadi satu-satunya sosok yang dapat mengubah kehidupaannya menjadi sangat bahagia. Namun, mengapa kebahagiaan itu hanya bersifat sementara? Kepergiaannya bukan hanya membuat luka yang begitu dalam bagi Zahira, tetapi ketiga anaknya pun merasa terluka. Terutama jika keempat bayi mungilnya telah tumbuh besar nanti, apa yang akan Zahira katakan jika keempat anaknya bertanya tentang Samudra? Sosok ayah yang tidak pernah mereka temui di dunia nyata. Sosok itu pergi saat mereka belum sempat merasakan canda dan tawa.

“Ethan udah makan?” Ethan menggeleng cepat. Setelah proses pemakaman berlangsung, tidak ada sesuatu yang ia lakukan.

“Mau disuapin sama Bunda,” ujar Ethan seraya menangis.

Zahira tersenyum getir. “Ethan makan dulu sama Enin ya, Sayang.”

“Enggak! Ethan mau sama Bunda.”

“Say—”

“Ethan nggak mau Bunda ….”

Zahira mengela napas cepat. Ia mengelus pucuk kepala Ethan tanpa mengucapkan sepatah kata. Pikirannya melayang jauh ke masa di mana putra kecilnya baru saja dilahirkan. Teringat dengan jelas ketika Samudra tersenyum senang, namun kini, semua hanyalah bayang. Raga Samudra tidak dapat lagi ia genggam. Senyumnya pun tidak akan lagi dapat ia lihat, semua perlakuan manisnya seketika menjadi masa lalu yang terlalu manis untuk diingat.

“Bunda juga belum makan, ayo kita makan sama-sama.” Suara Ethan berhasil memecahkan lamunan.

“Iya, Sayang,” balas Zahira seraya memaksakan senyum.

Zahira sadar, selama apa pun ia mengurung diri, Samudra tidak akan kembali padanya. Sosok itu telah pergi, semua pasti berubah seiring berjalannya waktu, Zahira harus berusaha untuk menerima kenyataan pahit yang ia rasa.

“Kita sekarang makan, ya. Ahla sama Ethan nggak boleh telat makan. Maaf, karena Bunda udah bikin kalian sedih.”

“Kita nggak papa, Bunda. Bunda juga nggak boleh sedih, Ethan nggak mau liat Bunda nangis.”

Zahira mengangguk cepat. “Iya, Sayang. Kanth mana?”

“Kak Kanth di kamar, dia nggak mau keluar. Dari semalem, Kanth diem aja.” Perkataan Ethan membuatku berpikir cepat, sudah pasti Kanth pun merasa terluka.

“Ayo, kita temuin Kanth dulu.”

Saat langkah Zahira berjalan menuju kamar Kanth, di balik meja besar, Mama tersenyum melihat putrinya mau keluar kamar.

“Kanth …,” ujar Zahira seraya duduk di atas ranjang Kanth yang penuh dengan linangan air mata.

Tidak ada suara isak tangis yang terdengar. Namun, basahnya ranjang Kanth sudah sangat dapat ditafsirkan. Tubuh kecil Kanth meringkuk, seketika Zahira mengecup singkat pucuk kepala putranya.

“Bunda tahu Kanth sedih, Sayang. Kanth boleh nangis, tapi Bunda yakin kalau Kanth anak yang kuat. Kanth nggak mau nangis di depan Ethan dan Zahira, tapi Sayang, kalau Kanth ngerasa sakit, nggak papa, Nak. Kita semua kehilangan Ayah.”

Kanth membenarkan posisinya dengan cepat, ia memeluk erat Zahira tanpa mengucap kata. Wajah bersih Kanth sangat merah padam, entah berapa lama ia menangis. Yang Zahira tahu, ia sangatlah egois. Membiarkan ketiga buah hatinya merasakan kehilangan sendiri. Zahira sangat egois, merasa hancur dan ingin menutup diri, padahal ada sosok yang sangat membutuhkannya. Ia harus bangkit meski luka dalam tidak dapat sembuh begitu saja.

“Kanth sedih, Bunda … Kanth nggak mau kehilangan Ayah.” Suara Kanth terdengar sangat parau.

“Kita semua nggak benar-benar kehilangan Ayah, Sayang. Ayah akan selalu ada di dalam hati kita. Kanth, Ethan, dan Zahara nggak boleh takut.”

“Kanth sayang sama Ayah, Kanth—”

Belum sempat putranya melanjutkan ucapan, Zahira segera memeluk tubuh Kanth. Ia berharap pelukan darinya dapat sedikit menenangkan hati yang rapuh.

“Ayah nggak benar-benar pergi, Nak. Percaya sama Bunda, cinta Ayah nggak akan habis meski Ayah udah nggak ada di sini.”

“Kanth nggak mau Ayah pergi.” Suara Kanth terdengar serak.

“Kanth, Ethan, dan Zahara anak bunda yang sangat kuat. Kalau kalian kangen sama Ayah, sore ini kita pergi ke makam Ayah, ya, Sayang.”

“Ahla mau sekarang!” seru Zahara cepat.

“Ethan juga!” lanjut Ethan tidak kalah cepat.

Zahira mengangguk seraya mengusap cepat linang air mata yang akan terjatuh. Tidak kuasa melihat ketiga buah hatinya merasakan sakit akibat mimpi buruk yang terjadi saat ini.

“Ayo, kita makan dulu, Nak,” seru Zahira seraya menggendong tubuh besar Kanth.

Zahira sangat mengerti Kanth, putra kecil yang selalu terlihat sangat kuat. Namun, jauh dari apa yang terlihat, Kanth selalu menyimpan rasa sakit dengan sendirinya. Jika Kanth menangis sendu, itu tandanya ada luka yang sangat dalam. Ethan menggenggam jemari kecil Zahara, mereka berjalan menuju dapur.

Ketika mereka sampai tepat di depan pintu dapur, seketika kedua bola mata Zahira memanas. Rasa sakit kembali menjalar saat mengingat ribuan kejadian manis yang dahulu ia alami bersama Samudra. Terutama ketika lengan kekar Samudra melingkar sempurna di pinggangnya. Dapur rumah selalu menjadi tempat kedua untuk Zahira merasakan bahagia karena Samudra selalu hadir menemaninya. Namun, mulai detik ini, ia tidak bisa lagi merasakan kebahagiaan itu.

Waktu yang ia miliki bersama Samudra telah habis, tidak sedikit pun tersisa. Jutaan mimpi pun belum sempat terlaksana, semua angan tidak sempat tergapai. Kini, yang Zahira rasakan hanyalah pedih, mengingat jika tiada mimpi yang bisa ia lakukan tanpa kehadiran sosok lelaki yang ia cinta.

“Bunda,” bisik Kanth menatap mata Zahira yang sudah memerah, tanda bahwa air mata Zahira akan segera menetes.

Zahira segera mengusap linangan air matanya, ia tersenyum seraya menggeleng cepat. “Bunda nggak papa.”

“Bunda inget Ayah?” tanya Ethan seraya menahan tangis.

“Enggak, Sayang. Bunda nggak papa. Kanth, Ethan sama Ahla duduk dulu, ya. Bunda mau siapin makanan.” Zahira segera menurunkan tubuh Kanth.

Zahira mengambil beberapa masakan yang sudah tersedia di dalam rak dapur. Ia merasa bahwa mungkin jiwanya sudah mati meski raga Zahira tetap bisa melakukan sesuatu.

Kenangan tentang sosok yang ia cinta tidak akan pernah lepas. Samudra memiliki daya tarik tersendiri, lelaki itu tidak pernah hilang dari bayangannya. Senyum serta perlakuan manisnya selalu membuat rasa sakit kian bertambah, mengingat bahwa semesta telah benar-benar mengambilnya.

“Kak, ajak Bunda ngobrol,” bisik Zahara pada Ethan.

“Bunda lagi sedih,” jawab Ethan menimpali. Pria kecil itu terlihat bingung dengan apa yang akan ia lakukan.

“Bunda …,” ujar Zahara pelan. Tidak ada jawaban, Zahira hanya menaikkan sebelah alisnya.

“Bunda jangan diem aja, Ahla takut.” Perkataan Zahara langsung dibalas dengan senggolan tangan Ethan.

“Ahla jangan ngomong gitu, nanti Bunda tambah sedih.”

“Ahla bingung,” balas Zahara seraya memasukkan makanan ke mulutnya.

Makan pagi terasa sangat dingin. Zahira pun lebih banyak diam, tidak mendengarkan beberapa perkataan dari buah hatinya. Untuk saat ini, dirinya terlalu rapuh. Memikirkan bagaimana kehidupan selanjutnya tanpa ada sosok yang dicinta.

Samudra benar-benar menjadi lelaki yang sangat mengagumkan. Cinta dan kasih sayang yang lelaki itu beri, tidak pernah hilang dari ingatan. Samudra selalu menjadi tameng, membuat Zahira merasa aman. Lelaki itu selalu menemani langkah Zahira seraya menggenggam erat jemarinya. Hanya bersamanya Zahira bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Samudra mampu melengkapi kehidupan Zahira, menjadi ayah yang baik bagi semua buah hatinya. Samudra tidak pernah membuat Zahira membenci keadaan. Ia selalu terlihat sempurna di mata Zahira.

Bagi Zahira, Samudra adalah kehidupannya. Maka, saat Samudra pergi menghadap Sang Pencipta, seketika Zahira merasakan bahwa kehidupannya telah usai. Angan yang ia cita-citakan seketika musnah bersamaan dengan hari di mana napas lelaki yang ia cintai itu sudah tidak dapat berembus.

Manis tidak akan selamanya terasa, kadang kala manusia harus siap merasakan pedih atas kehilangan sosok yang begitu berharga. Namun, tiada kehidupan yang mati meski harus menerima kenyataan yang begitu pahit. Sejatinya cinta memang harus merelakan, walau terkadang rasa sakit menyerta, kehilangan sosok yang dicinta memang akan merubah segalanya. Tetapi, yakinlah bahwa cinta yang sosok itu berikan tidak pernah ikut mati bersamaan dengan raganya yang menghilang. Melainkan, cinta itu tumbuh di dasar hati sang pujaan. Menjadi akar dan mengikat, tidak pernah hilang hanya karena jiwa yang telah semesta ambil.

Bersambung ….

 

Episode 1 (Sebelumnya)

Episode 3 (Selanjutnya)

 

Zalfa Jaudah Jahro, lahir di Karawang pada hari Jumat, 03 Oktober 2003. Zalfa sangat menyukai awan, mendung, dan dia. Jika ingin mengetahui tentangnya, bisa melalui email : zalfajaudah03@gmail.com atau Facebook : @Zalfa Jaudah J.

Editor : Tri Wahyu Utami

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply