Bapak, Kebanggaanku

Bapak, Kebanggaanku

Bapak, Kebanggaanku

Oleh : Cokelat

 

Bapak mengelus kepalaku sambil menghela napas panjang. “Jangan khawatir, Man. Bapak akan usahakan agar kamu bisa punya ponsel.”

Aku hanya mengangguk pelan. Bapak lalu berdiri dan meraih karung kosong serta tongkat pengait dari besi bekas—dua benda yang selalu menemaninya saat bekerja—dari sudut rumah.  

Rumah kami adalah bangunan empat kali empat meter yang sebagian besar berdinding seng bekas penuh karat. Bangunan tanpa sekat itu berdiri berdesak-desakan dengan puluhan bangunan yang sangat mirip satu dengan lainnya, di pinggir sungai yang berair nyaris hitam dan berisi berbagai jenis sampah yang menguarkan bau busuk. Bau yang sangat akrab dengan penciuman kami sehari-hari.

“Bapak berangkat,” ujar lelaki berperawakan sedang itu sambil memakai topinya.

Setelah menutup pintu tripleks yang sudah terkelupas di sana sini, aku lalu merebahkan tubuh di atas tikar yang selama ini menjadi tempat tidurku.

Ibu sudah berangkat sejak tadi. Bu Mona, nyonya rumah tempat ibu bekerja sebagai buruh cuci lepas, memintanya datang lebih cepat hari ini. Entah apa alasannya, aku tak menanyakannya pada Ibu.

Dengan kedua tangan menyilang di belakang kepala, aku menatap langit-langit rumah yang terbuat dari karung plastik. Bapak memaku karung-karung itu pada balok-balok yang berjejer, tepat dibawah seng. Setidaknya terlihat lebih rapi, kata Bapak waktu itu.

Ah, seharusnya aku tadi berkeras ikut dengan Bapak. Seandainya aku ikut, sampah yang kami kumpulkan pasti lebih banyak dibanding jika Bapak mengumpulkan sendiri, seperti beberapa hari belakangan ini. Agak aneh sebenarnya, Bapak ngotot menyuruhku tetap di rumah dan menunggu Ibu pulang. Bagaimana ponsel yang Bapak janjikan bisa segera terbeli jika bapak memulung seorang diri?

Pikiranku kembali pada saat Anton, sahabatku sejak SD, berpamitan minggu lalu. Dia harus ikut pindah dengan bapak dan ibunya yang memutuskan kembali ke kampung. Usaha bakso keliling mereka bangkrut di tengah masa pandemi ini. Bapak Anton lebih sering merugi dari pada menuai untung karena baksonya tak laku.  

Aku sedih tentu saja, kehilangan seseorang yang telah menjadi sahabatku selama hampir sembilan tahun. Sahabat sepenanggungan, karena hanya kami berdua yang berasal dari keluarga kurang mampu di kelas. Menurut Anton, kami bernasib sama. Tapi menurut aku, keadaan keluarganya jauh lebih baik dibanding keluargaku

Selain kehilangan sahabat, aku juga kehilangan tempat untuk menumpang belajar. Selama ini, aku selalu menumpang pada ponsel Anton untuk mengikuti kelas online selama masa pandemi. Mencatat tugas-tugas dari guru, pun mengirimkan kembali jawaban soal yang sudah kami selesaikan.

Sudah seminggu ini aku izin tak mengikuti kelas. Tak ada ponsel yang bisa kupinjam. Teman-teman sebayaku di lingkungan kumuh ini, tak ada yang melanjutkan sekolah hingga SMP seperti aku. Sementara di antara teman-teman sekelasku, hanya Anton yang rumahnya cukup dekat.

Lagi pula, aku tak yakin, apakah teman-teman yang lain mau menolongku dan mengizinkan menumpang belajar di rumah mereka. Kalau pun mereka mau, apakah orang tua mereka mengizinkan? Apakah ada orangtua yang akan membiarkan seorang anak yang tinggal di daerah kumuh, yang setiap hari bergaul dengan sampah, masuk ke dalam rumah mereka dan bercengkerama dengan anaknya selama berjam-jam? Apalagi di masa pandemi seperti sekarang, sungguh aku tak yakin.

“Sayang, Man. Kamu udah kelas tiga. Sebentar lagi ujian,” jawab Bapak saat aku bertanya, apakah sebaiknya aku berhenti sekolah saja.

“Lagi pula, Bapak ingin kamu sekolah yang tinggi. Biar bisa jadi orang. Jangan kayak Bapak. Bapak akan lakukan apa saja agar kamu bisa tetap bersekolah,” lanjut Bapak saat itu.

“Man! Herman!”

“Herman!”

Suara-suara gaduh di depan pintu mengejutkanku. Astaga, ternyata aku tertidur. Bergegas aku bangun dan membuka pintu.

Pak Kardi, yang berdiri paling depan, segera mengguncang bahuku begitu kami berdiri berhadapan.

“Man! Bapakmu, Man …. bapakmu dikeroyok orang-orang di belakang Pasar Pagi. Sekarang udah di bawa ke rumah sakit. Doakan bapakmu, Man.”

Ya, Tuhan ….

Bagaimanapun Ibu berteriak dan bagaimanapun aku berdoa, Bapak tak tertolong. Jenazah Bapak dibawa pulang siang itu dengan mobil ambulans dan langsung dimakamkan sore harinya di pemakaman kampung sebelah.

Menurut Pak Kardi, Bapak dituduh mencopet oleh seorang pemuda yang baru saja memarkir motornya di parkiran Pasar Pagi. Pemuda itu kehilangan ponselnya dan dia yakin Bapak yang sedang memungut sampah di dekatnya lah yang mencopet ponselnya. Pemuda itu segera berteriak-teriak dan menunjuk ke arah Bapak. Seketika orang-orang berkerumun dan mengejar Bapak. Bapak berlari ke arah belakang pasar. Sayangnya, Bapak tertangkap dan mereka segera menghakiminya secara sepihak.

Aku menghapus air di sudut mata. Malam ini malam ketiga kepergian Bapak. Sungguh tragis nasib lelaki kebanggaanku itu. Dituduh melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya. Ponsel itu tak pernah ditemukan. Pemuda itu memohon maaf pada Ibu, tapi tetap saja semuanya tak akan pernah bisa mengembalikan Bapak.

Mungkin, memang harus seperti ini nasib kami, nasib orang-orang kecil. Dianggap tak penting, dianggap tak ada. Kematian seorang di antara kami, bukanlah sesuatu yang luar biasa. Bahkan meski kematian itu karena suatu kesalahan fatal. 

***

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunanku akan Bapak. Ibu yang sudah tertidur pun terbangun karena ketukan itu. Siapa yang bertamu saat lewat tengah malam seperti ini?

Bang Hasan, sahabat Bapak sesama pemulung yang tinggal beberapa rumah di sebelah rumah kami, buru-buru masuk begitu aku membuka pintu.

“Man, aku mau menyampaikan titipan bapakmu.” Lelaki itu berbisik setelah menutup pintu di belakangnya.

“Duduklah dulu, San,” sela Ibu yang kini duduk di atas kasurnya.

“Aku buru-buru,” jawab Bang Hasan seraya tangan kanannya merongoh ke dalam saku celana.

“Ini, Man. Titipan bapakmu.” Bang Hasan meraih telapak tanganku, membukanya lalu meletakkan sebuah ponsel berlayar lebar yang hitam berkilat tertimpa cahaya lilin yang baru saja kunyalakan sebelum membuka pintu.

“Apa ini, Bang?” Aku menatapnya tak mengerti.

“Ponsel. Ponsel yang sangat ingin bapakmu berikan untukmu.”

Jadi … jadi maksudnya? Maksudnya Bapak ….

Bang Hasan, seharusnya Abang tidak usah datang malam ini. Tolong, jangan rusak bayanganku akan Bapak. Bagaimanapun, Bapak adalah kebanggaanku. (*)

Kamar Cokelat, Juni 2021

 

Cokelat, jatuh cinta pada cokelat dan semua turunannya

Editor : Nuke Soeprijono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply