Jangan Sebut Dia Preman

Jangan Sebut Dia Preman

Jangan Sebut Dia Preman
Oleh: Wiwin Isti Wahyuni

“Sial …,” umpatku sembari kakiku menendang kerikil jauh ke atas.

“Aduh. Hei, siapa yang nimpuk gue?” Aku melihat sosok menyeramkan dengan tubuh penuh tato di jalan seberang, tengah memegangi kepalanya.

“Maap Bang, gak sengaja.”

“Enak aja gak sengaja, sini kepala lu.”

Aku menutup mata membayangkan kepalaku akan dipukul, atau dihujani beribu kerikil. Secara dia preman sejati penunggu Pasar Pahing, pasar di dekat sekolah tempatku mengajar.

“Hahaha. Udahlah, pergi sana, mana mungkin laki kayak gue mukulin lu. Cewek pendek, kecil, pasti juga bakal nangis sepanjang jalan.”

Aku bernapas lega meski agak dongkol hati mendengar umpatannya yang menyebalkan.

“Oke, karena kebaikan hati Abang, gimana kalau saya traktir baso semangkuk?” tanyaku berbasa-basi.

Dia mengangguk dengan terburu, setengah berlari menuju tukang baso terdekat.

***

“Mar, kok bisa kamu dekat sama preman sih?”

Aku memicingkan mata mendengar si Joko yang berkeluh kesah.

“Kenapa Pak Joko? Toh dia manusia juga, namanya Bang Mardi, dan dia lucu juga punya banyak kisah yang jadi inspirasi mengajar saya.”

“Tapi Mar … eh, Bu Mar, gimana kalau si Mardi punya niat jelek.”

“Pak Joko tenang aja, saya punya Allah yang siap melindungi 24 jam seumur hidup saya.”

“Bu Mar, hati-hati yah, jaga diri baik-baik.”

Aku hanya mengangguk, mengiyakan tanpa sedikit pun berpikir akan menuruti nasihatnya. Mereka berdua sama-sama laki-laki. Bedanya Bang Mardi preman dan Pak Joko guru, status sosial jelas berbeda, penghasilan apalagi, tampang dan penampilan bagai langit dan bumi. Namun, entah kenapa aku lebih suka berbincang dengan Bang Mardi yang apa adanya daripada dengan Pak Joko yang penuh pencitraan, penuh strategi, penuh intrik.

***

“Berangkat mengajar Mbak Mar?”

“Wah, sudah pandai basa-basi Bang Mardi.”

“Ah, Mbak bisa aja, boleh saya tanya sesuatu?”

“Bolehlah, gratis kok gak berbayar.”

“Mbak Marsini udah punya pacar?”

Tiba-tiba aku tergelak mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang sama yang ditanyakan suamiku lima atau enam tahun silam.

“Bang Mardi maaf ya, saya gak punya pacar, dalam ajaran Islam gak ada yang namanya pacaran.”

“Alhamdulillah ….”

“Tapi saya udah nikah, Bang. Sayangnya Suami lagi belajar di luar kota.”

“Masya Allah ….”

“Kenapa, Bang? Mau kenal sama suami saya-kah?”

“Enggak, Mbak. Terima kasih udah mau jawab pertanyaan saya.”

Aku melanjutkan perjalanan tanpa mengindahkan perubahan sikap Bang Mardi yang aneh.

***

“Ke sekolah, Mbak? Sendiri aja?”

“Iya, Bang. Kalau banyak orang, nanti dikira saya mau ke karnaval lagi.”

Sapaan basa-basi Bang Mardi jadi sarapan pagiku menuju sekolah. Tak ada yang berubah, pandangan nakalnya, genitnya, tato-tatonya, sembari membawa tusuk gigi ke mana-mana, sesekali juga bungkusan untuk anak-anak hasil ketrampilan tangannya terulur padaku.

Berbeda dengan Pak Joko, semenjak tahu aku bersuami sikapnya mendingin, bahkan terkesan beberapa kali mencari muka supaya aku mundur dari sekolah. Entah apa pula yang dimauinya. Yang pasti … aku tidak mau menilai. Tidak mau berprasangka yang berlebihan. Bukankah Allah SWT mencipta tiap-tiap manusia dengan keadaan yang sama. Hanya iman dan takwanya yang membedakan penilaian.

Terima kasih Bang Mardi mengajarkanku nilai. Nilai menghargai sesama melalui hati, bukan fisik apa lagi materi. (*)

 

Pasar Pahing, 25 Desember ’18

Wiwin … pejuang seni … 😍J

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata