Finding Me in Loving You (Part 2)
Oleh: Ine Young
Aku tak ingin memikirkan pemilihan penari utama di klub yang telah gagal aku dapatkan. Aku suka menari balet, karena ini adalah panggilan jiwa. Jadi, seberapa keras aku dijatuhkan, aku akan selalu bangkit kembali dan berjuang dua kali lipat lebih keras.
Sudah dua minggu aku terlalu banyak bersantai. Maka, siang ini aku akan mengikuti audisi pencarian bakat di sebuah gedung. Aku telah membeli sepatu balet baru. Memang tidak senyaman yang lama, tapi tak mengapa.
“Peserta nomor 1621,” panggil seorang pria yang kurasa adalah seorang panitia audisi. Tibalah giliranku dan panggung itu akan kumiliki. Tiba-tiba, seseorang menabrakku.
“Aduh,” kataku dengan sebal.
“Maafkan aku.” Pria itu meminta maaf. Aku mengamatinya. Sepertinya ia akan naik ke panggung juga. Tunggu dulu. Wajahnya familiar. Ah, benar. Kurasa ia adalah pria yang menari di taman waktu itu.
“Hei, ini giliranku,” sergahku.
Ia menunjukkan kertas berisi nomor urutnya, 1621. Bagaimana bisa sama denganku? Kami berdua menunjukkan wajah protes kepada pihak panitia yang melakukan kesalahan penomoran.
Lalu, entah bagaimana, kami diperintah menari bersamaan. Yang benar saja? Tarian kami berbeda jauh, bagaimana mungkin bisa disatukan? Peserta memang diperbolehkan bertanding sendiri atau berkelompok. Tapi, kami belum memiliki konsep bersama.
Tiba-tiba, pria itu menarik tanganku dan membawaku ke atas panggung. “Hey!” bisikku tegas, tak ingin didengar juri, maupun yang lain.
“Ikuti saja alunan musiknya, lakukan seperti yang biasa kau lakukan, gerakkan tubuhmu dengan lepas leluasa. Tanpa beban. Percayalah padaku,” bisiknya dibumbui dengan senyuman manis.
Baru saja beberapa kali bertemu, ia sudah menyuruhku mempercayainya? Siapa kau? Dasar orang aneh, pikirku.
Tidak ada pilihan, aku pun menari bersamanya. Sebagai permulaan, aku melakukan pointe work, gerakan balet yang bertumpu pada ujung jari kaki.
Aku mengelilingi panggung dan ia meletakkan kedua tangan bergantian menempel pada lantai lalu memutar tubuhnya dengan posisi kedua kaki terbuka lebar di udara. Lalu, ia melompat berdiri dan menyusul menangkapku.
Ia menarik tanganku dengan lembut hingga mendarat di dadanya. Ia memposisikanku dengan nyaman, lalu memegang pinggangku dan aku berganti gaya melakukan gerakan penche – gerakan balet yang menaikkan salah satu kaki ke atas hingga sudut lebih dari 90 derajat. Ia mengangkatku dan membawaku mengitari panggung.
Sekitar sepuluh menit berlalu, aku melanjutkan melakukan gerakan fouettes—gerakan berputar sebanyak 32 kali—dengan sempurna sebagai penutup. Tepukan tangan bergaung memenuhi seluruh ruangan.
Pertama kalinya, aku melakukan hal spontanitas dan harus kuakui, ini seru! Aku tersenyum lebar melihat juri mengangguk-angguk seakan menikmati pertunjukan kami.
Kami menunggu penilaian selama tiga jam lamanya. Selama itu, ia mengajakku pergi makan di sebuah kafe kecil bernama Bon Marche yang mana menawarkan menu sangat enak, tapi dengan harga terjangkau. Aku sangat lapar. Apakah aku akan makan banyak lagi? Aku berpikir melihat daftar menu.
“Aku tahu tadi kita telah menyebutkan nama di atas panggung. Tapi, aku ingin berkenalan secara formal denganmu. Namaku Louie. Siapa namamu?” tanyanya tersenyum. Iris matanya berwarna biru, indah sekali. Sejenak aku tersihir.
“A-aku Ivone. Ivone Milla,” jawabku.
Setelah selesai makan, tak lama kemudian kami kembali ke gedung audisi dan menemukan nama kami berdua di papan pengumuman sebagai peserta yang masuk dalam daftar lolos. Aku sangat gembira melihat pengumuman itu!
Begitu pula dengan pria di sampingku ini. Kami melompat kegirangan dan ia memelukku. Aku seketika terpaku terdiam merasakan kehangatan yang begitu nyaman.
oOo
Beberapa minggu berlalu, kami berlatih bersama, berusaha menyatukan dua jenis tarian berbeda dalam irama yang sama. Aneh. Sulit. Seru. Menantang.
Semua bercampur aduk. Sungguh perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Berada di dekatnya bagai candu yang membuatku lupa waktu. Perasaan apa ini? Rasanya begitu hidup!
Kami selesai berlatih di studio menari pada malam hari ini. “High-five,” kata Louie mengangkat tangan kanan. Aku menepuk tangannya dan seketika ia menelusupkan jari-jarinya di sela-sela jariku.
Ia mendekatkan wajahnya padaku. Begitu dekat hingga kami berciuman. Tiba-tiba saja hal itu terjadi dan itu membuatku kaget. Aku tak paham mengapa dadaku berdegup kencang dan kakiku lemas sekali. Aku bahkan hampir terjatuh. Namun, Louie menahanku dan aku terdiam.
“Ada apa?” tanya Louie bingung.
“Tidak. Aku hanya berpikir, mengapa kau bisa menyukaiku. Aku adalah seorang wanita yang keras hati, apatis, dan tak peduli pada apa pun,” ucapku menatap matanya yang berkilau.
“Siapa bilang?” tanyanya. Ia tersenyum manis dengan kelopak mata yang melengkung. Sungguh menggemaskan.
“Kau itu cantik dan berbakat. Wanita cerdas, juga mandiri. Sejak pertama kali melihatmu, itulah detik pertama hatiku meluruh dan jatuh. Ivone Milla, aku jatuh cinta padamu, bibirmu, matamu, rambutmu, bahkan helaan napasmu. Semua tercipta begitu indah,” sambungnya.
Kata-katanya membiusku. Aku bisa melihat pupil matanya membesar, tanda bahwa ia bersungguh-sungguh mengatakannya. Kami kembali berciuman, bibir kami saling berpagutan dengan tangannya melingkar di pinggangku.
Aku adalah pemula dalam hal ini dan aku rasa aku telah terjatuh dalam perasaan yang membuat seluruh syaraf di tubuhku menjadi lebih aktif.
oOo
Kami berdua, bersama lima puluh peserta lainnya berangkat menjalani tur ke berbagai tempat. Ini adalah proyek ternekat yang pernah kuambil dan aku sangat beruntung bisa terlibat di dalamnya. Kami pergi ke berbagai kota dengan bus.
Aku menikmati pemandangan kota yang kami lewati, menyusuri keindahannya pada malam hari dengan lampu-lampu menyala berwarna-warni, bermalam di bis, dan terbangun di kota lainnya keesokkan paginya.
Ini adalah sebuah pengalaman yang tidak pernah aku alami dan berhasil membuatku merasa lebih bergairah dari sebelumnya.
Cinta. Tidak kusangka pengaruh sebuah kata ini begitu besar. Juga Louie yang membuatku mengubah cara pandangku dalam berbagai hal.
Sepanjang malam, Louie menyodorkan bahunya untuk menjadi tempatku melabuhkan kepala. Bisa tercium wangi sampo mint segar ketika aku menengadah membelai rambutnya. Wangi yang kuinginkan melekat pula di tubuhku.
“Louie, kau tahu? Aku merasa nasib mulai memihakku,” ucapku lembut. Louie menggelengkan kepala.
“Nasib telah memihakmu sejak dulu.”
“Bagaimana bisa? Masa kecilku saja penuh dengan kenangan buruk.”
“Percayalah, semua hal yang terjadi memiliki maknanya sendiri. Kau lihat, kita adalah dua orang dengan sifat dan latar belakang yang berbeda pula. Pastinya bertemu untuk sebuah tujuan, entah apa pun itu. Belajar merasakan lebih, melihat lebih, mendengar lebih. Barulah kau bisa memahami apa yang sedang terjadi pada dirimu.”
Kami turun di kota Praha. Di sanalah tur pertama kami dimulai. Kami dikenal dengan Danseurs D’Amour atau Penari Cinta.
Aku tak tahu apa akhir kisahku akan seperti ibuku atau seperti Bibi Laura. Atau mungkin, aku dan Louie akan mengukir kisah kami dengan cara kami sendiri. Aku akan mengetahuinya setelah kujalani.
Oh ya, Louie berpesan, “Jatuhlah dalam cinta hingga kau menemukan dirimu yang sebenarnya.”
Sampai jumpa, kami bekerja dulu! XoXo.
Semarang, 15 September, 2021
(“The first person you need to impress is yourself.” – Ine Young.)
Ine Young. Menulis adalah kekuatan tersembunyi, jangan ragukan dampak hebatnya suatu hari nanti. Kritik dan saran: Instagram @ineyoung.
Editor: Imas Hanifah N
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata