Satu Hari di Bandara

Satu Hari di Bandara

Satu Hari di Bandara
Oleh : Karna Jaya Tarigan

Juanda masih dipenuhi calon penumpang meski lebaran telah melewati tujuh hari dan nyaris tidak menyisakan kenangannya lagi. Kursi-kursi tunggu disesaki pantat-pantat manusia yang telah jenuh menunggu. Bandara kini lebih terlihat mirip terminal bus antarkota yang dipenuhi asap rokok, bekas nasi bungkus dan sisa kemasan air mineral yang dibuang sembarangan. Juga air mata perpisahan yang menguap lamban dan memenuhi pelataran, sebab kesedihan yang tidak mau pergi bersama orang-orang yang akan ditinggalkan. Orang-orang yang lainnya mungkin sedang bertanya dalam hati: Apakah tahun depan masih bisa pulang kembali? Apakah tahun depan rezeki akan sebaik tahun ini? Apakah tahun depan orang-orang yang dicintai masih berumur panjang? Dan berbagai pertanyaan lain yang mungkin lebih suka disimpan di dalam hati dan cukup menjadi sebuah teka-teki.

*

Bandara betul-betul sangat ramai hingga tak ada bangku yang tersisa untuk sekadar melepas lelah. Dan sialnya, aku selalu kalah cepat oleh manusia lainnya yang lebih sigap. Aku menyerah, sebab kali ini hanya keberuntungan yang mampu memanjakan kaki-kakiku dari lelahnya berdiri. Namun meskipun lelah, aku tidak ingin terlihat sebagai orang gila yang sibuk ke sana-kemari hanya untuk memperebutkan bangku yang kosong.

Lalu aku berpikir, mencari toilet adalah alternatif yang cukup baik untuk mengusir penat, setidaknya dengan membasuh muka atau mandi, dapat memberi sedikit kesegaran pada tubuh, meski tidak cukup berarti juga untuk mengusir lelah.

Di sebuah sudut yang agak jauh dari keramaian, aku mencoba menghirup lebih dalam aroma bandara, agar dapat segera membaur dengan suasana, namun anehnya, aku tetap merasa asing. Mungkin perasaan seperti ini yang pernah dirasakan Gordon Summer atau Sting dan kemudian digambarkan dalam lagunya, English Man in New York, meski juga aku tahu, bahwa ini tidak cukup tepat jika dibandingkan dengan The Big Apple, sebuah kota yang tidak pernah tertidur.

Aku sendiri di kota ini meski hanya sekadar transit, namun perasaan asing yang tercipta sungguhlah aneh!

*

Beberapa booth makanan dan minuman yang berdiri di sepanjang teras ruang tunggu, merayu tanpa suara dengan baunya yang cukup memikat. Aroma minuman cokelat yang kuat tercium, namun aku ingat hanya beberapa lembar uang yang masih tersisa di dalam dompetku untuk ongkos pulang.

Di sebelah sana, seorang perempuan cantik dengan handphonenya, memisahkan diri dari keramaian. Ia tenggelam dalam percakapan yang intim dengan kekasihnya. Mudah saja aku menebaknya, itu bisa terlihat dari wajahnya yang penuh ekspresi. Kadang ia tertawa, kadang ia merajuk, lalu sebentar memasang wajah sedih dan sebentar kemudian ia tertawa kembali, seakan-akan kekasihnya tepat berada di depannya. Dan, Suara ketawa juga terdengar dari beberapa rombongan kecil yang sedang merayakan perpisahan, tawa mereka mengapung, melewati asap rokok yang bergulung-gulung tebal. Suara dan asap hadir bergantian.

Aku baru menyadari, gambaran perilaku manusia yang sedang tenggelam dalam kesibukan adalah peristiwa yang sangat menarik.

*

Rasanya belum hilang kesan kemarin, ketika aku baru saja merasakan dinginnya kota Malang, dan menikmati dari balik selimut tebal yang hangat. Udara musim kemarau yang biasanya menyengat, kali ini tidak mampu membakar membakar kulit dan membuat keringat seperti biasanya. Suatu hal yang sama sekali tidak pernah aku temui di Jakarta.

Lalu tiba-tiba Ibu menelepon dan mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkan, Bapak sakit mendapatkan serangan stroke-nya yang ke dua dan sekarang sedang dirawat di ruang ICU. Aku terhenyak, bukan karena liburan ini akan segera berakhir, tetapi tentang bagaimana kesehatan Ayah. Serangan pertama beberapa tahun yang lalu sempat membuat bibir Ayah menjadi miring dan kaki kirinya menjadi lemah dan sulit untuk digerakkan.


Dalam beberapa jam lagi aku akan terbang, namun pikiran yang tidak-tidak berkelebat di dalam lounge bandara. Sebelum terjadi sesuatu yang buruk pada Ayah, aku ingin sekali bercerita kepadanya, mengapa aku seringkali keras kepala dan selalu mengatakan pandangan yang berbeda dengan adik-adikku.

*

Penerbangan ditunda seperti biasanya. Ratusan menit telah terbuang sia-sia di bangku ruang tunggu. Dalam hal sepenting ini, mengapa pesawat pun bisa menjadi seperti manusia yang selalu datang terlambat dan di saat seperti ini justru aku sedang bertarung dengan waktu, berharap detik demi detik, menit demi menit akan bergulir lebih cepat dan terus bertanya dalam hati, harus berapa lama lagi menunggu dan kapan pesawat akan mendarat dan membawaku terbang?

Aku butuh ketepatan waktu, juga kecepatan, seperti burung-burung penjelajah yang tidak pernah lelah menyeberang lautan luas demi makanan dan udara yang lebih hangat. Aku tahu, kali ini waktu sangat berharga dan tidak dapat dibeli dengan uang. Jika masih ada waktu, ini adalah kesempatan terakhir melihat wajah Ayah, sebelum ia pergi, selamanya.

Oh, Tuhan. Mengapa aku jadi begitu pesimis!

*

Dan dalam empat jam penantian, menunggu dalam kebosanan, panggilan boarding pass mampu memberikan kepastian. Sebentar lagi pesawat akan terbang. Lalu segelas minuman mineral dalam gelas kemasan dan sepotong roti murahan diberikan seorang perempuan cantik dari maskapai penerbangan sebagai pengganti biaya keterlambatan. Selembar tiket pulang yang berharga lebih dari sejuta rupiah telah diperiksa dan aku segera bergegas melewati koridor sempit menuju ke landasan.

Pesawat itu telah menunggu dengan anggun di tepi apron. Ia tidak mengucapkan kata maafnya jika terlambat. Pesawat mulai menyerupai manusia yang sangat enggan mengucapkan kata maaf. Lagi-lagi segelas air mineral dan sepotong roti murahan diberikan awak pesawat, kali ini sebagai pengganti makan malam. Di pinggir jendela pesawat aku memasang sabuk pengaman sambil mendengarkan suara pilot, apa saja yang harus dilakukan jika pesawat mengalami keadaan darurat. Ia berbicara seperti robot yang tidak mempunyai emosi, datar saja dan tanpa penekanan suara.

Lalu sepasang mesin turbo-jet dinyalakan dan pesawat bersiap, merangkak pelan, dan mulai berlari dan mengudara, namun tubuhku telah tiba lebih dahulu di Jakarta. (M)

 

Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply