Finding Me in Loving You (Part 1)

Finding Me in Loving You (Part 1)

Finding Me in Loving You (Part 1)

Oleh: Ine Young

 

Jolie Beau Danse. Studio menari tempatku berlatih selama ini di kota Paris. Aku memasuki ruangan studio, menaruh tasku, dan menyalakan pemutar lagu. Memakai sepatu berwarna baby pink dengan tali panjang yang kulilitkan di sepanjang kaki hingga betis.

Kubiarkan tubuhku menari mengikuti alunan lagu klasik yang memenuhi seluruh ruangan. Ini sudah kulakukan sejak usiaku 5 tahun. Impianku adalah menjadi seorang balerina yang memiliki pertunjukannya sendiri.

Tidak terasa waktu telah bergulir selama satu setengah jam dan masih tersisa 30 menit sebelum aku menyudahinya. Aku sering seperti ini. Berlatih dan rehat sebentar, lalu menari kembali.

Bibiku adalah seorang balerina profesional. Aku mengaguminya sejak kecil. Mungkin karenanyalah aku telah jatuh cinta hingga aliran nadi terdalam pada tarian balet.

Bibi Laura adalah wanita tercantik dan teranggun yang pernah kulihat. Ia menari bagaikan roh balet sudah melekat erat di dalam tubuhnya. Bahkan ibuku sendiri pun tak dapat menyainginya. Ibuku seorang penari kelab malam. Mereka sama-sama penari, tapi berbeda kasta.

Maaf, aku tidak sedang mengumpat dan tidak sedang mendiskriminasi. Diri ini hanya sedang menumpahkan kekesalan akibat ulah seorang pemberi kehidupan.

Setelah kepergian Ayah, Ibu menelantarkanku demi menikah dengan seorang pemabuk. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi begitulah adanya. Ibu hanya ingin menikmati kehidupannya, itulah sugesti positif yang kurajut dengan benang emas di dalam otakku.

Aku takkan mendendam. Itu semua tak lagi menjadi masalah sebab aku sudah mati rasa. Kini, menjadi apatis adalah pilihanku. Bibi Laura datang menyelamatkanku bagaikan setetes embun bening di kegersangan sahara.

Laura Jullians, wanita teranggun yang mana adalah saudari ayahku. Ia tak memiliki anak dengan pernikahan bahagianya bersama Paman Frank. Aku pun lantas menjadi anak kesayangan mereka.

Anggap saja nasib mulai berpihak kepadaku. Aku mensyukurinya. Aku menyayanginya bahkan hingga akhir hayatnya yang direnggut oleh penyakit kanker darah, Leukimia.

Paman Frank hingga kini masih sendiri. Ia tak ingin menikah lagi. Begitu dalam cintanya pada Bibi Laura membuatnya menjalani hidup dalam kedukaan dan kesendirian.

Bertahun-tahun lamanya, ia habiskan dengan berkebun demi mengalihkan rasa kesepian yang telah mengakar kokoh di dalam dirinya. Aku menikmati hasil panen yang dituai Paman Frank. Setidaknya, melihatku memakan sayuran sehat dan organik dapat membuat Paman Frank sedikit berbahagia.

Kisah kehidupan orangtua kandung dan juga Paman, serta bibiku, membuatku merenung. Bahwa, tidak ada jalan yang benar-benar sempurna. Tidak ada manusia yang benar-benar bahagia dengan saling mencintai hingga akhir.

Buktinya, ibuku masih terus meneleponku untuk meminta uang juga mengumpat dan membanting barang ketika bertengkar dengan si pemabuk itu.

Pamanku yang begitu mencintai Bibi juga harus berpisah dengan Bibi begitu cepat. Cinta hanyalah omong kosong. Bagaikan buntalan permen kapas yang akan menyusut dengan sendirinya ketika terkena angin. Cinta adalah ilusi.

“Ivone.” Seseorang memanggil, menyadarkanku yang sedang berlatih dengan tak fokus.

Aku menoleh dan berhenti menari. Rupanya, Madam Albertina memanggilku. Di tangannya, ia menggenggam secarik kertas. Aku rasa itu adalah pengumuman pemenang finalis yang akan tampil di pertunjukkan tahunan klub menari kami.

Ya, Ma’am,” jawabku.

Beliau menyodorkan kertas itu, aku menyambutnya dengan tak sabar. Kubaca persis urutan pertama, tidak ada namaku tertera di sana. Kubaca lagi hingga urutan ke lima belas, masih tak ada namaku tertera di sana.

Oh, apa ini? Wajahku seketika berubah. Aku bisa merasakan wajahku memanas. Air mata berlomba untuk segera keluar dari mataku. Aku membendungnya sekuat tenaga dengan menengadahkan kepalaku melihat langit-langit ruangan.

“Aku turut sedih, Ivone. Jangan putus asa untuk tetap berlatih.” Kata-kata simpati pelatihku malah terasa menegaskan kekalahanku hari itu. Air mataku meluruh berjatuhan. Lima belas tahun aku berlatih seakan tidak ada gunanya. Ini adalah event yang aku tunggu. Mengapa aku tak mendapatkannya?

Dua hari lamanya telah kulalui tanpa berlatih menari. Ini adalah rekor baru pembangkanganku terhadap diri sendiri. Biasanya aku selalu mengikuti jadwalku yang teratur dan tersusun rapi. Kekecewaan masih bersarang tebal di hati dan pikiranku.

Aku membuang sepatu balet ke tempat sampah. Aku marah! Bukan pada siapa-siapa, melainkan pada diriku sendiri yang gagal.

 

oOo

 

Empat mangkuk Crème Brulee lembut, sebuah hidangan penutup khas Perancis yang terbuat dari campuran susu, vanila, dan buah-buahan yang dimasak di dalam oven, yang rasanya manis dan segar telah aku lahap dengan sempurna. Merasakan mereka melewati kerongkonganku adalah sebuah perasaan tak terdefinisikan siang ini. Nikmat.

Aku tak peduli pada angka timbangan. Biarkanlah angkanya bergeser ke kanan. Aku telah lama menjaga bobot tubuh dengan hanya memakan sereal gandum setiap pagi, salad sayur saat makan siang, dan sebuah apel saat makan malam. Jadi, biarkanlah aku menikmati suap demi suap makanan lembut berkalori tinggi ini.

 

Baiklah, aku akui. Sifat perfeksionis ini membelengguku dan tak dapat kuabaikan. Setelah memakan empat mangkuk kudapan tadi, aku langsung berjalan mengelilingi taman kota. Aku harus membuang kalori sebanyak makanan yang kuhabiskan tadi.

Di taman kota, aku melihat banyak keluarga bercengkrama bersama anak-anak mereka. Tampak harmonis sekali, sedikit membuatku yang sedang duduk istirahat menjadi iri.

“Ah, kebahagiaan mereka itu hanya pencitraan,” tepisku.

Aku melemparkan pandangan ke arah kerumunan beberapa meter jauhnya di depan. Tampak mereka sedang seru sekali melihat sebuah pertunjukan. Kututup botol minumku, kuusap sisa tetesan air di sudut bibir ini. Apa yang mereka saksikan? Batinku tergelitik dengan rasa penasaran.

Mataku menangkap seorang pria dengan energik menari tarian jalanan dengan lagu pop yang disetel kencang.

“Oh.” Hanya itu tanggapanku. Aku tak tertarik. Jujur saja, menurutku penari jalanan hanya menari sesuka hati, tidak ada aturannya.

Aku kembali meneguk air minumku. Sesaat, aku mendengar tepukan tangan seolah berdecak kagum ditujukan pada penari itu. Rasa penasaran yang sedari tadi menggangguku membuatku memutuskan untuk mendekati kerumunan dengan perlahan.

Ivone, berusahalah tidak terlalu dekat.

Mataku menangkap guratan wajah yang memiliki garis rahang tegas. Hmm. Menurutku, dia cukup tampan. Tapi, tariannya biasa saja. Aku memperhatikan lebih lama gaya tariannya. Berputar, melompat dengan tinggi, mendarat dengan kokoh dan sempurna.

Oke, menurutku, tariannya sekarang cukup baik dan berenergi. Aku suka lengan kuatnya dan tungkai kakinya yang berdiri tegak. Oh, astaga. Aku sedang berpikir apa?

Aku berusaha keluar dari kerumunan. “Hei, Nona. Sudah menonton, sisihkan sedikit untuk kami,” kata temannya menghentikan langkahku. Aku berbalik dan memberikan €1 dengan muka sedikit sebal melihat temannya.

Pria penari itu berhenti menari sejenak dan tersenyum kepadaku berterima kasih. Aku hanya melihatnya dengan tatapan datar dan berlalu.

 

 

Bersambung …

 

 

Semarang, 15 Agustus, 2021

 

(The first person you need to impress is yourself. – Ine Young.)

 

Ine Young. Menulis adalah kekuatan tersembunyi, jangan ragukan dampak hebatnya suatu hari nanti. Kritik dan saran: Instagram @ineyoung.

Editor: Imas Hanifah N

 

Grup FB KCLK

Halaman FB kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply