Tiga Sekawan yang Mengaji di Masjid
Oleh: Erien
Desa Kebon Pete geger di malam ketiga Ramadan tahun ini. Pasalnya, sehabis salat tarawih berjamaah, dari toa masjid terdengar tadarusan dari tiga sekawan yang paling terkenal tahun ini. Padahal, ada aturan dari bupati setempat untuk tidak mengadakan tadarusan sehabis tarawih.
Tiga sekawan yang dimaksud adalah Mbah Karto yang suka memakai peci setengah miring, Mbah Tugirin yang sering ketiduran saat mendengarkan khotbah Jumat, dan Mbah Sabar yang sering kali kentut jika kelamaan menunggu waktu salat. Ketiganya bersahabat baik. Sering kali warga mendapati tiga lelaki tua itu duduk bersama di tepi sawah milik Mbah Karto. Lalu kekeh panjang keluar dari mulut ompong mereka. Kekeh itu kerap menular pada orang-orang yang mendengar.
Selain duduk bersama, mereka juga rajin ke masjid. Bahkan, meski Ramadan tahun lalu di masjid tidak ada tarawih karena pandemi, ketiganya tetap ngotot datang. Ketiganya melaksanakan tarawih dan tadarus hingga pukul sepuluh malam, lalu kembali sesudah sahur untuk salat subuh dan tadarus lagi. Hanya bertiga. Eh, terkadang berempat dengan marbut. Bergantian mereka menjadi imam. Marbut masjid tidak bisa berbuat banyak, selain ikut pada saf salat mereka. Namun, si marbut tidak ikut tadarus karena takut pada teguran Pak Kades. Warga pun memilih diam, sambil menikmati bacaan tadarus ketiganya lewat toa.
Ramadan kali ini pandemi belum pergi. Namun, pemerintah memperbolehkan tarawih walau belum mengijinkan tadarus. Maka, kembali ramailah masjid di hari pertama. Semua bersukacita menyambut Ramadan. Meski senyum bahagia tertutup masker yang wajib dipakai. Pun tangan-tangan hanya berjabatan dengan kucuran air dan sabun sebelum masuk masjid. Seusai tarawih, marbut segera menutup masjid dan kembali ke rumah, sama seperti warga lain.
Dua hari pertama, malam sangat sunyi. Tidak ada suara tadarusan dari toa masjid. Namun, pada malam ketiga, terdengar lirih suara tiga sekawan itu. Tidak lama, hanya setengah jam, lalu suaranya berhenti.
Tidak ada warga yang protes atas tadarusan itu. Pak Kades juga tidak berkata apa-apa. Marbut pun hanya diam. Mereka membiarkan tiga sekawan ìtu tadarusan di masjid. Namun, kasak-kusuk justru gencar di grup WhatsApp warga Desa Kebon Pete. Semua ketakutan.
Wajar saja mereka ketakutan. Pasalnya tiga sekawan itu sudah meninggal tiga hari sebelum Ramadan. Mereka meninggal hanya berselang jam. Mbah Karto meninggal pagi hari sesudah diserang sesak napas sepulang salat Subuh. Mbah Tugirin tidak tertolong siang harinya saat dirawat di rumah sakit. Mbah Sabar menyusul kedua karibnya di sore hari setelah tiga hari demam tinggi. Tubuh-tubuh tua itu kalah oleh virus rambutan–begitu ketiganya menyebut corona.
Lalu, siapa yang mengaji? Apa ketiganya bangkit dari kubur hanya untuk membuktikan ucapan mereka bahwa corona bisa mengalahkan dunia, tetapi tidak akan bisa mengalahkan semangat ibadah mereka?
Tidak ada yang berani membahas secara terang-terangan. Jamaah tarawih menyusut drastis. Marbut hanya bisa pasrah. Pada hari ketujuh, ia bermaksud tidur di dalam masjid. Jika nanti ketiga lelaki tua itu datang dalam wujud astral, maka ia akan menyuruh ketiganya pergi. Meski aslinya penakut, marbut itu lebih takut masjid kehilangan jamaah hanya karena tiga jamaah saleh yang sudah meninggal, ingin ikut tadarusan.
Malam sesudah selesai tarawih, semua terjawab. Seorang pemuda masuk masjid. Ia tidak memedulikan marbut yang tertidur di dekat mimbar. Marbut masjid yang terbangun karena kaget, hanya bisa terbengong-bengong karena mengenali si pemuda. Dulu pemuda yang sebenarnya bisu itu, sering terlihat berdiri di samping masjid sambil memainkan ponselnya saat tiga kakek-kakek itu tadarusan.
Pemuda bisu itu kini menghidupkan pengeras suara, mengeluarkan ponsel, dan mendekatkan ponselnya ke mikrofon. Lalu, terdengarlah suara tiga sekawan yang sedang tadarus. (*)
Kotabaru, 05052021
Erien. Suka makan, tidak suka mandi. Senang belajar tetapi malas bikin tugas. Suka memasak meski sering keasinan. Mari kenalan di akun FB Maurien Razsya.
Editor: Imas Hanifah N