Suamiku Bukan Suamiku 4
Oleh: Tutukz Nury Firdaus
Mas Pras sudah pulang bersama Alya dan Aya. Dia langsung mencari keberadaan handphone kesayangannya itu.
“Ada telepon?” tanyanya padaku.
“He-em,” kujawab pendek saja, karena jika tidak, pasti aku akan mengomel tak terkendali dan bisa-bisa kami bertengkar lagi.
Aku terus beristigfar dalam hati, berusaha bersabar sebisa mungkin, menghindari perdebatan sekecil apa pun di depan anak-anak.
“Siapa?”
“Lily.” Mas Pras mengernyitkan dahi. Mungkin dia heran melihat reaksiku yang biasa saja—seolah tak terjadi apa-apa, tidak seperti biasanya.
“Ngomong apa kamu sama dia?”
“Enggak ada.”
“Masa?”
“Iya. Tanya aja sama dia,” jawabku pura-pura tak acuh. Padahal darahku sudah mendidih sampai ke ubun-ubun rasanya. Astagfirullah.
Aku segera pergi menjauh darinya, takut tak bisa mengontrol emosi. Aku lihat dia sibuk lagi berkutat dengan handphone. Aku segera menelpon Nina. Tidak mampu rasanya menyimpan luka ini sendirian. Sesak melihat Mas Pras lebih peduli kepada orang lain dibandingkan padaku, istrinya.
“Assalamualaikum, Ra?”
“Waalaikumussalam, Nina. Tadi …,” aku menggantung kalimatku, celingukan kanan kiri sebelum mulai bercerita. Takut tiba-tiba ada orang lain yang mendengar pembicaraanku.
“Iya, tadi kenapa?” Nina terdengar penasaran.
“Wanita itu telepon ke handphone-nya Mas Pras. Aku angkat.”
“Lalu?”
“Sesuai dengan saran kamu, aku bersikap biasa aja. Tapi, Nin. Aku gak kuat, rasanya sakit.”
“Aku tahu, Ratih. Pasti sakit. Tapi ya ini, kesabaran kamu lagi diuji. Orang yang diuji hanya orang yang akan naik kelas, naik tingkatan. Percaya deh. Jangan putus asa,” Nina menyemangatiku.
“Anggap aja suamimu sedang sakit. Dan kamu adalah obat sekaligus dokternya. Kamu harus sabar ngerawatnya. Ketika dia sembuh nanti, dia akan sadar kalau kamu adalah yang terbaik buat dia. Kamu harus bersikap lebih agresif lagi. Lebih manja dan lebih perhatian.”
“Caranya?”
“Ya ampun, nanya lagi. Ya kalau dia pergi agak lama, telepon dia atau SMS gitu. Tanyain ada di mana? Deket-deket dia, manja-manja gitu. Tanyain dia besok mau makan apa? Hari ini acaranya ke mana aja. Siapin kesukaannya. Ya… pokoknya gitu-gitu deh,” seperti biasa Nina memberi saran panjang lebar, yang saat ini terdengar seperti ceramah seorang ustazah bagiku.
“Tapi Nin …,” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Nina sudah memotong dan nyerocos lagi.
“Masih kesel sama dia? Malu? Gengsi? Coba deh, kamu bayangin lebih malu mana kamu jadi janda atau kamu deket-deket, manja-manja sama dia. Apa susahnya coba. Kamu istrinya, udah halal, dapat pahala lagi, plus bonusnya suami makin cinta.”
Kupikir memang ada benarnya ucapan Nina. Apa salahnya aku bermanja-manja sama Mas Pras. Toh dia suamiku.
“Mesti gitu, ya?”
“Harus. Biasanya ya, laki-laki itu suka dengan wanita yang manja. Karena mereka merasa dibutuhkan sama pasangannya. Terus mereka juga senang diperhatiin. Manusia mana sih yang gak suka diperhatiin. Coba deh, kasih perhatian ekstra. Eh, udah dulu ya. Nanti disambung lagi. Ada tamu kayaknya. Assalamualaikum.” Nina menutup teleponnya.
***
Selama beberapa hari ini aku bersikap biasa saja. Sesuai dengan saran Nina, aku menyiapkan kesukaannya, bermanja-manja meskipun awalnya agak canggung karena aku bukan tipe orang yang manja, mendekatinya ketika dia sedang sendiri, menceritakan hal-hal kecil yang terjadi di rumah: terutama perkembangan Alya.
Awalnya dia memang acuh tak acuh dengan ceritaku, tapi makin ke sini rupanya dia mulai memberi respons. Setiap dia pulang kerja dia akan duduk di teras atau di depan televisi bersamaku, sekadar buat ngobrol walaupun hanya sebentar, tapi bagiku ini adalah perkembangan yang luar biasa.
Kebiasaannya dengan Lily? Masih.
Alya terbangun tengah malam. Memang dia agak rewel akhir-akhir ini, mungkin efek dari jatuh bangun karena belajar berdiri. Badannya agak demam, jadinya dia tidak mau tidur di kasur. Dia maunya tidur kalau digendong.
Aku menatap jam dinding. Sudah selarut ini Mas Pras belum pulang. Aku mencoba SMS dia.
Mas, ada di mana? Kok belum pulang?
Sebentar kemudian dia datang. Aku langsung menghampirinya.
“Hmm… Mas, Alya dari tadi rewel. Mas gak ada. Capek aku,” aku mengeluh kesal padanya, supaya dia tahu aku juga membutuhkan kehadirannya. Tidak hanya wanita itu.
“Kenapa baru SMS?” tanyanya yang bagiku malah terkesan menyalahkan.
“Emang harus di-SMS dulu ya baru mau pulang?”
“Ya udah, sini aku gantiin gendong Alyanya.”
Mas Pras selalu berhasil menenangkan anak-anakku saat mereka tantrum atau rewel. Makanya aku merasa sangat kebingungan saat dia tidak ada, apalagi kalau Alya lagi rewel.
Setelah Alya tertidur pulas, Mas Pras tidak juga tidur, padahal ini sudah sangat larut. Dia masih lanjut otak-atik handphone.
“Apa perempuan itu tidak ada kerjaan lain? Padahal esok harinya dia harus kerja,” pikirku.
“Eum… Capek,” ucapku sambil merebahkan kepalaku di pangkuannya.
Mas Pras terlihat sedikit terkejut. Mungkin merasa canggung karena tak biasa. Aku langsung bangun dan malah sengaja menyandarkan kepalaku di bahunya. Membuat dia berhenti beraktivitas dengan handphone-nya.
“Eum, Mas. Aku boleh tanya sesuatu?”
“Apa?” Aku berhenti merebahkan kepalaku dari bahunya. Menatapnya lekat.
“Seberapa besar rasa cinta Mas kepada Lily?”
Dia terdiam, mungkin tidak menduga arah pertanyaanku. Lantas menghela napas dalam-dalam.
“Aku gak tahu perasaan apa ini? Aku gak pernah kayak gini sebelumnya. Gak pernah juga serindu dan segila ini. Aku sadari semua ini, Ratih. Ini pasti menyakitimu. Aku selalu ingin berada di dekatnya dan melindungi dia.” Mas Pras meremas rambut dan mengusap wajahnya. “Ratih, maafkan aku.”
“Sejauh apa hubunganmu dengannya, Mas?” Aku belum mengalihkan pandanganku darinya
“Sumpah demi Allah. Aku gak pernah nyentuh dia.”
“Apa sumpahmu masih bisa kupercaya?”
“Itu semua terserah padamu, Ratih.”
“Kalau aku minta kamu memilih antara aku dan dia? Kamu pilih siapa?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku. Entah kekuatan apa yang membuat aku berani mengajukan pertanyaan gila ini.
Dia menggeleng lemah. “Aku gak bisa. Aku gak bisa pilih antara kalian berdua,” jawabnya lesu.
“Harus. Aku atau dia?” tanyaku dengan nada setengah mengancam.
“Dia hatiku, dan kamu ibu dari anak-anakku. Hidupku takkan lengkap tanpa salah satu dari kalian. Lily adalah gairah hidupku, dan anak-anak adalah semangat hidupku.”
“Egois.” Nampaknya aku terbawa situasi, aku lupakan pesan Nina.
“Aku atau dia?” Aku mengulang pertanyaanku dengan nada yang lebih tegas.
“Izinkan aku menikahinya.”
Kalimat terakhirnya membuat duniaku runtuh seketika. Suamiku meminta izin untuk menikah lagi. Air mataku yang sekuat tenaga kutahan akhirnya mengalir juga. Aku tidak tahu jawaban apa yang harus kuberikan. Hatiku sudah hancur berkeping-keping.
Aku mungkin bisa berbagi apa pun dengan orang lain. Apa pun itu. Tapi untuk berbagi suami… membayangkan saja aku tak sanggup. Mungkin berpisah akan lebih baik bagiku. Tapi anak-anakku? Apakah aku bisa sejahat itu memisahkan mereka dari ayah kandungnya? Hanya saja, jika harus bertahan aku tidak akan sanggup melihat suamiku berbagi kasih dengan wanita lain.
“Menikahlah dengannya, kalau itu bisa membuatmu bahagia. Aku ikhlas. Tapi kembalikan dulu aku ke orang tuaku.” Mas Pras terhenyak, kemudian menggeleng lemah. Entah apa maksudnya.
Dia menghela napas dan mengembuskannya dengan kasar, lalu meninggalkan aku sendiri yang terisak di ruang tengah.
***
Percakapan malam itu telah memberikan pukulan telak bagiku. Walaupun Mas Pras tak pernah berkata dia akan menceraikan aku, setidaknya aku sudah mengerti apa keinginan yang ada di hatinya. Ia ingin bersama wanitanya. Mungkin keinginannya saat ini sama dengan keinginanku saat itu, saat aku sangat ingin menjadi istrinya. Aku bisa mengerti, saat hasrat dalam dada begitu menggebu ingin bersama seseorang yang kita cintai, logika sudah tidak bisa berfungsi lagi. Tapi benarkah itu cinta?
Aku sadar, ini karma yang harus kuterima. Setelah sekian lama, aku tak peduli tentang apa yang dirasakan Mas Pras. Mungkin dia begitu tersiksa hidup bersama orang yang tidak ia cintai, berpura-pura bahagia di hadapan orang lain dan harus bertanggung jawab atas diriku secara lahir batin. Ini waktunya aku harus rela melepaskan statusku sebagai Nyonya Prasetyo Wijadmiko untuk digantikan oleh wanita lain. Dia yang namanya tak sanggup aku sebutkan.
“Assalamualaikum,” suara Aya membuyarkan lamunanku. Dia baru saja datang dari sekolah. Berlari ke belakang tanpa melepas sepatu terlebih dahulu.
“Waalaikumussalam. Aya… lepas dulu dong sepatunya. Cuci kaki dan tangan,” ucapku setengah berteriak. Tapi percuma, Aya tidak peduli dengan teguranku. Ia tetap nyelonong masuk ke arah dapur, mengambil sebotol air dingin di kulkas dan meneguknya dengan nikmat.
“Aya haus, Ma. Panas banget,” ucapnya setelah mengusap bibirnya yang basah dengan punggung tangan.
Dia melepaskan tas sekolah yang masih tersangkut di bahunya, duduk di ruang tengah bersamaku sambil melepas kedua sepatu dan kaos kaki putih.
Aku pura-pura menutup hidungku. “Bau, Sayang. Jangan dilepas di sini, ah.” Dia nyengir, kemudian bergegas menuju kamar mandi, dan datang kembali padaku setelah berganti baju sambil membawa boneka Hello Kitty kesayangannya itu.
“Adek mana, Ma?”
“Ikut Tante Hilda ke rumah Eyang.”
“Oh ….” Bibirnya membulat. Tak lama ia terus menatapku, sepertinya ada yang hendak ia tanyakan.
“Kenapa?” tanyaku.
“Mama. Aya bingung deh sama ayah-bundanya Tiara?”
“Ngapain bingung sama ayah-bundanya Tiara?”
“Tadi ‘kan, Bu Guru ngasih tugas untuk nulis silsilah keluarga, terus tiap anak disuruh maju ke depan sama Bu Guru. Terus ya, pas giliran Tiara maju, Tiara bilang dia punya dua ayah dan dua bunda, Ma.”
“Maksudnya gimana, sih? Mama gak ngerti deh?” Aku mengernyitkan dahi dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal, tanda tidak mengerti.
“Tiara bilang dia punya Ayah Lama dan Ayah Baru. Terus dia juga punya Bunda Lama dan Bunda Baru. Kata Tiara lagi ya, Ma. Ayah Lama tinggal sama Bunda Baru. Terus Bunda Lama juga tinggal sama Ayah Baru. Gitu.”
“Ayah dan bunda Tiara itu sebenarnya yang mana sih?” Kali ini aku pura-pura tidak mengerti walaupun sebenarnya aku sudah paham apa yang dimaksudkan oleh Aya.
“Ayah Lama dengan Bunda Lama, dong,” jawabnya tegas.
Aku mengangguk. “Oh… gitu ya.”
“Mama.”
“Iya?”
Mata bulatnya yang indah terus menatapku.
“Apa lagi?” tanyaku yang sudah hafal dengan kebiasaan Aya.
“Apa nanti Aya juga punya Papa sama Mama baru?” tanyanya polos.
(Bersambung)
Tutukz Nury Firdaus, lahir di Banyuwangi. Ibu beranak dua ini adalah seorang guru yang saat ini aktif mengajar di pulau antah berantah. Dia menulis, untuk membunuh rasa sepinya yang harus hidup sendiri tanpa anak dan suami di tempat tugas.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita