Innocent Bos (Part 13)

Innocent Bos (Part 13)

Innocent Bos

Oleh: R Herlina Sari

 

Part 13

 

“Kamu gak perlu belajar remeh temeh gitu. Semua sudah saya berikan ke orang lain. Tugasmu cukup membantu semua keperluan harian saya. Termasuk outfit apa yang harus saya pakai hari ini,” ucap Pak Nala. Dia bersandar di pintu ruangan sambil memasukkan tangan ke saku. 

Mendengar itu, sontak Pak Edo terbahak.

“Sia-sia gue ngajarin gadis ini,” katanya.

“Bisa gak sih lu pake bahasa yang formal aja di kantor. Ini bukan klub malam yang biasanya lu datengin,” tegur Pak Nala.

Sekarang, giliran aku yang bengong. Dua manusia ini sedang berbicara akrab menggunakan bahasa gaul yang tak formal. Aku seperti melihat sisi lain dari Pak Nala. Ternyata dia juga tak sekaku yang selama ini terlihat.

Aku mengusap mata yang berair karena menahan tawa. Aku baru tahu kalau Pak Nala juga ada bakat untuk sedikit bercanda. Aku kira bisanya hanya nyinyir atau memberi kerjaan yang lebih. Seperti mengajak lembur atau hal lainnya yang membuatku tak bisa segera pulang.

“Sudah … sudah … saya ndak keberatan, kok. Kalau Bapak-bapak berdua memakai bahasa non formal di sini.” Aku berusaha melerai perdebatan kedua lelaki dewasa yang terkadang suka bersikap kekanak-kanakan itu. Semua yang terlihat hari ini, tak seperti mereka yang biasa. Kaku, cuek, dingin, dan sedikit … emm tampan dengan segala sifatnya.

Mereka menoleh. Wajah Pak Nala menjadi merah padam. Tangannya mengepal, sedangkan Pak Edo tertawa lebar.

“Jatuh wibawa gue di depan Shera,” umpat Pak Nala.

Lagi-lagi Pak Edo tertawa semakin kencang. Aku pun ikutan tersenyum melihat tingkah mereka berdua. 

“Apa?” Aku mendelik sebal. Saat Pak Nala melakukan skinship padaku. Aku kaget. Lenganku dicekal dan aku diseret keluar dari ruangan.

“Jangan cerita macam-macam sama orang lain. Saya serius.”

Kata-kata Pak Nala mau tak mau semakin membuatku tertawa. Orang ini lucu. Namun, saat kulihat matanya sedang menatap tajam, kuurungkan lagi niat untuk mentertawakannya. Aku tak mau diterkam oleh singa yang sedang kelaparan. Aku takut akan dipecat karena berani mentertawakan seorang bos.

***

Hidupku berubah seratus delapan puluh derajat. Berubah drastis semenjak naik pangkat. Berangkat pagi pulang dini hari. Ya, walaupun gaji tinggi, tapi beban pekerjaan lebih membuat kepala berdenyut. Apa lagi kelakuan absurd Pak Nala dan Pak Edo yang hanya kami bertiga yang tahu, menambah beban pikiran. Waktuku untuk jalan-jalan atau sekadar shopping jadi terganggu karena ulah mereka berdua. 

Emak sampai heran, mengapa waktuku lebih banyak di kantor. Sehingga beliau mengusirku dari rumah dan menyuruhku untuk pindah ke kontrakan yang lebih dekat dengan kantor. Sial! Alasannya klasik, Emak enggak mau bukain pintu tengah malam. Ganggu tidur katanya. Astaga, sama anak kandung sendiri main perhitungan. Bagaimana jika aku anak tiri? Pasti akan dikasih price list. Heuh.

Pekerjaan semakin hari semakin menggunung. Dulu yang katanya aku tak perlu belajar beremeh temeh rupanya hanya omong kosong belaka. Nyatanya, Pak Edo tetap saja menjejaliku dengan tugas-tugas yang kalau dibilang delapan puluh persen yang seharusnya menjadi tugasnya, dialihkan padaku. Memang, dia rekan kerja yang cukup pengertian. Apa lagi setelah tahu aku jomlo, semakin bahagia dia menyiksaku. Walaupun sering kali Pak Nala bilang kalau aku ini miliknya. Ternyata bisa diartikan jika orang lain tak berhak untuk memberiku pekerjaan.

Lelaki itu semakin manja. Kopi saja tak mau dibuatkan oleh orang lain. Dan jas yang dia kenakan setiap hari adalah hasil pilihanku. Setiap pagi, layaknya seorang istri, aku harus mendandani Pak Nala sedemikian rupa. Membantu memasangkan dasi, mengatur minuman, sarapan, kegiatan, bahkan hingga makan malam. Kalau perlu menemaninya tidur. 

Ya, aku harus menemaninya tidur dalam bentuk suara. Bos dingin itu selalu meneleponku saat malam. Aku diwajibkan untuk mengoceh dan mendongeng agar dia segera lelap. Huft! Kalau enggak bergaji tinggi, bakal aku tinggal pekerjaan ini. 

***

Hari ini kuawali dengan bismillah. Raka menghentikan jalanku saat akan memasuki lift. 

“Shera, tunggu!” panggilnya. 

“Hem. Ngapain pagi-pagi udah tereak-tereak. Tumben nyari aku?” tanyaku. 

“Udah beberapa kali aku ke bilikmu, kenapa kosong ya? Kamu sakit?” tanya Raka. Wajahnya tampak khawatir. Sesekali tangannya mengusap dahiku, seakan-akan dia sedang memastikan bahwa aku baik-baik saja. 

“Emang orang-orang di sana gak bilang kalau aku pindah ke lantai tujuh?” Aku balik bertanya. 

“Enggak ada yang bilang. Mereka cuma ngomong kalau kamu gak hadir. Enggak ada yang tau,” katanya. 

Aneh! Bagaimana mungkin enggak ada yang tahu kalau aku pindah divisi. Sedangkan pastinya gosip-gosip sudah beredar luas jika Pak Nala naik jabatan. Ah, bukan lagi gosip, tetapi sebuah pengumuman. 

“Kamu gak tahu kalau Pak Nala udah baik jabatan? Aku diajak jadi asistennya,” jawabku.

“Enggak. Sejak kapan?” tanya Raka. 

“Dua minggu yang lalu.” 

“Pantesan. Aku abis pulang dari dinas luar kota. Baru kembali kemarin dan langsung ke bilik kerjamu. Mau ngasih sesuatu,” kata Raka. 

“Ya udah nanti aja ke lantai tujuh. Anterin,” sahutku. 

Belum sempat Raka menjawab, terdengar deheman yang membuat jantungku berdegup kencang. 

“Ehem.”

Aku berbalik. Mendapati tatapan tajam dari bos killer yang luar biasa tampan. 

“Sepertinya, tugas yang saya berikan masih terlalu ringan hingga kamu masih ada waktu untuk bersenang-senang, Shera,” bisik Pak Nala. 

Pak Nala berlalu, melewati dan melangkah menuju lift khusus para direksi. 

“Mati aku!” Sial, mengapa lelaki itu datang pagi-pagi. Padahal jam tanganku masih menunjukkan pukul 07.30. Terlalu dini untuk bos penting sebuah perusahaan datang. Sudahlah, terima saja nasib. Tambahan kerjaan juga tambahan duit. Tiba-tiba mataku bersinar memikirkan tambahan gaji yang akan aku terima di akhir bulan dan melupakan singa kelaparan yang sedang bersiap menerkam. 

“Oke. Nanti sebelum makan siang, aku ke kantormu. Kita makan siang bareng, ya. Sudah lama rasanya enggak sama-sama seperti dulu,” kata Raka. Ternyata bocah ini masih setia di sampingku. 

“Aku gak janji, Ka. Kamu tahu sendiri si bos gimana. Dia mana mau ngijinin aku buat makan di luar. Terlebih sama kamu,” jawabku. 

“Posesif banget tu laki. Heran deh aku.” Raka memegang dagunya. Dia mengeluarkan napas dengan berat. “Ya sudahlah, daripada kamu dipecat. Apa boleh buat,” katanya. 

Tak aku gubris kata-kata Raka. Bertepatan dengan lift terbuka, aku segera masuk dan naik ke lantai tujuh sebelum innocent bos itu murka dan memberi hukuman yang indah. 

“Woy, masih pagi kok sudah muka ditekuk aja kamu, La? Habis diputusin pacar?” tanya Pak Edo. Bukan bermaksud menguping, hanya saja aku tak sengaja mendengar saat melewati ruangan Pak Nala yang terbuka sedikit pintunya. 

Belum sempat kudengar jawabannya, segera aku lakukan tugas di pagi hati, menyiapkan secangkir kopi untuk bos tersayang. Setidaknya, setelah menghirup uap kopi, pikirannya akan sedikit lebih tenang. Sehingga akan memberiku tugas yang ringan.

 

Bersambung ….

 

RHS, penyuka hujan, senja, kupu-kupu, dan kamu.

 

Editor: Imas Hanifah N

 

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply