Alika (Bagian 7: Kamu Tak Sendiri)

Alika (Bagian 7: Kamu Tak Sendiri)

Alika (Bagian 7: Kamu Tak Sendiri)

Oleh: Dhilaziya

Reino menatap langit-langit kamarnya. Di sana wajah Alika bagaikan tampak tersenyum dan menatap balik ke arahnya. Manis sekali. Baginya senyum dan wajah Alika juga segala hal yang ada pada gadis itu kian hari semakin menarik saja.

Mengabaikan kenyataan sakit yang diidap kekasihnya, ya, Reino menganggap hal yang terjadi pada Alika adalah sebuah penyakit, sisi lain Alika banyak yang baru diketahui pemuda itu. Tentang seorang gadis yang sangat mudah tersentuh hatinya akan penderitaan orang lain. Baru Reino tahu bahwa Alika punya seorang anak asuh yang pada awalnya biaya sekolah anak yatim itu dia penuhi dengan menyisihkan uang jajannya. Toh uang jajan Alika sangat berlebih untuk melakukan hal itu. Juga baru dia tahu bahwa Alika kerap membelikan makan siang anak-anak di sebuah panti asuhan yang dikelola sebuah pesantren. Dia juga acap membelikan anak-anak jalanan perlengkapan sekolah. Gadis itu merasa takjub dengan semangat belajar bocah-bocah itu di sebuah sekolah yang berlokasi di bawah bantaran sungai. Sebuah sekolah yang dikelola salah satu yayasan nirlaba yang cukup populer. Meskipun konyolnya, kadang barang-barang yang dicuri ikut disumbangkan oleh Alika.

Sambil meringis mengelus alisnya yang sedikit nyeri akibat jerawat, Reino tampak mengernyit sambill memencong-mencongkan bibirnya, seperti  sedang berpikir keras. Sudah beberapa hari dia mengumpulkan informasi tentang bagaimana mengatasi kondisi Alika. Kleptomania, butuh seorang psikoterapi untuk menanganinya. Dan setahu Reino, tak banyak orang dengan spesialisasi semacam itu di sekitar mereka. Atau hanya dia yang tidak tahu, entahlah. Lalu setelah kemarin akhirnya dia mendapatkan alamat dan jadwal praktek seorang psikoterapis, dia sekarang merasa bingung bagaimana menyampaikan kepada gadisnya tanpa membuat Alika tersinggung.

***

“Oke. Kamu atur aja jadwalnya. Aku nurut. Tapi kamu mau nemenin, kan?”

Kadang, sesuatu yang dipikir sampai membuat pening kepala, ketika benar-benar dihadapi, kenyataannya begitu mudah. Tidak ada penolakan, atau ekspresi enggan dari Alika mendengar penjelasan Reino soal pengobatannya.

“Kamu nggak marah aku ngomong begini? Nggak berpikir aku ngatain kamu gila?”

“Karena kamu yang ngomong, Reino, maka aku tahu kamu tulus. Kamu kira aku nyaman dengan kondisiku? Sama sekali tidak. Kamu tahu nggak keadaanku tiap kali keinginan berbuat itu muncul? Panas dingin, keringetan gemetar. Semakin aku tahan, aku tolak untuk melakukannya, semakin aku tersiksa. Dan begitu aku melakukannya, aku merasa sangat puas. Puas sekali. Bisa mengutil tanpa ketahuan, seperti sebuah pencapaian luar biasa bagiku. Apa aku terlihat menyedihkan dan menjijikkan bagimu?”

Reino menggeleng mantap sambil menatap wajah Alika yang memelas. Dia tidak pernah mengira jika gadis yang sekarang matanya sedang berkaca-kaca itu begitu menderita. Perlahan Reino meraih tangan Alika kemudian menggenggamnya. Meremas lembut tangan yang terasa begitu dingin.

“Aku sakit, Rei. Aku tahu aku tidak baik-baik saja. Selama ini tak ada yang tahu. Mamaku juga tidak. Kadang aku bingung melihat banyaknya koleksi curianku. Tusuk gigi, korek kuping, tutup gelas, sendok dari warung bakso. Barang-barang itu akhirnya hanya aku buang. Sensasi ketika menguasainya tanpa izin, itu yang luar biasa.”

“Tidak apa, Alika. Kita akan mulai mengatasi ini. Dan ingat, kamu tidak sendiri. Jika nanti sesi konsultasimu tidak menyenangkan dan membuatmu tak nyaman, kita akan memikirkannya. Aku punya beberapa nama sebagai pilihan. Kamu mengerti?”

Gadis yang sekarang tampak menggigit bibir menahan tangis itu terus mengangguk tanda setuju.

“Jangan nangis. Nanti aku jadi kepingin nggendong kamu pulang. Kamu nggak malu? Ntar diketawain lagi sama anak-anak yang main bola di dekat rumahmu kayak kemarin, mau?”

“Ish, Reino! Kan waktu itu kakiku kram!”

“Halah, faktanya waktu itu kamu nangis, dan sekarang juga nangis. Sapa tahu itu emang modusmu buat minta gendong.”

“Hiiihhh! Reino!”

Pemuda itu segera berlari melihat tanda-tanda Alika hendak memukulkan tas ke badannya. Tak mau kalah, Alika mengejar kekasihnya sambil tertawa. Mereka tetap berlari berkejaran sampai memasuki ruangan laboratorium fisika, dimana beberapa temannya sudah datang lebih dulu untuk berlatih mempersiapkan keikutsertaan mereka dalam olimpiade.

***

Reino mengamati wajah Alika yang sedang menyeruput minumannya. Sejak kembali dari sesi pertemuannya dengan terapis, Alika diam saja. Hanya menggeleng dan mengangguk saat diajak berbincang atau menolak pun mengiyakan pertanyaan Reino. Ini adalah pertemuan ketiga. Alika langsung cocok dengan terapis yang diajukan Reino waktu itu, dan di dua pertemuan sebelumnya, Alika selalu seru bercerita.

“Lapar?”

“Kau tahu, Rei. Aku merasa telanjang.”

Reino berjengit mendengar jawaban Alika yang tidak selaras dengan pertanyaan darinya. Kalimat pertama setelah membisu sekian waktu, tapi aneh terdengar.

“Bu Inggrid membuatmu merasa begitu? ”

“Kukira aku baik-baik saja sekarang, toh Mama dan Papa sudah lama bercerai. Papa juga sudah menikah lagi. Nyatanya tidak. Lukanya masih basah di hatiku, Rei. Ada kemungkinan aku melakukan itu demi mendapat perhatian.”

Untung saja taman tempat mereka duduk sepi pengunjung, jadi tangisan Alika tidak serta merta menjadikannya obyek pandangan keingintahuan orang lain. Alika terus bicara soal rindunya akan masa lalu, sedihnya karena sang mama yang jarang di rumah dan galaunya yang berharap ayahnya lebih sering mengajaknya bertemu. Air mata susul menyusul mengaliri pipinya, menghadirkan pemandangan amat memelas bagi Reino.

“Tak apa. Menangislah. Sepuasmu. Aku di sini, nggak kemana-mana. Aku dengarkan, aku ada. Untukmu.”

Bersambung ….

#dz. 04112020

Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.

Leave a Reply