Selembar Daun Kering

Selembar Daun Kering

Selembar Daun Kering
Oleh: Nurul Istiawati

Sepasang mataku terpaku pada deretan lukisan di trotoar jalanan. Aku melihat satu per satu lukisan itu dan mencoba menangkap makna yang terselip di antara goresan warna. Hingga langkahku terhenti tepat di depan kanvas berlukiskan selembar daun kering berwarna coklat kekuningan dengan ranting kecil yang menyangga daun yang hampir gugur. Lukisan itu tak begitu istimewa, warna background-nya yang gelap ditambah cat minyak yang belum kering di sudut bawah kanvas. Satu-satunya alasan aku tak melepas pandang darinya adalah lukisan itu seolah-olah menarik jiwaku dan membenamkanku pada perasaan paling sendu.

“Mau beli lukisan ini, Mbak?” tanya si pelukis.

Saat itu juga lamunanku buyar lalu segera kuusap air di sudut mataku sebelum ia mengalir ke pipi. Tanpa pikir panjang, aku mengeluarkan sejumlah uang dari dompetku dan membeli lukisan itu.

***

Hujan selalu tahu kapan ia harus datang dan kapan ia harus pergi. Waktu takkan pernah menukar kedatangan dan kepergian setiap tetes air hujan yang mencipta kenangan. Mataku terus menatap lukisan yang baru saja kubeli yang kemudian sengaja kuletakkan di dinding. Entah kudapat ide dari mana untuk meletakkan lukisan itu di ruang makan.

“Lukisan siapa, Key?” tanya Sindi sedikit mengaketkanku.

“Lukisanku, Sin,” jawabku sambil sesekali menghirup aroma cokelat panas yang telah disajikan oleh Sindi.

“Lukisan daun jelek kok dibeli sih, Key.”

“Itu ‘kan seni, Sin.” Aku mencoba mengelaknya. Yang pasti bukan itu alasanku membelinya. Aku bahkan tak tahu menahu soal seni.

Bukan tanpa alasan aku membelinya. Saat aku menatap lukisan itu, seolah-olah aku sedang bercermin. Kurasakan kisah selembar daun kering itu ialah kisahku di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.

***

Lukisan itu selalu membawaku pada kenangan masa kecilku. Masa kecil yang seharusnya indah.

Dulu kebanyakan anak usia tujuh tahun sangat senang bermain hujan-hujanan. Tapi tidak denganku, kala itu aku sangat benci hujan di luar rumah. Apalagi hujan di dalam rumahku yang tak pernah membiarkanku tidur dengan tenang, hujan pertengkaran Ayah dan Bunda. Usiaku masih terlalu kecil untuk memahami perceraian di antara mereka.

Kata ‘cerai’ yang selalu Bunda lontarkan kepada Ayah adalah PR terberatku waktu itu. Bahkan aku masih belum bisa memahaminya sampai detik terakhir Ayah mengecup keningku dan berlalu pergi dengan wanita bergaun biru yang telah menunggunya di pintu.

Mulai hari itu, Bunda bekerja keras membiayai segala kebutuhanku hingga ia harus pergi ke luar negeri. Dengan sangat terpaksa Bunda menitipkanku kepada Nenek. Kemudian Nenek membawaku ke Jakarta, menetap di sana.

“Mulai sekarang ini adalah rumahmu,” kata Nenek setelah kami pindah ke rumahnya di Jakarta.

Aku hanya tersenyum untuk menjaga perasaan Nenek. Meski sebenarnya aku tak benar-benar merasa bahwa itu adalah ‘rumah’. Bagiku rumah bukan hanya tempat berteduh. Tetapi rumah adalah tempat pulang yang utuh.

Aku merasa seperti selembar daun kering yang hampir gugur dalam lukisan itu. Menunggu angin untuk meniupku dan membawaku entah ke mana. Seperti selembar daun kering yang rindu pulang namun angin selalu melemparku ke luar musim.

***

Cokelat panas yang tersaji di depanku mulai dingin, sedingin hujan di luar yang menyisakan gerimis.

Sementara aku beranjak mengambil cangkir baru dan membuat kopi hitam pekat yang sangat pahit. Sengaja memang. Kopi hitam, pahit, dan pekat seperti hidupku.

“Kamu kenapa, Key?” tanya Sindi.

“Aku rindu rumah.”

“Kamu itu aneh, Key. Ini ‘kan rumahmu,” ucap Sindi tertawa heran, tanpa pernah mengerti arti ‘rumah’ yang kumaksud.

Bagaimana bisa tempat ini kusebut rumah? Sedangkan pilar rumah ini telah runtuh bercerai. Entah sampai kapan aku tak bisa merasakan teduhnya rumah yang sesungguhnya.

Ya, itulah aku. Aku selembar daun kering yang pulang, rindu rumah. (*)

 

Pemalang, 18 Sept 2018

Nurul Istiawati, gadis berusia 17 yang hobinya dengerin musik klasik.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply