Kisah Momon (Part 9)

Kisah Momon (Part 9)

Kisah Momon

Oleh: Isnani Tias

Part 09: Pengetahuan Baru Bagi Momon

Setelah beberapa menit berbincang, ternyata mereka belum mengetahui nama masing-masing. 

“Oh! Oiya, belum kenalan. Aku Mio, kucing bakau.” 

Kucing bakau hanya hidup di hutan bakau. Ukuran tubuhnya dua kali lipat dari kucing rumahan. Wajah memanjang dengan hidung khas yang datar.

“Kalau aku … Momon,” ucap Momon tersenyum.

“Kamu lapar, Mon?” tanya Mio ketika mendengar bunyi dari perut Momon. 

“Hehehe.” Momon tertawa sambil garuk-garuk kepala yang tertutupi oleh topi rajut berwarna hijau. 

“Ayo, ikuti aku,” pinta Mio sambil melangkah di atas akar dengan sedikit terpincang.

Momon mengikutinya berjalan, merangkak dari akar satu berpindah ke akar yang lain dengan berhati-hati. Ia fokus pada setiap langkahnya dan tidak berani menengok kanan-kiri, karena jalan yang dilaluinya berupa akar bercabang yang ukurannya tidak sama serta tak beraturan. Jika salah berpijak, kakinya akan tersangkut atau bisa jadi terjatuh dalam air.

“Sampai!” teriak Mio membuat Momon terkejut. 

Momon hampir saja tergelincir ketika Mio berteriak. Untung secara cepat ia berpegang erat pada akar. 

“Itu yang berada di atas kita namanya buah mangrove atau bisa dibilang buah bakau, sih,” ucap Mio sambil mengarahkan kepalanya ke atas. 

“Oh, ini bisa dimakan?” tanya Momon saat memegang buah yang berbentuk bulat seperti buah apel. 

“Jangan yang itu, beracun. Kata manusia, buah itu harus diolah atau dimasak dulu, baru bisa dimakan. Lebih baik yang ini.” Mio menunjuk buah berbentuk lonjong berwarna hijau kecokelatan yang berada tidak jauh di depan Momon.

Momon melangkah mendekati buah yang dimaksud oleh Mio. “Ini bisa dimakan langsung?” 

Mio mengangguk. Momon memetik buah berbentuk lonjong itu dan membolak-balikkan. Sepertinya, ia ragu untuk memakan buah tersebut.

“Makan saja, tak apa. Aku sering melihat manusia memakan buah itu langsung,” ucap Mio menyakinkan Momon.

Momon membersihkan buah itu dengan syal yang ada di leher, lalu memakannya. Raut wajah Momon tidak ada tanda-tanda rasa dari buah itu: pahit, manis atau asam. 

“Bagaimana rasanya?” tanya Mio. 

“Entahlah. Coba saja sendiri.” Momon menyodorkan buah itu kepada Mio.

“Eh, aku tidak makan itu. Makananku, tuh, ikan,” kata Mio sambil mengangkat salah satu kakinya menunjuk ke air yang ada di depannya. 

“Bagaimana mengambilnya? Setahu Momon, kucing tidak suka kena air.” Momon penasaran.

“Hmm … kucing bakau jangan disamakan dengan kucing rumahan yang terciprat sedikit, mereka sudah ‘kejer’. Kucing bakau itu pandai berenang dan menyelam, loh. Lihat ini kuku-kukuku memiliki selaput, gunanya untuk berenang,” jelas Mio dengan ucapan yang menyombongkan diri. 

Byuur!

Mio melompat ke dalam air. Ia membuktikan kepada Momon, apa yang diucapkannya adalah benar. Mio berenang ke sana kemari dengan wajah senang. Bahkan, ia lupa kalau kakinya tadi terluka. Kemudian, tubuh Mio masuk ke air dan menghilang dari permukaan air yang tenang.

Mata Momon mencari Mio ke dalam air dari atas akar yang dipijaknya. Akan tetapi, pandangan Momon tidak bisa menembus ke dalam air yang keruh. 

Di mana dia? Apa tenggelam? Dalam hati, Momon bertanya-tanya. 

Tiba-tiba Mio menampakkan diri ke permukaan dengan membawa ikan yang berada di mulutnya. Lagi-lagi Mio mengejutkan Momon yang sampai terduduk di akar pohon. 

“Mio, kamu itu suka membuat kaget saja dari tadi,” ucap Momon sambil mengatur napasnya yang sempat naik-turun tidak teratur. 

Mio berenang mendekati Momon sambil menggigit seekor ikan hasil tangkapannya menyelam tadi. Lalu, ia mulai melangkah ke akar-akar yang tumbuh tidak beraturan itu seolah menaiki anak tangga.

“Iya, maaf, deh,” kata Mio setelah memakan ikan tersebut.

Momon hanya mengangguk dengan posisi masih duduk di akar pohon bakau. Kemudian, ia memindahkan tas dari belakang punggung ke depan dada. 

Mio memajukan hidungnya mencoba untuk menciumi tas punggung Momon. Dia dari tadi panasaran sama tas punggung rajutan milik Momon.

“Ada apa?” tanya Momon.

“Isinya apa tas itu?” Mio bertanya sambil memandangi tas itu.

“Ada makanan, obat, selimut, tongkat, seruling, peta,” jawab Momon dengan membawa peta.

Mio mengangguk-angguk dan memperhatikan Momon yang sedang melihat peta perjalanannya. “Itu peta, ya? Peta apa?”

“Iya, ini peta menuju puncak Gunung Merah yang letaknya di sebelah utara,” jawab Momon.

“Tempatnya jauh, ya? Memang ke sana mau apa?” tanya Mio yang masih penasaran.

Momon menjelaskan tujuannya ke sana untuk mencari obat buat sang Ibu. Ia harus segera pergi sekarang sebelum matahari tenggelam ke sebuah pulau bernama ‘Pulau Hijau’. Momon tidak mau membuang waktu lagi. 

“Kalau begitu kamu harus menyeberangi laut itu,” ucap Mio sambil memandang arah utara. 

“Caranya bagaimana? Aku bisa berenang tapi tidak di laut luas itu,” kata Momon sambil memasukkan peta ke dalam tas lagi dan mengembalikan posisi tas kembali seperti semula di punggung.

“Ayo, ikuti aku,” pinta Mio.

Mio mengajak Momon menemui salah satu binatang yang bisa membantunya untuk menyeberang lautan luas itu. Mereka berjalan menelusuri akar pohon bakau tanpa berbincang. Momon mengikuti Mio di belakang.

Momon memperhatikan kaki Mio yang berjalannya sudah tidak pincang lagi.

Sepertinya kakinya sudah sembuh. Syukurlah, ucap Momon lagi di dalam hati. 

“Sebentar lagi kita sampai. Tempat mereka ada di balik pohon bakau ini,” ucap Mio di pertengahan perjalanan. “Semoga saja mereka belum menyeberangi lautan.” 

Setelah melalui beberapa pohon bakau, akhirnya mereka sampai di daratan berpasir putih dan juga lautan luas. 

“Beruntung kita. Lihat mereka sepertinya mau bersiap untuk menyeberang,” ucap Mio senang ketika melihat beberapa hewan bertubuh besar yang berada di tepi pantai. 

“Mio, tunggu. Kamu yakin mereka bisa berenang di lautan seluas ini?” tanya Momon yang masih ragu-ragu. 

 

***Bersambung***

Sidoarjo, 08 Mei 2021 


Penulis dengan panggilan akrab Tias ini seorang Ibu dari dua putri cantik, Aisyah dan Shofia. Penulis saat ini sedang belajar membuat cerita anak. Cerbung anak berupa fabel ini adalah karya pertamanya. Semoga segera bisa dibukukan. Aamiin. Penulis bisa dihubungi melalui Facebook Isnani Tias dan Instagram @t145.7055

Editor: Imas Hanifah N

 

 

 

 

Leave a Reply