Innocent Boss (Part 8)

Innocent Boss (Part 8)

INNOCENT BOSS
Oleh : R Herlina Sari

Part 8

Demi apa, pukul tujuh pagi mobil Pak Nala sudah terparkir rapi di depan rumahku. Sialnya, Emak sangat welcome dan mengajak sarapan bersama. Dan Pak Nala tidak menolak ataupun menghindar, sehingga kami terjebak dalam suasana absurd di ruang makan.

Aku tak lagi merasa lapar saat melihat wajah dingin bosku yang sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Perutku mendadak kenyang hanya karena melihat sosoknya. Beruntungnya, Pak Nala tidak berlama-lama duduk untuk mencicipi masakan Emak.

Huft. Aku bersyukur kisah absurd di meja makan berhenti sampai di sini. Akhirnya aku dan Pak Nala meninggalkan rumah kesayangan dengan penuh drama Korea. Di dalam mobil, aku pura-pura diam. Padahal jantungku sudah ingin meloncat keluar.

“Kenapa diem? Udah tahu apa kesalahan kamu?” tanya Pak Nala. “Karena kamu tak mengikuti perintah, sekarang ada hukuman khusus,” lanjutnya sebelum aku sempat menjawab. 

Pak Nala tiba-tiba mendekat. Membuat napasku tersekat. Aroma mint yang keluar dari embusan napasnya terasa memenuhi rongga hidung. Wajah Pak Nala semakin dekat hingga sapuan napasnya terasa di pipiku. Aku pun menutup mata, menunggu apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

Pak Nala menowel hidungku yang pesek memesona. “Kamu ngapain? Berharap aku cium, ya?” 

Aku tergemap, seketika membuka mata. Ternyata Pak Nala hanya ingin membenarkan sabuk pengaman yang lupa aku kaitkan.

Shera … Shera … apakah kamu berharap hukuman yang cipokable? It’s bullshit. Tak mungkin duren di sampingmu ini doyan. Kamu sama dia itu bagaikan bumi dengan langit. Misalkan Pak Nala adalah sosok Arjuna, kamu hanyalah seorang dayang yang bahkan tak akan pernah dilirik.
Entah dosa apa yang aku perbuat di kehidupanku sebelumnya, sehingga perjalanan berlalu dalam kebekuan.
Perjalanan kali ini cukup padat dan macet. Semakin lama berada di dalam mobil berdua dengan Pak Nala membuat otakku tercemar. Aku menelan ludah, terlebih saat mengingat bau napasnya yang masih saja terhidu. Kalau diperhatikan, bos yang satu ini cukup rupawan. Jika saja dia tidak bersikap dingin dalam menanggapi para bawahannya serta tegas dalam memberikan perintah.

Ah, Dewa Neptunus … tolong aku untuk keluar dari suasana canggung ini. Aku terlalu bosan berdiam diri sehingga memainkan ponsel menjadi jalan keluar. Terlalu banyak pesan yang harus kujawab. Namun, saat kulihat lelaki di sebelah melirik, aku mengurungkan niat untuk membuka semua pesan yang masuk. Fix! Dia terlalu kepo.

***

Banyak mata memandang sinis saat aku memasuki aula perusahaan. Terlebih saat mereka menangkap dengan mata kepala sendiri aku keluar dari mobil Fortuner putih milik bos killer.

“Sher … Shera … tunggu!” teriak Mbak Shinta saat aku tengah memasuki lift mau ke lantai 4.

Aku menoleh dan menunggunya. Kulihat wajahnya yang pucat dan sorot mata penuh tanda tanya.

“Ya, Mbak?” jawabku.

“Ada hubungan apa kamu sama Pak Nala?” selidiknya. Matanya menatapku tajam seperti seorang istri yang tengah memergoki selingkuhannya. Mendadak nyaliku menciut.

“Pak Nala atasan aku, Mbak. Enggak lebih,” sahutku mencoba bersikap biasa. Namun, tak bisa dimungkiri jika jantung ini deg-degan. Suaraku pun bergetar. Aku takut. Sebagai orang baru tak sepantasnya jika ada hubungan yang lebih antara aku dan pimpinan. Dan aku tak ingin membuat gosip yang bisa memengaruhi karierku ke depan.

“Terus … kenapa kamu hari ini berangkat bersama Pak Nala dalam satu mobil?”

Deg! Jawaban apa yang harus aku katakan? Jika jujur pastinya aku hancur, tetapi jika berbohong dan ketahuan akan gawat akhirnya.

“Semalem aku lembur, Mbak. Sampai malam. Pulangnya bareng Raka, jadi motorku tinggal di kantor. Dan pagi ini saat aku mau naik angkot, Pak Nala ngasih tumpangan. Gitu doang,” jawabku antara jujur dan bohong. Ah, sudahlah, biarkan saja semua mengalir apa adanya.

Gara-gara bos killer hidupku menderita. Ada banyak pertanyaan dan akan ada banyak gosip yang beredar. Atau dia memang suka menyakitiku secara perlahan? Apakah ini yang disebut perhatian? Ataukah ini caranya Pak Nala menghukum karena semalam aku tak patuh?

Sampai di ruangan, secangkir kopi sudah terhidang di atas meja, uap kopi yang terhidu membuat otakku sedikit tenang. Segera aku membuka komputer dan fail yang kukerjakan semalam. Berkas yang menumpuk harus aku sesuaikan dengan laporan yang sudah di-input ke dalam komputer. Bayangkan saja, checking harus berkali-kali untuk meminimalisir kesalahan. Terlebih, Pak Nala tak pernah mau mengerti dan menerima kesalahan sedikit pun.

Bunyi interkom terdengar nyaring, segera kuangkat sebelum benda itu berbunyi dua kali.

“Shera, ke ruangan saya sebentar!”

Klik! Setelah berkata seperti itu, lelaki yang baru saja aku umpat mendadak memanggil. Akan ada cobaan apa lagi, Ya Tuhan? Gegas aku berdiri dan berlari menuju ruangan Pak Bos killer yang terkenal dingin.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyaku saat memasuki ruangan setelah dipersilakan.

“Buatkan saya kopi!” jawabnya.

Apa? Membuat kopi. Apakah tingkat kewarasan orang ini menurun drastis? Ada OB yang bisa dia suruh, kenapa harus aku? Aku bergeming.

“Kenapa masih diam? Itu hukuman karena kamu melawan perintah saya semalam,” ucap Pak Nala tanpa melihat ke arahku sedikit pun. Dia menunduk memperhatikan kertas-kertas yang berserakan di atas mejanya. Jika serius seperti ini, Pak Nala terlihat lebih ganteng beratus kali lipat. Aku segera beranjak sebelum hukuman lain datang.

***

Secangkir kopi yang aku buat dengan hati-hati kini berada di tangan. Segera aku taruh di atas meja dan kembali ke ruangan. Namun, karena aku tergesa-gesa secara tak sengaja cangkir kopi tersenggol. Aku kaget. Pak Nala hanya menatapku dengan garang. Berkas yang ada di mejanya terkena tumpahan kopi.

“Apa yang kamu lakukan, Shera!” teriaknya.

Melihat Pak Nala yang seperti itu mau tak mau aku gemetar. Keringat dingin keluar dari pelipisku.

“Saya akan bertanggung jawab, Pak,” ucapku.

“Bagaimana kamu bertanggung jawab, hah! Kamu enggak tahu seberapa penting berkas yang ada di meja saya. Sebentar lagi akan ada meeting. Kamu ikut saya dan pertanggungjawabkan segalanya!”

Aduh! Bagaimana aku bisa bertanggung jawab jika laporan apa saja aku tak paham? Dasar bos! Main lempar tanggung jawab saja. Ini namanya lempar batu sembunyi tangan.

Gegas kurapikan berkas yang ada di meja. Andai saja di sini ada setrika, inginku menyetrika laporan ini. Setidaknya bisa dilihat. Namun, tulisan yang ada di atasnya ternyata larut dengan air.

Terlihat sekilas ini seperti laporan yang aku serahkan seminggu yang lalu. Aku bergegas lari ke ruangan dan print out lagi. Semoga memang itu kebenarannya sehingga hukumanku sedikit lebih ringan. Sambil print out aku sedikit mempelajari yang ada di dalamnya, jika sewaktu meeting Pak Nala ingin membebankan semua ke diri ini, aku telah siap karena sudah hafal di luar kepala.

“Ayo!” ajak Pak Nala.

Segera aku mengekori dari belakang dengan jantung yang berdetak kencang. Memasuki ruangan meeting, semua mata memandangku heran. Tak biasanya Pak Nala datang berdua saat monthly meeting. Dalam kondisi biasa, semuanya dia handel sendiri. Dan sekarang saat dia jalan bersamaku, entah pertanyaan apa yang bersemayam di otak kecil mereka.
“Dia Shera. Asisten yang akan mempresentasikan laporan dan rencana ke depan,” jelas Pak Nala saat menyadari beberapa pasang mata melihatku dengan tajam.

Deg! Sekarang apa yang harus aku lakukan? Bolehkah aku bunuh diri sekarang?

*) bersambung

 

RHS, penyuka hujan, senja, lumba-lumba, dan warna ungu.

Editor : Rinanda Tesniana

Leave a Reply