Innocent Bos
Oleh: Herlina Sari
(Part 12)
Hal yang sudah menjadi kebiasaan adalah kami selalu diam saat berada di dalam mobil. Namun, yang jadi pertanyaan adalah, mengapa arahnya sama dengan ke kantor biasanya? Akhirnya mulutku berontak dan bertanya.
“Pak katanya pindah kantor?” tanyaku. Aku mengernyitkan dahi ketika menoleh ke arahnya.
“Siapa bilang kita akan pindah gedung? Saya cuma bilang pindah kantor, bukan pindah gedung! Pakai otakmu dikit, Shera.”
Seperti biasa, lelaki di sampingku ini berkata dengan dingin. Mudah sekali dia berubah mood. Tadi pagi saja seperti seorang kekasih yang sedang menyiapkan sarapan pujaan hatinya. Sekarang? Bagaikan singa yang siap menerkam mangsa. Dasar labil! Aku pun diam, tak mau menambah pertanyaan yang ujungnya akan menyakitkan hati.
Aku turun di lobi dan sesuai dugaan, semua mata memandangku dengan muka heran dan penuh selidik. Karena lagi-lagi aku berangkat bersama dengan bos kulkas. Mana semobil pula. Oh ya ampun. Aku malu. Harus kututupi dengan apa wajahku ini? Apalagi sekarang semua karyawan sedang turun di lobi. Bisik-bisik mulai terdengar. Aku pun mendekat ke salah satu wanita dan bertanya.
“Ada apa? Kok semua di lobi? Enggak pada kerja di kabin masing-masingkah?” bisikku.
Kamu gak tahu, ya? Kalau pagi ini harus menyambut CEO baru dan sekretarisnya. Jadi semua karyawan wajib berdandan rapi dan standby di lobi pukul 09.30,” jawab wanita itu yang aku sendiri tak tahu namanya.
Segera kutengok jam di pergelangan tangan. Sial! Sudah pukul 09.28. Menit-menit menuju jawaban atas segala kekepoan yang sering kali membuatku bertanya-tanya. Siapakah CEO baru perusahaan ini?
Kulihat di pintu lobi depan, ada pria yang sudah berumur berjalan sambil membawa tongkat. Baru kuketahui beliaulah Pak Tama, sang CEO lama yang akan pensiun dan mewariskan perusahaan raksasanya kepada anak semata wayang yang akan menjadi CEO baru kami.
Aku ikut deg-degan sekaligus penasaran. Pasalnya, informasi yang aku dapatkan tentang CEO baru sangatlah minim. Apalagi jika aku harus melayani orang yang tak kukenal sama sekali. Bagaimana nasibku kelak?
“Mungkin sebagian kecil dari orang-orang yang berada di sini sudah mengenal saya. Dan ada banyak orang yang belum pernah bertemu. perkenalkan, saya Tama, CEO lama yang akan segera pensiun. Hari ini saya akan menyerahkan kekuasaan saya kepada anak semata wayang yang saya kira sebagian dari kalian sudah mengenalnya. Baiklah tidak usah berbasa-basi, mari kita sambut CEO Baru PT. Nusantara Jaya Group dengan tepuk tangan meriah,” jelas Pak Tama.
Setelah itu, dari pintu masuk berjalan seorang lelaki dewasa. Lelaki yang wajahnya membuatku sesak napas
.
“Pak Nala,” bisikku. Lelaki itu hanya tersenyum miring saat melirikku. Seringainya membuat jantung seakan-akan mau melompat keluar.
Gusti, cobaan apa yang akan aku alami keesokan harinya. Pantas saja aku diangkat untuk menjadi sekretaris CEO baru, ternyata orang itu yang memohon, wajar.
Pak Nala berjalan ke arahku dan berbisik di telinga,“Selamat datang di neraka yang indah, Shera, my mine.” Seiring dengan ucapannya, ada sorot mata penuh dendam dari perempuan-perempuan yang tergila-gila dengan sosok bos galak itu.
***
Hari pertama menjabat sebagai sekretaris CEO membuatku sedikit sakit jiwa. Semalam saat aku ingin tidur, semua terbawa mimpi. Apalagi aku tahu jika CEO baru itu adalah Pak Nala. Sontak membuat kepalaku pusing lima puluh tujuh keliling. Shera masuk ke kandang singa!
Aku mencoba melangkah dengan tenang. Aku sadar sekarang menjadi sorotan dan bahan pembicaraan para perempuan. Kepalaku sedang dipenuhi oleh rencana-rencana agar aku bisa terhindar dari terkaman sang singa yang tengah kelaparan. Entah mengapa pria dingin itu selalu menyeretku ke lubang buaya. Membawaku ke jurang seolah-olah ingin menyiksa secara perlahan.
Bayangan kenaikan gaji yang lebih tinggi daripada saat menjadi asisten accounting membuatku sedikit tersenyum. Aku tak perlu lagi mendengarkan ocehan emak yang meminta jatah lebih. Aku juga bebas untuk membeli keperluan sehari-hari. Untungnya saat mendapat rekomendasi, sepaket dengan perlengkapan make up yang seumur-umur hanya ada dalam impian. Lumayan, aku tak perlu lagi mengeluarkan kocek untuk membeli semua ini karena sebagai seorang sekretaris, tentu saja dituntut untuk berpenampilan rapi and good looking.
Kali ini, aku melangkah menuju lift yang akan membawa ke lantai tujuh. Yah, tiga tingkat lebih tinggi dibanding dengan kantorku sebelumnya. Saat lift terbuka, mataku memandang dan menelisik satu persatu. Lantai yang belum pernah aku sambangi. Ya, karena memang aku tak pernah berkepentingan dengan orang yang berada di sini.
Aku berjalan pelan tanpa melihat ke depan. Hingga tak sadar aku menabrak punggung seseorang yang tengah menempelkan ponselnya. Aku diam-diam ikut mendengarkan pembicaraan Pak Nala yang entah dengan siapa.
“Pa … pagi. Pak Nala,” sapaku. Aku Cuma nyengir kuda tanpa meminta maaf.
Pak Nala hanya mengangguk dan tak menoleh. Dia melanjutkan pembicaraannya.
“Iya, Pak. Aku mengerti. Beri Nala waktu tiga bulan. Akan Nala carikan istri yang baik buat Papa.”
Aku mendengar dengan jelas. Istri? Tiga bulan? Ada goresan luka di hatiku saat mendengar kata-kata dari pak Nala. Namun, aku segera berjalan menuju bilik dan mulai mempelajari tugas-tugasku. Beruntung ada Pak Edo-sekretaris lama pak Tama yang akan membingku hingga mengerti dan bisa mandiri.
Demi gaji yang tinggi, aku harus bisa.
“Semangat, Shera!” Aku menyemangati diri sendiri.
Pak Edo menjadi guru yang cukup telaten. Lelaki itu mengajarkan semua pekerjaan yang harus aku lakukan untuk menjadi seorang seketaris. Termasuk semua jadwal yang akan dikerjakan oleh bos galak.
Aku mencatat dengan lengkap dan mendengarkan baik-baik poin demi poin yang harus dikerjakan. Kelihatannya mudah dengan basic-ku yang belajar ekonomi. Namun, ternyata mencocokkan jadwal Pak Nala dan klien luar itu tak semudah membalik telapak tangan. Susah.
Pak Edo hanya tertawa saat melihatku terpaku.
“Kenapa? Susah?” tanyanya.
“Sedikit lagi menuju taraf gila, Pak,” jawabku.
“Nanti juga terbiasa. Apalagi Si Nala itu orangnya gak ribet,” ucap Pak Edo.
Aku tersedak. Pak Nala tidak ribet? Justru dia itu adalah orang terumit yang pernah aku temukan. Laporan mintanya perfect dan tanpa kesalahan. Juga … tak menoleransi kesalahan sekecil apa pun.
“Percayalah. Nala itu baik orangnya. Dia akan bisa menoleransi semua kesalahanmu karena kamu sudah dipilih olehnya. Aku juga yakin kalau kamu akan mampu. Tiga bulan masa uji cobamu. Kalau gak lolos, silakan angkat kaki.” Pak Edo memberi ancaman manis.
“Dari mana Bapak tahu Pak Nala orang baik? Justru dia itu adalah singa yang sedang kelaparan, suka menerkam dan tak pernah memberi ampunan,” keluhku. Bersamaan dengan itu, kudengar suara orang berdeham dari lelaki yang baru saja aku bicarakan.
“Ehem … terima kasih pujiannya, Shera.”
Bersambung ….
Herlina Sari, gadis kadaluarsa yang mengagumi senja.
Editor: Imas Hanifah N
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata