Rissa’s Life Story
Oleh : Ade Trias
Kecelakaan
Aku melempar tas yang sedari tadi menggantung di pundak, lalu melepas sepatu dan menyusunnya di rak kayu. Kubuka jilbab putih yang menutupi kepala, lalu mengibaskan tangan, berharap bisa mengurangi gerah. Hari ini cuaca cerah. Matahari bersinar terik, seakan ingin menunjukkan kegarangannya.
Berdiri, aku menyambar tas yang tergeletak di lantai, lalu membuka pintu dan melangkah masuk.
“Waalaikumsalam,” ucap Ibu yang sedang menjahit.
“Eh, lupa, Assalamualaikum.” Aku mengucap salam lalu meraih tangan kanan Ibu, mencium takzim.
“Kebiasaan, kalau masuk asal selonong aja!” omel Ibu.
“Ih, Risa kan lupa, Bu!”
“Lupa kok, setiap hari?” keluh Ibu sambil menatap sangsi.
Aku hanya tersenyum, karena jika aku menjawab lagi, sudah pasti Ibu akan memulai kuliah panjangnya soal pentingnya salam.
Baru akan beranjak ke kamar, aku teringat sesuatu. Kurogoh tas, lalu mengeluarkan secarik kertas. “Bu, besok Risa ada acara sama temen-temen OSIS, mau kunjungan ke museum,” ujarku sambil meletakkan tiket di atas meja.
Ibu menghentikan aktivitasnya, lalu membaca kertas itu dengan saksama. “Loh, besok pagi acaranya?”
Aku mengangguk.
“Doakan hari ini ibu dapat uang, ya, biar bisa nambahin uang saku kamu,” ujarnya seraya tersenyum.
Aku mengangguk sekali lagi, dan segera berlalu ke kamar. Pembahasan soal keuangan selalu menjadi hal yang menyesakkan. Sejak kepergian Bapak tiga tahun lalu, semua hal jadi terasa sesak dan menyakitkan, terutama soal keuangan.
Dulu, saat Bapak masih ada, kami tidak pernah kekurangan. Meski beliau hanya pegawai biasa di Pabrik Semen, tapi gajinya mampu menutupi semua kebutuhan kami.
Dulu, saat Bapak masih ada, Ibu menjahit hanya sebagai hobi. Meski jahitan Ibu rapi, tapi Bapak melarangnya mengambil pesanan berjumlah besar karena tak ingin Ibu kelelahan. Jika sudah kelelahan, Ibu akan kambuh vertigonya dan Bapak tidak mau melihat Ibu sakit. Namun, kecelakaan tunggal yang dialami Bapak sepulang kerja memutus semua perhatiannya. Kini, tak ada lagi sosok yang menjadi pahlawan bagi aku dan Ibu. Kami harus saling menguatkan agar bisa terus menjalani hidup.
Sampai malam, Ibu masih saja berkutat dengan mesin jahitnya yang sudah tua. Sebenarnya, aku ingin menemani beliau, tapi karena lelah dan kantuk yang mendera, akhirnya aku memilih untuk tidur. Aku butuh istirahat untuk memulai hari esok. Ditemani suara mesin jahit yang berisik, aku terlelap dalam buaian mimpi.
Aku menggeliat ketika Azan Subuh berkumandang. Mengingat hari ini ada kegiatan bersama teman-teman OSIS, aku bergegas bangun lalu menyiapkan segala keperluan.
“Sa, bangun! Ayo siap-siap!” seru Ibu dari dapur.
“Risa udah bangun, Bu,” sahutku seraya menyusulnya ke dapur.
“Salat dulu sana!” kata Ibu saat aku memeluknya dari belakang.
“Nanti, masih mau peluk.” Bukannya melakukan apa yang Ibu suruh, aku malah memeluknya semakin erat.
“Ya Allah, ini anak udah SMP masih kayak anak SD. Awas, Ibu mau masukin sayuran,” kata Ibu sambil menggeliat, berusaha melepaskan diri dari pelukanku.
Aku tidak peduli. Tanganku tetap melingkar di perutnya dan kakiku mengikuti ke mana pun kakinya melangkah.
“Sa, Ibu lagi masak!” kata Ibu dengan gemas. “Lepasin dulu.”
“Aku mau lepas kalau Ibu cium aku dulu,” rengekku.
“Ya Allah, ini anak kayak anak TK. Sini, mana ini yang mau dicium.” Ibu membalik badan. Tanpa kusangka, tangan Ibu menciprati wajahku dengan air dari wastafel. “Cuci muka dulu,” ledeknya.
“Ih, Ibu!” Aku cemberut mendapat kejahilan dari Ibu. Kadang, aku kesal karena beliau masih saja suka menjahiliku meski aku sudah sebesar ini.
Ibu tergelak. “Makanya, salat dulu sana!”
Aku bersungut-sungut dan berlalu untuk mengambil air wudu. Meski kadang kesal dengan kejahilan Ibu, tapi aku senang kami masih bisa bercengkerama seperti ini. Banyak temanku yang berkata tidak dekat dengan orang tua mereka karena sudah besar. Katanya, mereka merasa canggung jika harus bercanda dengan ayah atau ibunya.
Setelah membantu Ibu membereskan dapur dan menyiapkan sarapan, aku segera mandi dan bersiap-siap. Tepat pukul. 06.40, aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah.
“Sa, bawa nasi ya!” Ibu berkata saat aku tengah memakai sepatu.
“Ih, masa bawa nasi. Enggak ah! Aku kayak anak TK,” tolakku. Ibu menyuruhku membawa nasi? Apa kata teman-temanku nanti?
“Loh, ini kamu mau study tour ke museum, kan, kayak anak TK,” kilahnya.
“Ya ampun, iya juga ya,” sahutku sambil tertawa.
Ibu ikut tertawa, lalu tangannya merogoh saku. “Nih, Ibu tambahin,” ucapnya sambil menyerahkan uang sepuluh ribu. Padahal, tadi beliau sudah memberiku lembar lima ribu.
“Wah, terima kasih ya, Bu!” Aku meraih uang itu lalu mengantonginya. Dahiku mengernyit saat Ibu menatapku lama. Lebih lama dari biasanya. “Bu, kenapa?”
Ibu hanya tersenyum, lalu menggeleng. “Enggak apa-apa. Ibu enggak menyangka kamu udah sebesar ini,” katanya sambil membelai pipiku. “Bapak pasti senang sekali putrinya tumbuh jadi gadis cantik yang rajin salat,” lanjutnya.
Entah mengapa, aku merasa Ibu seperti hendak menangis saat mengucapkan hal itu. Ah, ya! Aku juga kadang menangis jika mengingat Bapak.
“Jadi anak salihah ya, Sa. Cuma doa kamu yang bisa menyelamatkan Bapak dan Ibu di akhirat nanti.” Ibu berkata lagi. Kali ini, kedua tangannya mengusap pipiku.
Aku menahan tangan itu, lalu bergantian mencium telapaknya. Telapak tangan ini yang selalu membelaiku. Telapak tangan ini yang mencarikan makan untukku. Ini telapak tangan paling ajaib yang bisa menyembuhkan sakitku. Kunikmati aroma bawang yang menguar sambil memejamkan mata.
“Udah siang, berangkat sana.”
Ucapan Ibu membuat mataku terbuka. Sekali lagi, kupandangi wajah ayunya yang mulai dihinggapi keriput. “Risa berangkat ya, Bu,” ucapku seraya meraih tangannya lalu mencium takzim.
“Ibu antar ke depan, ya.”
“Ih, enggak usah, Bu. Risa kan Cuma tinggal nyebrang, terus naik angkot,” tolakku dengan dahi mengernyit.
“Ibu pengen nemenin kamu sampai naik angkot, masa enggak boleh?” protes Ibu, sangsi.
“Tapi Bu ….”
“Udah ayo, nanti angkotnya keburu lewat!” Ibu menarik tanganku agar berdiri, lalu membimbingku menyeberang jalan.
“Tuh, kan, aku beneran kayak anak TK deh!” kataku pura-pura merajuk.
Ibu tertawa. “Buat Ibu, kamu selalu jadi gadis kecil kesayangan, Sa,” ucapnya sambil mencubit hidungku.
Dari kejauhan, angkot biru yang akan membawaku ke sekolah sudah terlihat.
“Angkotnya udah dateng, Bu. Risa berangkat, ya!”
Ibu memelukku sebentar, lalu mencium keningku. “Hati-hati ya, Bidadari kesayangan Ibu!”
Tepat saat mobil berhenti, aku melepas pelukan lalu berlari masuk ke dalam angkot. Aku memilih duduk di jok paling ujung, membuka jendelanya lalu melambaikan tangan kepada Ibu yang masih setia menatapku.
“Hati-hati!” seru Ibu sebelum mobil melaju ke jalan.
Aku mengintip dari kaca belakang angkot. Jilbab dan gamis merah muda yang Ibu kenakan masih terlihat di tempatnya berdiri.
“Duh, Anak Mama, manja banget!” ledek Sissy, teman sekelasku.
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Sa, nanti pas di bus kita sebangku, ya!” ucapnya dengan antusias. Dia termasuk anggota OSIS yang akan ikut ke museum.
“Oke. Nanti kita …,” Aku belum menyelesaikan ucapanku saat suara benturan terdengar keras sekali. Aku menengok ke belakang, dan melihat kerumunan di sana.
“Ya Allah, apa itu?” Om Bimo, sopir angkot yang kutumpangi menepikan mobilnya yang belum lama melaju setelah mengangkutku tadi. “Anak-anak, kalian tunggu di sini, ya! Om mau lihat sebentar, siapa tahu butuh pertolongan,” ujarnya seraya keluar dari belakang kemudi.
Aku paham dengan apa yang diucapkan Om Bimo, tapi aku seperti tidak sadar saat ikut turun, keluar dari mobil.
“Risa, mau ke mana?” tanya Sissy saat melihatku keluar.
“Aku mau liat sebentar.” Tanpa memedulikan Sissy yang terus memanggil, aku berlari mendekati lokasi kecelakaan yang hanya berjarak sekitar beberapa puluh meter.
Aku berharap aku buta warna. Aku berharap ada yang salah dengan mataku. Aku berharap mataku salah menangkap warna baju dari sosok yang tergeletak di jalan. Ya Allah, kumohon, buat aku buta warna sekarang!
Jujur saja, aku takut! Aku takut mendekati tubuh yang dibalut baju merah muda itu. Meski begitu, aku tetap berlari ke sana, mendekati sosok yang kini tak berdaya.
“Ibu!” teriakku saat yakin siapa sosok yang tergeletak di sana. “Ibu!” Aku tidak tahu sejak kapan aku menjerit. Aku hanya merasa beberapa orang menahanku yang sedang berusaha menggapai tubuh Ibu.
“Cepat bawa ke mobil!”
Aku tidak tahu siapa yang berteriak, tapi orang-orang lalu membawa tubuh Ibu masuk ke dalam mobil putih yang berhenti di dekat kami. Aku ingin sekali berlari, menyusul Ibu, tapi tenagaku rasanya sudah habis. Aku lemas. Lagi pula, orang-orang ini terlalu kuat memegangiku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain membiarkan tubuh Ibu menghilang setelah pintu mobil ditutup, lalu kendaraan itu melaju menjauhi kerumunan.
Ade Trias-seorang wanita yang menyenangi dunia menulis
Editor : Freky Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata