Aaron Smith (Episode 7)

Aaron Smith (Episode 7)

Aaron Smith 7

Oleh: Triandira

Mencuri Kesempatan

 

Aaron baru saja pergi bersama Hadley, tak lama setelah aku menutup toko. Karena sepi pembeli jadi kuputuskan untuk pulang ke rumah. Kebetulan aku juga sedang tidak enak badan. Seharian ini kepalaku terasa pusing, badan pun pegal-pegal. Aku benar-benar merasa lelah dan butuh istirahat. Beruntung Aaron tak menyulitkanku sama sekali. Ketika aku sedang melayani salah satu pelanggan, ia sibuk membaca buku milik George sewaktu kecil. Beberapa judul dongeng yang tak pernah bosan ia baca meski hampir setiap hari aku menceritakannya sebelum tidur.

Buku-buku itu memang menarik. Selain bergambar dan berwarna, tulisan di dalamnya juga tercetak dengan jelas. Sampulnya pun masih bagus karena aku menyimpannya dengan baik. Semua benda peninggalan George memang tersimpan rapi di dalam lemari. Aku sengaja meletakkannya di satu tempat agar ketika ingin melihatnya, aku tak bingung lagi harus mencarinya di mana.

Meski sudah lama berlalu, tapi berbagai hal tentang George masih melekat kuat di benakku. Bahkan setiap malam aku selalu merindukan kehadirannya. Terkadang sampai membuatku sulit memejamkan mata. Tak pelak, aku jadi begadang hingga tengah malam tiba. Mungkin karena itulah kesehatanku jadi menurun. Berjalan sambil menggandeng tangan Aaron saja rasanya sangat melelahkan. Padahal jarak rumah dengan toko tak terlalu jauh.

“Paman Hadley!” seru Aaron tiba-tiba setelah mendengar bunyi klakson. Aku menoleh ke belakang, tepat ketika Hadley keluar dari mobil lalu datang menghampiri kami.

“Apa Paman ke sini untuk menjemputku?” Hadley mengangkat tubuh anakku. Kemudian mengecup pipinya sebentar tanpa bermaksud menurunkan kembali bocah itu.

“Ya. Bukankah Paman sudah berjanji untuk mengajakmu jalan-jalan?”

“Hore!” teriaknya senang.

“Kalau begitu jangan biarkan Paman menunggu terlalu lama. Ayo, cepat masuk ke dalam dan ganti bajumu.”

Aaron menuruti perkataanku. Ia bergegas ke kamar dan melakukan apa yang kuperintahkan padanya barusan. Sementara itu, Hadley memintaku untuk berbincang dengannya sebentar. Kami duduk di ruang tamu, dan ia menjelaskan sesuatu padaku. Ah, bukan. Lebih tepatnya ia meminta izin padaku untuk membawa Aaron pergi selama beberapa hari.

“Apa?” tanyaku seolah tak percaya dengan kalimat yang ia lontarkan. “Maaf Hadley, aku tidak bisa mengizinkannya kecuali jika kau mengajak Aaron hanya untuk jalan-jalan.”

“Ayolah, Em, tidak akan terjadi apa-apa. Bukankah ada aku yang menjaganya?”

“Ya, itu benar. Tapi—”

“Percayalah, aku tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padanya. Lagi pula ini hanya untuk beberapa hari saja. Setelah itu aku sendiri yang akan mengantarnya pulang. Bagaimana?”

Hadley terus mendesak. Berusaha meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sebenarnya berat untuk mengizinkan Aaron pergi bersamanya, tapi aku juga masih punya hati. Tidak mungkin melarang Aaron untuk bertemu dengan kakeknya sendiri. Apalagi jika mengingat George, aku tidak akan sanggup dan tidak berniat memutus hubungan di antara kami.

Alfred adalah mantan mertuaku. Tapi bagi Aaron, lelaki tersebut tetaplah kakeknya sampai kapan pun itu.

“Baiklah,” akhirnya aku menyetujui keinginan Hadley. “Tapi kumohon jaga ia dengan baik. Jangan biarkan Tn. Alfred menyakitinya.”

“Tentu. Kau bisa memercayaiku.”

Hadley menatapku dengan untaian senyum di bibir. Dan aku hanya menganggukkan kepala sebagai balasannya. Aku harap Hadley tidak merusak kepercayaan yang telah kuberikan padanya. Karena jika sampai itu terjadi, maka aku tidak akan segan-segan menjauhkan Aaron darinya. Tak peduli seburuk apa pun risiko yang akan kutanggung nanti.

Usai berpamitan, Aaron langsung menaiki mobil yang terparkir di halaman. Duduk di samping Hadley yang sudah siap mengendalikan kemudi. Mereka melambaikan tangan, pun aku yang tengah berdiri di depan pintu. Beberapa saat kemudian, keduanya pergi bersama mobil yang mereka tumpangi.

***

Alfred menyambut hangat kedatangan Aaron. Ia meraih tangan bocah itu ketika sudah berada di dekatnya. Mereka masuk ke dalam rumah berlantai dua di mana George dulu tinggal dan dibesarkan.

“Aku akan meletakkannya di kamar,” pamit Hadley pada majikannya sambil menenteng tas ransel berisi pakaian yang Emma bawakan tadi. Rencananya, Aaron akan menginap di kediaman Alfred selama tiga hari. Sesuai keinginan lelaki itu.

Sementara Hadley melanjutkan kembali pekerjaannya, Alfred mengajak Aaron ke salah satu ruangan. Mereka terlihat senang. Sejak memasuki rumah kakeknya, Aaron tak henti berdecak kagum. Semua benda dan perabotan yang terpajang sangat jauh berbeda dengan apa yang pernah ia lihat selama ini.

“Kemarilah,” pinta Alfred hendak menunjukkan album foto. “Coba kita lihat, apa kau masih mengingatnya.”

“Ini Ayah, kan?”

“Ya, kau benar. Itu ketika George masih berusia sepertimu.”

“Ayah terlihat lucu,” Aaron tertawa kecil melihat foto ayahnya yang sedang tertawa dan memperlihatkan gigi ompongnya. “Dia pasti suka makan permen.”

“Bagaimana denganmu?”

Aaron terpingkal saat Alfred menggelitik pinggangnya. “Aku tidak malas sikat gigi, Kek. Lihat saja. Bagus, bukan?”

“Hm, kau merawatnya dengan baik.”

Satu per satu lembar foto mereka buka bergantian. Sampai akhirnya perhatian Aaron tertuju pada sosok lelaki muda yang mengenakan jas almamater dan toga di kepalanya. Berdiri di depan bangunan dengan nama kampus yang tertera jelas, Universitas Oxford.

“Bagaimana dengan yang ini? Siapa dia?”

“Kau tidak mengenalnya? Ini Kakek ketika masih kuliah dulu,” jawab Alfred.

“Wow, itu keren. Kakek cukup tampan.”

“Benarkah?” Ia kembali terpingkal setelah dipuji oleh cucunya. “Jika sudah besar nanti, kau juga bisa seperti Kakek.”

“Belajar di sana?”

“Ya. Jika kau mau.”

“Kelihatannya menyenangkan. Apa Kakek tau? Aku juga ingin pintar seperti Ibu.”

“Tentu saja. Kau bahkan bisa lebih pintar darinya.”Alfred memutar tubuh Aaron hingga mereka saling berhadapan. “Dengar. Jika kau memang ingin seperti ibumu, Kakek bisa membantu. Belajarlah yang rajin di sekolah yang sudah Kakek pilihkan untukmu.”

“Sekolah?”

“Ya. Sekolah terbaik di kota ini. Kau mau, kan?”

“Tapi Ibu tidak pernah bilang apa-apa.”

Alfred tersenyum samar karena kesempatan yang telah ia tunggu sejak dulu, perlahan mulai terbuka. Aaron nampak antusias dengan hal yang sedang mereka bicarakan, dan keadaan tersebut sangat menguntungkan baginya.

Tanpa ragu Alfred terus membujuk Aaron. Menggiring bocah itu agar menuruti semua keinginannya.

“Hm, itu sangat disayangkan,” ujarnya mengundang rasa penasaran Aaron untuk kembali bertanya. “Kau berhak bersekolah di tempat yang bagus dan memiliki teman yang juga pintar sepertimu. Dengan begitu kau akan semakin bersemangat saat belajar.”

“Benarkah? Kata Ibu, tidak masalah sekolah di mana saja asalkan rajin belajar.”

“Baiklah, begini saja. Besok Kakek akan menyuruh Paman Hadley untuk menemanimu pergi ke sekolah itu. Kalian bisa melihat-lihat keadaan di sana. Bagaimana? Jika kau tidak suka maka Kakek tidak akan memaksa.”

Aaron terdiam. Ia sibuk memikirkan ucapan Alfred, sementara lelaki itu sedang mengirim pesan singkat pada seseorang. Ia tidak ingin melewatkan sedikit pun peluang untuk menarik perhatian cucunya.

Bagaimanapun caranya, Kakek tidak akan membiarkan semua ini gagal. Alfred menghela napas dalam-dalam. Berusaha menahan egonya agar Aaron tak menaruh curiga, atau jika tidak maka usahanya tersebut akan berakhir sia-sia.

“Baiklah, Kek. Aku mau.”

Berhasil. Sekarang Alfred bernapas lega. “Bagus, Sayang. O ya, kau pasti lelah. Ayo, Kakek akan mengantarmu ke kamar.”

Aaron mengangguk setuju. “Jadi aku harus tidur?”

“Tentu saja. Besok ada banyak hal yang akan kita lakukan, jadi kau harus segera beristirahat.”

Mereka pergi meninggalkan ruangan yang didominasi oleh warna hijau tersebut. Senada dengan kamar yang sudah ia persiapkan untuk Aaron.

***

“Bagaimana. Kau menyukainya?” tanya Alfred usai Aaron baru saja kembali. Seharian ini ia keluar bersama Hadley. Berkunjung ke beberapa tempat seperti rencana Alfred kemarin.

“Ya. Aku suka.”

“Syukurlah. Jadi kau setuju kan, untuk bersekolah di sana?”

Tak ada jawaban dari mulut Aaron. Ia pun bingung harus mengatakan apa pada kakeknya, meski dalam hati ia menginginkan hal itu.

“Jangan cemas. Nanti biar Kakek yang membujuk ibumu,” tukas Alfred seakan mengerti dengan hal yang Aaron pikirkan. Ini memang risiko yang harus ia jalani. Tapi tidak masalah jika dengan demikian ia bisa mendapatkan keinginannya.

“Hm… semoga saja Ibu memberiku izin,” timpal Aaron.

“Kenapa tidak? Jika dia memang menyayangimu, maka tidak ada alasan untuk menolaknya.”

“Aku sering meminta pada Ibu agar membelikanku sepeda baru, tapi dia tidak peduli. Apa itu artinya Ibu tidak sayang padaku?”

“Entahlah, tapi lupakan saja. Sekarang yang terpenting masih ada Kakek yang menyayangimu,” hasut Alfred. “Jangan sedih lagi, ya. Saat pulang besok Kakek pastikan sepeda itu sudah ada di rumahmu.”

“Kakek serius?”

“Ya.”

“Hore! Terima kasih, Kek.”

“Sama-sama, Sayang.” Alfred tersenyum puas. Ia semakin dekat dengan tujuan hidupnya. Menarik simpati Aaron hingga bocah tersebut mulai membenci Emma. Ibu kandungnya sendiri.

***

Aku mendengar sebuah mobil berhenti di depan rumah. Setelah membuka pintu barulah aku mengetahui siapa yang datang. Aaron berjalan menghampiriku, diikuti Hadley yang melangkah dengan membawa barang di tangan.

“Hai, Sayang. Ibu merindukanmu.” Kupeluk tubuh Aaron sambil mengelus pelan punggungnya. Ia terdiam, lalu masuk ke dalam begitu Hadley menyapaku. Aneh, tidak biasanya ia seperti ini.

“Apa terjadi sesuatu?” tanyaku penasaran.

“Tidak. Aku rasa dia hanya terlalu lelah. Tiga hari kemarin ada banyak hal yang kami lakukan bersama.”

Aku mengangguk. “Terima kasih sudah mengantarnya pulang.”

“Sama-sama, Em. Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu. Kebetulan masih banyak yang harus kukerjakan.”

Tak lama setelah Hadley pergi, datang seseorang mengantarkan surat untukku. Beberapa lembar kertas yang membuat jantungku berdegup tak keruan ketika membacanya. Dan aku langsung terduduk lemas begitu mengetahui isi dari surat itu.

Aaron, kau….    

Jemariku bergetar ketika hendak menghubungi Hadley. Bahkan saking paniknya, ponsel yang kupegang sempat terjatuh ke lantai. Ah, jika tahu akan seperti ini aku pasti akan menahannya agar tidak pergi.

“Tenanglah, Emma. Tenang,” aku berusaha menguatkan diri sendiri sambil menarik napas dalam-dalam. “Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan sekarang?”

Bukannya berkurang, kepanikan yang kurasakan justru semakin bertambah. Terlebih ketika mengingat sikap yang Aaron tunjukkan terhadapku tadi. Di sisi lain, aku juga tidak bisa menghubungi Janeth karena ia sedang berada di luar kota. Ia sibuk bekerja dan aku tidak mungkin mengganggunya.

Tanpa pikir panjang lagi, akhirnya aku mengirim pesan singkat pada Hadley. Menyuruhnya agar segera menghubungiku begitu ia memiliki waktu luang. Ya, aku juga ingin menenangkan diri terlebih dahulu. Setelah itu, barulah menuntaskan permasalahan ini. Aku tidak boleh gegabah. Tidak sedikit pun.(*)

Bersambung….

Tentang Penulis:

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira      ( http://www.m.facebook.com/tri.w.utami.33/ ). Email: triwahyuu01@gmail.com

Blurb: Aaron Smith

Keteguhan hati Emma diuji ketika mantan mertuanya, Alfred hendak merebut  Aaron darinya–menukarnya dengan uang yang sangat besar. Bocah yang terlahir genius tersebut memiliki kemiripan fisik seperti ayahnya, George. Bertolak belakang dengan sang anak, Gorge justru terlahir sebagai penderita autis yang mengalami tekanan mental selama hidup bersama Alfred. Hal yang kemudian menjadi alasan Emma untuk membenci lelaki itu.

Hadley, tangan kanan Alfred diperintahkan untuk mendekati Emma supaya mau menyerahkan Aaron. Namun, selama misinya itu, Hadley semakin dekat dengan Aaron dan Emma. Apakah Hadley membantu Emma demi cinta, atau memilih uang dengan menghianati Emma dan menyerahkan Aaron kepada Alfred?

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita