Rumah Nenek (Part 1)
Oleh : Lusiana Mak Serin
Namaku Anandya Kinasih. Mahasiswi semester awal yang sedang bersemangat kuliah. Tapi sayangnya saat ini sedang libur semester setelah ujian yang cukup menguras pikiran. Liburan kali ini digunakan Ayah untuk memboyong kami semua ke rumah Nenek. Yap, kami pindah ke rumah Nenek yang letaknya di pinggiran kota, jauh dari kampus. Tapi kata Ayah, aku boleh ngekost agar lebih dekat dengan kampus, juga tempat kerja part time. Jadi tak perlu setiap hari menempuh jarak jauh untuk pulang-pergi. Karena hal itu, aku dengan gembira membantu pindahan.
Menceritakan soal ibu dari Ayah ini banyak cerita menyenangkan tentang beliau. Bisa dibilang, Nenek termasuk impian para cucu. Walau sudah berusia akhir tujuh puluh tahun tapi masih enerjik. Bahkan ketika kami datang menjenguk pasti disambut wangi kue yang semerbak. Selama ini juga tak pernah kutemui Nenek memarahi ataupun membentak Ibu. Keduanya terlihat akrab. Ibu yang paling semangat ketika ada rencana menginap, juga paling sibuk menyiapkan ini-itu untuk ibu mertuanya. Bisa dibilang, Nenek juga impian semua menantu perempuan.
Lalu bagaimana dengan Kakek? Sama dengan Nenek. Beliau bisa dibilang idola para cucu. Ayunan yang ada di pohon mangga depan rumah adalah hasil karya Kakek, sampai saat ini masih bisa digunakan. Beliau bahkan membuatkan rumah pohon di depan rumah. Tepatnya di pohon asem.
Tapi, sejak Kakek meninggal tiga bulan lalu, Nenek terlihat berbeda. Ada rasa kehilangan yang teramat besar di matanya. Karena hal tersebut anak-anaknya khawatir beliau akan kesepian, apalagi hanya tinggal bersama dengan satu orang asisten rumah tangga. Jadi, Ayah berinisiatif memboyong kami keluarganya. Sebenarnya banyak saudara Ayah yang ingin merawat, tapi Nenek tidak mau diboyong. Nenek ingin tinggal di rumah peninggalan orangtuanya sampai meninggal katanya. Alhasil saudara-saudara Ayah lebih memilih mengalah, toh Ayah juga bisa dipercaya. Selain itu mereka bisa lebih mudah berkomunikasi dengan Nenek.
Bicara soal rumah Nenek, rumah tersebut merupakan peninggalan zaman Belanda. Tahu sendiri ‘kan bagaimana keadaan rumah yang dibangun pada masa itu? Bisa dibilang kuat, bahkan kukuh dalam segala cuaca. Hanya butuh mengganti beberapa genteng yang bocor, membetulkan pintu dan jendela yang engselnya mulai berkarat, juga mengecat tembok yang sudah kusam di beberapa tempat. Ingatan masa kecilku akan rumah tersebut menyenangkan. Langit-langitnya yang tinggi, dengan kamar yang jumlahnya lebih dari lima. Kalau dihitung total kamar di rumah itu ada delapan. Tapi entah mengapa ketika semua anak Nenek berkumpul, mereka lebih senang tidur menggelar tikar juga kasur di ruang tengah, termasuk aku sewaktu kecil. Kalau kata Nenek sudah mirip ikan yang ada di tempat pelelangan siap dijual. Dan Lebaran biasanya jadi momen kumpul bersama, terkadang ketika libur sekolah pun kami juga sering menginap bersama. Di antara semuanya, keluargaku yang paling sering berkunjung, karena masih satu kota.
Sebenarnya ada satu kejadian yang sampai saat ini masih terbayang jelas dalam ingatanku, seperti baru terjadi kemarin. Aku ingat kala itu semua saudara berkumpul. Kalau tak salah Lebaran, entah tahun berapa. Aku? Masih balita, karena memang belum sekolah TK. Saat itu menjelang maghrib dan kami masih bermain di halaman. Panggilan dari Kakek yang berjanji akan mendongeng membuat kami berhamburan masuk rumah. Tapi aku termangu di pintu masuk, melihat ke arah pohon beringin. Ada sesosok wanita yang menatap dengan pandangan seram. Kemudian aku segera berlari ke dalam rumah.
Ternyata itu awalnya saja, karena saat malam tiba aku merasa badan ini tak nyaman. Tak berselimut rasanya dingin, tapi ketika menutupi tubuh dengan selimut terasa gerah. Ibu meraba keningku, dan tak lama beliau segera mengompres dahiku dengan handuk yang sudah dibasahi air hangat. Katanya kala itu aku demam, walau tak terlalu tinggi.
Mata mulai berat, tapi masih belum bisa terpejam. Aku mengedarkan pandangan, lalu melihat ada sesuatu di atas lemari di sudut ruangan. Di sana ada sebuah kepala. Ya, hanya kepala, tanpa badan. Dengan rambut hitam sedikit bergelombang, serta matanya yang melotot melihat ke arahku tanpa berkedip. Seketika itu juga aku menjerit ketakutan. Memanggil Ibu yang sedang di luar kamar.
Anehnya, saat Ibu datang aku hanya menunjuk-nunjuk ke atas lemari dan mengatakan, “Itu, itu, ada yang menakutkan di sana,” sembari menangis. Ibu kebingungan melihat tingkahku, tapi tak juga membawa keluar dari kamar.
“Takut, Ibu. Keluar, keluar.”
Ibu segera membawaku keluar. Tapi, walau sudah keluar dari kamar, kepala tersebut masih tetap memandang dari atas lemari dalam kamar.
Aku menyembunyikan wajah di dada Ibu. Nenek menutup pintu kamar yang kami gunakan. Lalu semalaman Ibu menggendongku sembari bersenandung sampai aku benar-benar tertidur.
Kejadian lain, saat usiaku sepuluh tahun. Saat itu liburan sekolah. Cucu Nenek dan Kakek berkumpul. Hanya anak dari om nomor lima yang tak ada. Karena Om sedang tak bisa libur. Kala itu Kakek memutuskan untuk membuatkan kami rumah pohon. Mendengar rencana Kakek, otomatis kami gembira, bahkan menawarkan bantuan dengan harapan rumah pohon segera dibuat, dan segera selesai.
Kami bersemangat membawa bahan juga alat yang akan digunakan. Namun, aku terkejut ketika melihat di sebelah Kakek ada sesosok wanita berambut panjang, menatap dengan pandangan seram dan mulut menyeringai. Tapi sepertinya Kakek tak terpengaruh. Aku mundur, memutuskan masuk ke dalam, tak ikut membantu Kakek. Sayangnya keputusan ini bukan keputusan bagus, wanita tersebut mengikuti, membuatku histeris.
Aku berteriak, mengusirnya dengan panik, tapi sosok itu malah melayang makin mendekat. Ibu yang membuat kue di dapur tergopoh mendengar jeritanku. Mencoba menenangkan dengan membisikkan kalimat-kalimat hiburan. Hanya saja semua tak mempan. Sosok itu masih tetap berusaha menjangkau. Aku mendekap erat tubuh Ibu sembari menyembunyikan wajah dari makhluk mengerikan tersebut sembari menjerit-jerit ketakutan. Melihatku bersikap seperti itu, Tante, adik nomer dua dari Ibu, menjemput ustazah yang bertempat tinggal tak jauh dari rumah Nenek—hanya berjarak empat atau lima rumah.
Tak lama Tante datang dengan seorang perempuan berjilbab lebar. Beliau tersenyum, dan melihatnya saja ketakutanku sudah jauh berkurang. Hanya saja makhluk itu tiba-tiba sudah ada di belakang ustazah tersebut. Aku langsung berteriak panik, menunjuk-nunjuk ke belakangnya. Beliau segera mendekatiku, begitu juga makhluk tersebut. Aku makin panik, berusaha menjauh, tapi dengan lembut beliau memegang tanganku.
“Adik cantik, hayuk Ustazah ajarin berdoa, biar gak diusili sama jin.” Itu kalimat yang diucap pertama kali oleh beliau. Aku tak menjawab, hanya mengangguk sembari menunduk, karena makhluk seram itu masih ada di belakangnya.
Sembari menggenggam lembut tanganku, Ustazah mengajak membaca Al-Fatihah, dilanjut surah An-Nas. Hal menyeramkan terjadi. Makhluk berambut panjang tadi melayang menjauh sambil berteriak, menjerit kesakitan, padahal kami baru mulai membaca surah An-Nas. Bacaanku terhenti, menatap bengong apa yang ada di depan mata. Menakjubkan sekaligus menyeramkan melihat makhluk itu berteriak, menggeliat, berputar di udara. Lalu dengan tiba-tiba hilang seperti asap, tak berbekas.
“Ustazah, setannya ilang,” ucapku kala itu. Perempuan berwajah teduh itu tersenyum, lalu mengusap kepalaku dengan lembut.
“Jadi adik sudah tahu ya, kalau ada jin datang nakutin, langsung baca surah Al-Qur’an aja, ya,” begitu pesannya. Aku mengangguk. Sejak itu setiap ke rumah Nenek, kami tak lupa untuk berkunjung ke rumah beliau. Hanya saja sejak naik kelas tiga SMA, kami tak pernah lagi mengunjungi beliau. Nanti ketika semua sudah beres aku ingin berkunjung.
“Dya, ngelamun terus, sudah sampai, loh.” Lamunanku terhenti ketika terasa sebuah tepukan juga terdengar panggilan dari Ibu. Aku mengangguk, segera turun dari mobil.
Bau harum kue menyergap cuping hidung. Pasti Nenek sudah siap dengan cake andalannya. Segera aku berlari ke dalam, menuju dapur.
“Assalamualaikum, Neeek!”
Benar, Nenek sudah siap dengan cake yang harumnya membuat air liur menetes.
“Dya, cucuku yang cantik.” Nenek menyambut dengan merentangkan kedua tangan. Tanpa ragu segera kupeluk tubuh yang telah menua tersebut. Aah, Nenek, sepertinya badan beliau semakin kurus.
“Kurusan, Nek?” komentarku.
“Iya, Nenek kesepian. Tapi setelah ini tidak lagi karena rumah ini akan kembali ramai sama kalian.” Wajah keriput itu tersenyum tulus. Di usianya yang sudah hampir delapan puluh tahun, sisa kecantikannya masih terlihat.
“Iya, Nek. Nanti ajarin Dya bikin kue juga ya, Nek. Lumayan kalau dijual di kampus, bisa nambah uang jajan,” ujarku, nyengir. Nenek tertawa sembari menowel hidungku.
“Insya Allah Nenek ajari sampai bisa, ya. Hayuklah itu dibawa ke ruang tengah. Tinggal potong-potong. Biar dimakan ibu sama ayahmu. Tadi Bi Darmi juga sudah buat teh.”
Tanpa diperintah dua kali segera aku membantu menghidangkan cake yang aromanya benar-benar menerbitkan air liur. Namun, begitu sampai di ruang tengah, kulihat truk pengangkut barang sudah tiba. Ayah memilih menyewa jasa pengangkut barang karena jarak yang tak terlalu jauh, selain itu bisa meminta tolong untuk menata barang berat sekalian.
Menunda menyantap cake buatan Nenek, kami disibukkan dengan kegiatan pindahan. Menata segala sesuatunya. Untunglah beberapa furnitur sebagian ditinggal di rumah. Ayah pikir tak masalah untuk orang yang akan mengontrak nanti. Toh di rumah Nenek furniturnya juga sudah tersedia dan masih bagus. Selain itu, yang terpenting Nenek bersedia.
Menjelang maghrib semua sudah selesai. Ayah mengajak para kru untuk membersihkan diri juga makan bersama. Karena memang kami pelanggan terakhir untuk hari ini. Jadi sedikit terlambat tak masalah, begitu kata mereka.
Jadi, mulai malam ini, kami resmi tinggal di rumah Nenek. Hanya saja rasanya ada sesuatu yang berbeda. Entah apa itu. Apa karena Kakek telah meninggal? Atau karena hal lain?
Bersambung …
Seorang wanita yang mem-branding diri dengan nama Lusiana Mak Serin yang menunjukkan bahwa dia seorang emak-emak. Walau begitu, tak ingin disebut tua, lebih suka dengan kata dewasa. Biasa menulis status gaje. Hanya saja beberapa tahun belakangan ini mulai mencoba serius dalam dunia kepenulisan. Mumpung ada di negara orang, ingin belajar dunia tulis menulis sebanyak-banyaknya. Karena tahu andai di rumah akan kesulitan membagi waktu. Untuk nama akun sosial media di FB atas nama Lusiana Ayuningtyas dan untuk IG atas nama Lusiana_Mak_Serin
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata