Perempuan Negeri Tuah

Perempuan Negeri Tuah

Perempuan Negeri Tuah

Oleh: Freky Mudjiono

Part 1.

 

Di depan sebuah televisi yang menyiarkan berita tentang seorang pemimpin tengah memeriksa keadaan parit-parit tersumbat yang disangkakan sebagai penyebab banjir, seorang bocah perempuan terkantuk. Sesekali ia meringis dengan kepala tersentak sebab rambutnya tertarik ke belakang, di mana duduk seorang perempuan yang lebih dewasa–Kemala.

Sudah lewat sepuluh menit mereka berada dalam posisi yang sama. Sang bocah duduk diam sementara tangan dan mulut Kemala–ibunya– bergerak, sama-sama tanpa henti. Jemari Kemala yang kurus lincah menyibak helaian rambut hitam tebal milik sang bocah–Ghina. Beberapa helai ia jumput kemudian dijadikan satu kesatuan, ditarik kencang, hingga helai rambut ikal yang dipegangnya terlihat lebih lurus–saat di mana Ghina meringis–lalu ditimpa dan ditekuk sedemikian rupa dengan kesatuan yang lain hingga menjadi jalinan yang rapi, hampir serupa bentuk udang yang bungkuk.

Mulut Kemala juga hampir sama lincahnya dengan jemarinya. Waktu yang sama sekali tidak disia-siakan. Segala macam petuah meluncur seolah telah dipersiapkan matang jauh sebelum mereka berdua duduk di depan televisi itu. 

“Ghina … ingat apa yang barusan ibu bilang?” 

Ghina-bocah perempuan itu–mencoba mengangguk, tapi terlihat sedikit sulit sebab helaian rambutnya masih dipegang kuat sang ibu. 

“Nah, jadi. Nanti kalo main-main jangan dekat anak laki-la ….” Kemala menggantung ucapannya.

“Ki!” Ghina menjawab mantap.

“Karena do ….”

“Sa!”

Kemala tersenyum puas. Entah karena Ghina yang baru saja berusia enam tahun menyambung perkataannya dengan tepat, atau karena jalinan rambut Ghina yang telah selesai sempurna sesuai kehendaknya.

“Tolong karetnya, Sayang.” Tangan kiri Kemala terulur lewat samping wajah Ghina. Sigap, bocah itu memberikan karet rambut aneka warna yang sedari tadi berada dalam genggamannya.

“Sudah selesai?” Sang bocah bertanya penuh harap tanpa berpaling. Ia masih duduk tenang di hadapan televisi yang kini beralih ke acara infotainment, membahas dengan santai sebuah isu di mana seorang artis disebutkan telah hamil di luar nikah. Kesimpulan itu dipicu tubuh sang artis yang terkesan lebih ‘berisi’ padahal pernikahannya baru berlangsung beberapa minggu. Kemala melirik sekilas sebelum mematikan televisi melalui remote yang sedari tadi tergeletak di dekatnya.

Tubuh Ghina sedikit bereaksi saat televisi dimatikan, mungkin terkejut karena layar yang tadinya bercahaya dan penuh suara tiba-tiba berubah menjadi hitam bisu. Namun, ia kemudian terlonjak gembira saat mendengar ucapan Kemala, “Sudah selesai. Mainlah!” 

“Asyik!” serunya sambil serta merta berdiri. Namun … tiba-tiba ia menjatuhkan diri. “Aduh!” 

“Ada apa!?” Kemala bertanya setengah berteriak, diciptakan oleh rasa sayang dan khawatir yang bersaing mengambil tempat.

“Kesemutan ….” Ghina memasang wajah lucu sebab rasa geli bercampur sedikit nyeri di lututnya. 

Kemala beranjak mendekat, menepuk-nepuk area yang ditunjuk Ghina agar peredaran darah di kaki bocah itu lancar. Hanya sebentar, karena kemudian Ghina langsung berdiri begitu sensasi di kakinya menghilang. 

“Ghina, ingat jangan jauh-jauh.” 

“Iya, ke rumah Eva, Ma.”

“Di halaman saja!” pesan Kemala menguap tanpa jawaban dari Ghina. Kemala mendesah kesal, kini ia terpaksa keluar dan mengawasi anaknya itu.

Eva adalah anak tetangga berjarak dua rumah dari rumah mereka. Meski dekat, tapi rumah mereka terhalang oleh ruko Koh Apen yang ditembok hingga ke batas tanah. Ruko itu bahkan tidak memiliki sedikit lahan untuk parkir sepeda motor, langsung berbatasan dengan saluran air yang menjadi pemisah antara jalan raya dan tanah warga. Sehingga sering kali, saat banyak pembeli, sepeda motor parkir di pinggir jalan, dan membuat jalanan macet. 

Rumah yang ditempati Kemala lebih lega. Rumah yang merupakan warisan dari mertuanya itu memiliki halaman depan yang lumayan luas, hingga cukup untuk ditanami beberapa pohon mangga. Buah kesukaan suami dan anaknya. Selain itu, pohon-pohon mangga yang rindang itu juga efektif melindungi rumah mereka dari debu dan hawa panas jalan raya. Padahal itu bukanlah jalan protokol, hanya jalan alternatif yang memang bisa menghubungkan ke tempat-tempat seperti pasar dan sekolah. 

Tidak heran toko kelontong yang dibuka Koh Apen sejak dua tahun yang lalu itu laris manis. Sebab, semakin lama semakin banyak saja yang mengetahui dan ikut melintasi ruas jalan pintas ini. Keadaan telah jauh berubah. Ia tidak tahu, apakah karena jalan yang semakin ramai, atau karena ruko kelontong di sebelah rumahnya itu membuat suasana perumahan tidak lagi terasa. Kemala merasa, ia tengah hidup di kota besar, bukan daerah pinggiran yang asri seperti saat kepindahannya dulu. 

Ia sedikit menyesalkan keputusan Mak Imah menjual rumahnya. Namun, Kemala mengerti. Wanita tua itu harus melakukannya untuk menebus utang anak laki-lakinya yang terancam dibui. Koh Apen termasuk orang yang baik. Ia membeli tanah dan rumah Mak Imah dengan harga wajar, tidak berusaha menekan harga seperti yang dilakukan Ahmad dan agen rumah lainnya. Saat hendak menghancurkan rumah Mak Imah yang memang telah rusak di sana sini, juga menggusur tanaman serai, pandan dan aneka bunga yang ditanam pemilik sebelumnya, Koh Apen juga menawarkan pada tetangga kanan kiri bila ada yang berminat mengambil  tanaman-tanaman tersebut.

Namun setelahnya, ruko tiga lantai pun dibangun. Tinggi menjulang. Terlihat mencolok daripada rumah-rumah lain di sekitarnya. Sejak itu Koh Apen dan istrinya jarang keluar berinteraksi. Mungkin mereka lelah dengan ramainya pembeli, mana mungkin ada waktu bertandang ke tetangga kanan kiri.

Kemala sendiri jarang berbelanja di toko milik Koh Apen. Sebab ia telah memiliki toko langganannya sendiri. Bukan toko sebenarnya, melainkan warung kecil milik saudara iparnya, hanya berjarak beberapa rumah yang berlawanan arah dengan ruko Koh Apen. Harga di sana memang sedikit lebih mahal, tapi mana mungkin Kemala tega melihat barang-barang di warung iparnya itu menumpuk dan kadaluarsa, setelah satu persatu langganan pindah ke toko Koh Apen. Semakin hari, saudara iparnya itu semakin mengurangi stok sembako di warungnya. 

“Tak berani menyetok beras lagi, Kak. Terakhir kali, beras-beras itu tersimpan lama hingga berkutu. Siapa yang nak beli?” keluh Novi–saudara iparnya–saat tiada beras di warungnya ketika Kemala hendak membeli. 

Mau tak mau, Kemala terpaksa berbelanja ke toko Koh Apen. Seperti biasanya, Koh Apen dan istrinya sangat ramah. Kemala baru tahu, mereka  juga mempekerjakan Lastri dan Darmo, dua remaja putus sekolah yang dikenal Kemala. Lastri dengan sigap menimbangkan beras seperti yang diminta Kemala. Ada berbagai beras dengan pilihan harga di sana, yang kualitas premium sampai yang murah dan berwarna keruh tersedia dalam jumlah besar. Tidak perlu takut kehabisan. Kemala memilih beras seperti yang biasa ia beli di warung iparnya. Lidahnya sulit beradaptasi dengan sesuatu yang baru. 

“Cukup dua liter, Kak?” sapa Koh Apen. “Mau banyak juga bisa diantarkan nanti sama Darmo,” tambahnya lagi.

“Oh, cukup, Koh,” jawab Kemala sembari mengeluarkan uang untuk membayar belanjaannya. Istri Koh Apen yang sepertinya memegang bagian kasir, perempuan bertubuh gemuk yang sering kali dilihat Kemala mengenakan tank top dan celana pendek di atas lutut itu memberikan kembalian sambil tersenyum. Pemilik toko yang ramah dan pelayanan yang cepat. Dua hal itu ditangkap Kemala sebagai hal yang membuat orang nyaman berbelanja di sana.

Namun kemudian, Kemala tetap kembali berbelanja di warung saudara iparnya. Kini, warung kecil itu juga berjualan mie sop dan gorengan. Jajanan yang disukai banyak orang, baik dewasa maupun anak-anak. Mengandalkan keahlian memasaknya, Novi menyusun dagangan barunya itu di dalam steling kecil seadanya yang nangkring di atas meja kayu dengan bangku-bangku panjang mengelilinginya, membuat warung kecil itu kembali hidup. Pembeli kembali datang, meskipun bukan untuk berbelanja beras, gula atau telur. Anak-anak juga hilir mudik, tangan mereka kerap kali berisi pisang goreng yang berbungkus sobekan kertas maupun es kocok yang hanya seharga seribu rupiah di dalam kantung plastik bening.

“Kami masih jualan sembako, Kak. Sedikit-sedikit saja. Ada juga beberapa langganan yang minta kami jangan tutup,” terang Novi dengan wajah yang tak lagi berkabut sambil menimbang beras. Kemala merasa lega, saudaranya menemukan cara untuk bertahan. 

Sesekali, Ghina dan sahabatnya sebayanya–Eva–bermain juga di halaman warung milik adik iparnya ini. Selain luas, di sini juga lebih teduh. Namun, hal itu sering mereka lakukan tanpa sepengetahuan Mama Eva. Sudah beberapa lama, permusuhan antara Novi dan Mama Eva tidak juga kunjung pudar.

Bersambung ….

Medan, 11 Oktober 2020

Bionarasi penulis :

Freky Mudjiono, menyukai dunia literasi sebab penuh misteri.



Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata



Leave a Reply