Serin

Serin

Serin

Oleh: Retno Ka

 

Aku sedang mengupas apel ketujuh saat Serin datang. Ia mengempaskan diri di lantai dan membuang napasnya kasar-kasar, seperti sengaja supaya aku mendengarnya. Mungkin ia kesal dengan Oris yang banyak tingkah, mungkin juga sedang pusing karena ibunya yang setiap menelepon hanya membicarakan cicilan-cicilan yang harus dibayar. Entah apa pun itu, aku tidak peduli sebenarnya. Di antara empat orang yang bekerja di rumah ini, Serin adalah yang paling muda, tapi ia juga yang paling sering mengeluh padahal pekerjaannya terbilang paling mudah. Ia hanya mengasuh Oris yang sudah berusia tujuh tahun.

“Mbak, ayo kita piknik,” gumamnya tiba-tiba saja.

Aku menoleh sebentar ke arahnya. Ia telentang dengan kedua tangan terlipat di atas perut, dan mata yang memandang lurus ke langit-langit dapur. Tidak ada sarang laba-laba di langit-langit itu, tetapi di dalam kepalanya, kurasa ada.

“Mbak, ayo.” Kali ini ia bangkit duduk, lalu tangannya mengusap-usap lenganku.

“Bukannya kamu sering pergi-pergi? Ke mall, kebun binatang, bahkan pernah ke luar negeri. Begitu kamu masih perlu piknik? Aku malah nggak ada waktu untuk memikirkan itu,” ujarku sambil memasukkan potongan apel ke blender.

“Yang Mbak sebutkan itu, semuanya pekerjaan. Meski kelihatannya jalan-jalan, itu sama sekali nggak ada asyiknya. Malah dapat lelahnya saja.”

“Paling nggak itu lebih baik daripada kamu harus nguplek di dapur seharian penuh. Kamu mau bertukar tugas denganku?”

“Nggak mau,” jawabnya, kemudian tertawa.

Aku menggeleng-geleng mendengarnya. Mungkin sebenarnya yang ia butuhkan bukan pergi piknik, melainkan berbincang ringan seperti ini. Ah, sungguh, aku tak mau peduli.

Jika berbicara beban, aku berani bertaruh di rumah ini tidak ada yang lebih berat daripada yang aku bawa. Aku harus bangun sebelum subuh sekali pun mataku baru boleh terpejam saat jam hampir menyentuh pukul satu. Memulai aktivitas dengan sekeranjang penuh baju kotor di loteng. Aku merendam semua baju itu di dalam ember, lalu kutinggal sebentar untuk sholat dan mengisi perut dengan segelas teh hangat. Setelah itu, aku berlari lagi menghadap cucian; mengucek, menyikat, membilas. Kemudian, akan kucemplungkan baju-baju itu ke mesin cuci untuk dikeringkan. Jangan tanya mengapa mesin cuci di sini hanya boleh digunakan untuk mengeringkan saja, itu sudah menjadi peraturan tak tertulis. Sekali aku mencoba diam-diam mencuci langsung dengan mesin, Nyonya Irene akan segera tahu saat melihat tagihan listrik terbaru. Dan aku harus bersiap dengan amukan yang tak berkesudahan.

Saat baju sedang di pengering, aku tinggal untuk menyiapkan sarapan semua orang sekaligus bekal yang harus dibawa oleh kedua majikanku. Di saat itulah biasanya, Serin muncul dengan wajah yang belum tersentuh air.

“Hari ini, Oris bawa bekal apa, ya, Mbak?” Begitulah kemudian ia akan bertanya.

Awal-awal kedatangannya di sini, aku memang membantunya untuk menyiapkan keperluan Oris. Tapi setelah tujuh bulan berlalu, tentu aku tak mau lagi melakukannya meski hanya sekadar memberikan ide. Itu urusannya. Aku sudah pusing sendiri dengan menu-menu yang setiap hari harus berganti.

Selain Serin, ada juga Agus dan Mbok Tin yang bekerja di sini. Agus adalah sopir sekaligus yang mengurus anjing-anjing peliharaan di sini. Sedangkan Mbok Tin, ia yang mengurus Nyonya Werd, mamanya Nyonya Irene. Ya, Nyonya Irene masih punya mama. Usianya tujuh puluh dua, dan ia sudah lumpuh selama sembilan tahun. Konon, Mbok Tin sudah mengabdi di keluarga ini sejak Nyonya Irene masih balita dan itu benar-benar ingin ia tunjukkan dengan sikapnya yang sengak dan sok berkuasa di antara para pembantu. Bahkan, Mbok Tin tak segan untuk memarahi Nyonya Werd setiap kali hendak memandikannya. Aku dan yang lainnya hanya bisa pura-pura tak mendengar. Karena selain tak bisa membantu, kami juga tak mau bersinggungan dengan nenek lampir itu. Sebenarnya, sungguh, Mbok Tin lebih menyeramkan dari Nyonya Irene. Sayangnya Nyonya Irene tidak pernah tahu. Mbok Tin selalu tampak ramah dan menyenangkan ketika di depan Nyonya Irene dan suaminya. Bahkan, Oris pun menyukai Mbok Tin dan sudah menganggapnya seperti nenek sendiri. Benar-benar memuakkan. Beruntung Mbok Tin hanya datang dari pukul sembilan pagi sampai pukul empat sore saja. Aku tak perlu bekerja sambil terus menahan geram.

Bagaimanapun, aku memang harus bertahan. Gajiku sudah lumayan. Ada anak yang harus kuberi nafkah di kampung. Meskipun ia membenciku karena sudah memisahkannya dengan ayahnya, dan ketika aku pulang ia tak mau mendekatiku, tapi kata neneknya, sebenarnya ia selalu menanyakan kabarku.

Tentu aku juga punya hal-hal rumit seperti itu. Hidupku hampir tidak pernah berjalan sesuai keinginan. Rasanya sungguh tak masuk akal jika anak bau kencur seperti Serin lebih tampak menderita dariku.

***

Sore itu ada pesta kecil-kecilan di rumah ini. Nyonya Irene berulang tahun ke-36 dan ia mengundang beberapa kolega dan teman dekatnya. Tidak sampai dua puluh orang. Pesta bertajuk buah kesukaan Nyonya Irene, yaitu apel, sehingga dari segala minuman dan kudapan terbuat dari apel. Hanya ada beberapa menu selingan supaya para tamu tidak bosan.

Namun, meski terbilang kecil-kecilan, dan hanya berlangsung dua jam, pesta itu berhasil membuat badanku remuk semua. Aku sudah mempersiapkan itu sejak pagi. Mulai dari pergi ke pasar untuk membeli sekeranjang besar apel, lalu menata kursi dan meja di halaman rumah dengan bantuan Agus, hingga akhirnya pesta berakhir dan aku masih harus meringkas semuanya supaya kembali rapi seperti semula. Tak ada yang kupikirkan lagi saat itu, selain menyelesaikan semuanya secepat mungkin dan aku bisa segera bercengkerama dengan kasur.

Namun, meski sudah berusaha cepat, aku tetap baru bisa menyelesaikan semuanya pada pukul sembilan malam. Astaga.

Untuk hari-hari sibuk seperti ini, biasanya aku meminta bantuan Agus dan Serin. Tapi mereka beserta para majikan sedang jalan-jalan entah ke mana. Hidup mereka seperti hanya tentang senang-senang. Sedangkan aku, di rumah bersama dengan Nyonya Werd yang hanya bisa terbaring dan menonton televisi. Bukan main.

Aku mematikan televisi di kamar Nyonya Werd, ia sudah terlelap. Lalu, aku pergi ke kamar sendiri di lantai dua. Terlelap. Namun, belum-belum, telingaku terasa ada yang meniup-niup.

“Mbak Ningsih, ayo piknik.”

Mataku sedikit terbuka saat mendengarnya. Aku melihat Serin terbaring di sampingku. Jarang sekali ia memanggilku beserta nama, rasanya aneh. Dan aku mencoba tak peduli. Kutindih telingaku dengan bantal guling, lalu kembali pergi ke alam mimpi. Waktu istirahatku yang berharga, tidak boleh ada yang merampas.

Namun, aku segera menyesali ketidakpedulianku ketika aku benar-benar terbangun pada waktu yang biasanya. Lima belas menit sebelum azan subuh berkumandang, aku mendapati Serin yang kasurnya bersebelahan denganku telah bersimbah darah di bagian bawah.

Entah apa yang terjadi, aku langsung kalang kabut dan membuat keributan. Aku menggedor-gedor pintu kamar Nyonya Irene, lalu mengatakan apa yang baru saja kulihat kepadanya.

***

Serin dibawa ke UGD dan masih belum tersadar hingga kini. Sudah hampir dua jam. Dokter yang menanganinya berkata bahwa Serin keguguran setelah meminum pil peluruh kandungan. Itu sontak membuat Nyonya Irene, Agus juga aku tersentak kaget.

Keguguran? Serin hamil? Aku sungguh tak habis pikir kenapa aku tak mengetahuinya, apalagi dokter mengatakan bahwa usia janin sudah memasuki empat bulan. Seharusnya itu sudah terlihat, dan aku sama sekali tidak peka bahkan ketika tempo hari ia terbaring sambil menautkan tangannya di perut.

Di ruang tunggu, Nyonya Irene terus menginterogasi Agus. Setengah menuduh bahwa Aguslah yang telah menghamili Serin.

“Bukan saya, Nyonya. Bener. Bukan saya.”

Berapa kali pun Nyonya Irene bertanya, jawabannya selalu sama.

“Kalau begitu siapa? Serin punya pacar?”

“Mungkin saja. Serin … setiap kali saya mengantarnya ke pasar, dia selalu lama di dalam. Mungkin dia bertemu pacarnya, Nyonya.”

“Ah, tidak jelas kamu Agus!”

“Karena saya nggak tahu, Nyonya.”

“Ya sudah, ya sudah.” Nyonya Irene tampak menekuk wajah. Lalu, sejurus kemudian menatapku.

“Bi Ningsih, nanti kalau Serin sudah pulang, bawa dia ke rumah, ya? Habis itu, sekiranya waktunya tepat, tolong antarkan dia ke stasiun. Biarkan dia mudik. Mungkin dia kangen ibunya. Aku akan cari penggantinya.”

Aku langsung mengangguk, tapi itu tidak menepiskan perasaan kagetku. Tidak kusangka akan begini akhirnya.

Namun, Serin … bukankah karena sudah begini, kamu jadi bisa piknik sepuasnya?

Jepara, 18 Agustus 2022.

 

Retno Ka, ibu dari seorang anak lelaki. Menyukai hijau, dan laut.

 

*Cerpen ini merupakan cerpen yang terpilih di bulan Agustus. Ide cerpennya unik dan karakter-karakternya khas, sehingga cerpen ini mampu menampilkan sebuah cerita yang mengalir dengan sedikit kejutan menjelang akhir.

 

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply