Persembunyian Luka (Part 1)

Persembunyian Luka (Part 1)

Persembunyian Luka
Oleh: Freky Mudjiono

Part 1

Wangi bedak tabur bercampur minyak telon yang baru saja kubalurkan bocah kecil yang mulai fasih menyebut ‘Mama‘ akhir-akhir ini, masih menguar saat ia tiba-tiba beranjak dari pangkuanku

“Ommmah!” serunya sambil berlari menyongsong sosok wanita yang muncul dari pintu depan yang terbuka. Wanita itu terkekeh, mengembangkan tangannya untuk menyambut pelukan Andin, bocah kecil berusia dua setengah tahun itu.

“Halo, Sayang,” ujar wanita itu sambil menciumi pipi tembam Andin–putriku.

Aku berdiri, menepuk-nepuk pakaian yang sedikit terkena bedak Andin yang kutabur tadi, kemudian bergegas menghampiri wanita itu, neneknya Andin.

“Sendirian, Oma?” Aku berusaha ramah menyapa, walaupun kedatangannya selalu …. Ah, entahlah.

Ia melirik dengan tatapan sinis, seperti biasanya. Aku bersyukur ada Andin di antara kami saat ini, atau kata-katanya yang tajam pasti sudah terdengar. Di depan Andin dan suamiku, wanita ini selalu berusaha terlihat sebagai orang tua yang bijaksana.

“Assalamu’alaikum.” Salam yang dilantunkan dengan nada riang membuatku menoleh ke asal suara. Seorang wanita muda menyuguhkan senyumnya kepadaku.

“Aku bersama Retno.” Tiba-tiba Oma bersuara.

Retno–wanita muda yang tadi mengucapkan salam–mengangkat tangannya yang menenteng sebuah kantong plastik transparan.

“Tadi di depan, kebetulan ada penjual rujak lewat.” Retno seolah-olah menjelaskan mengapa ia baru muncul. “Makan, yuk, Mbak,” ajaknya dengan mata berbinar.

Aku ikut mengulas senyum. Retno beranjak langsung menuju dapur. Aku hanya diam, memandangi gerak tubuhnya yang tampak tidak canggung di rumah ini.

Beberapa saat, Retno menghilang dari pandangan, tetapi terdengar suara denting piring dan sendok. Tidak lama kemudian, gadis itu kembali ke ruang depan, dengan nampan di tangan.

Ia langsung mengambil tempat di sofa yang biasa diduduki Bang Faisal. Tiga buah piring berukuran sedang dan satu mangkuk plastik ia susun di meja.

“Andin, sini!” Retno melambaikan tangan.

Putri kecilku melorotkan diri dari pelukan omanya, berlari menghampiri dan langsung duduk di pangkuan Retno. Oma ikut mendekat dan duduk di salah satu kursi.

“Andin, tante suapin, ya? Mau melon, kan?” Retno meraih mangkuk plastik yang berisi potongan buah tanpa bumbu rujak.

Bocah kecilku membuka lebar mulutnya, menyambut potongan buah yang disodorkan Retno. Aku tertegun. Begitu mudahnya Retno menyuapi Andin. Padahal, aku harus membujuknya dengan susah payah.

“Andin suka melon?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Retno menoleh. “Iya. Oh, Mbak Arum baru tahu? Andin memang aneh, dia hanya suka melon, tidak suka buah lainnya.” Retno tertawa kecil sambil menggelitiki pinggang Andin. Bocah itu tertawa geli.

“Mana mungkin tahu.” Tiba-tiba celetuk pedas meluncur dari mulut Oma.

Retno menghentikan candaannya dengan Andin. Sesaat pandangan mata kami bertemu. Kualihkan tatapan ke arah lain, jangan sampai ia melihat embun di mataku.

“Nanti lama-lama juga tahu, kok,” ucap Retno seperti membelaku.

Aku mengangguk, berusaha mengulas senyum meski rasanya kaku.

“Sini, Mbak. Ayo, kita ngerujak.” Retno menepuk sisi sofa yang kosong di sisinya.

Sebenarnya, saat ini aku sama sekali tidak ingin berada di antara mereka. Berada di kamarku, pasti lebih nyaman. Namun, mana mungkin aku menolak? Kuturuti permintaan Retno, duduk di sisinya.

Retno kembali asyik bercanda dengan Andin. Bocah kecilku itu sama sekali tidak memedulikan aku yang duduk dekat dengannya, membuat situasi semakin terasa janggal. Aku merasa … seperti orang luar.

Selama beberapa saat, ruang tamu hanya berisi suara Retno dan Andin. Aku mengunyah potongan buah dengan bumbu rujak tanpa bisa menikmati rasanya. Dalam diam, kusimak saksama percakapan mereka.

“Andin wangi sekali. Sudah mandi, ya?” Terdengar Retno bertanya.

“Cudahlaahh …,” jawab Andin lucu.

“Siapa yang mandiin?” tanya Retno lagi.

“Mama,” jawab Andin sambil menunjuk ke arahku dengan sedikit membalikkan tubuh.

Aku tersenyum. Ada rasa bangga mendengar namaku disebut olehnya.

“Wah … asyik sekali.” Retno membulatkan matanya jenaka, hingga Andin terkekeh. “Eh, itu giginya kok kuning. Hayooo … gak gosok gigi, ya?” goda Retno lagi.

Andin menutup mulutnya dengan kedua tangan, lalu menggeleng. Ekspresinya terlihat menggemaskan, tapi tidak mampu mengusir cemas yang tiba-tiba menyelusup dalam hatiku. Benar saja. Saat aku mengangkat wajah, kulihat Oma menatap dengan kesal, membuatku merasa gelisah. Ia pasti ….

“Anak-anak juga harus gosok gigi! Sebagai orang tua, kita kudu ngajarin, jangan malas!” ketus Oma membuat hatiku ciut. Tarikan bibirnya jelas menunjukkan ia tengah meremehkan. Hal yang sering ia lakukan sejak aku masuk ke rumah ini.

Aku juga tahu, anak-anak harus dibiasakan sikat gigi sejak kecil. Biasanya juga aku membujuk Andin untuk sikat gigi dengan berbagai cara yang menarik. Sambil bercerita tentang peri yang menyukai anak yang mulutnya wangi, bermain boneka kecil di ujung sikatnya, atau mengajarkannya betapa pentingnya gosok gigi agar terhindar dari kuman jahat, aku selalu berhasil membuatnya mau menyikat gigi. Namun, tadi Andin bersikeras enggan melakukannya, mungkin karena pasta gigi stroberinya habis dan aku belum sempat berbelanja ke toserba di luar kompleks perumahan kami.

“Itu, tadi ….” Aku baru hendak menjelaskan ketika ucapanku terjeda oleh perkataan Oma.

“Andin, Sayang. Harus sikat gigi ya, Nak. Nanti Oma sedih kalo Andin sakit.” Oma menatap Andin penuh perhatian dan mengabaikanku.

“Kemalin Andin cakit. Tlus minum obat.” Bocah kecilku menyambung perkataan omanya.

Aku seketika menelan ludah. Di hadapan wanita yang kini melotot seolah-olah siap menyemburkan amarah, aku merasa seperti seorang terdakwa.

“Andin sakit, Mbak?” Retno menatap padaku. Meski sebelumnya ia ramah, tetapi kini rasa kesal tidak dapat disembunyikannya dengan baik.

“Hanya demam biasa,” jawabku pelan.

“Biasa?”
Intonasi suara Oma meninggi, matanya semakin melotot. Retno juga terlihat tidak puas atas jawabanku.

Aku bingung harus menjawab apa, rasanya benar-benar serba salah. “I-iiya. Begitu kata dokternya,” terangku.

“Kamu bawa dia ke dokter mana, sih! Gak becus, itu. Mana ada demam biasa.” Oma semakin marah.

“Dokter Hardi, Oma,” jawabku menyebut nama dokter anak yang disebut Bang Faisal telah menangani Andin sejak bayi.

Oma mendengkus. Ia pasti mengenali dokter yang telah berpengalaman itu.

“Kenapa tidak memberi kabar kepada kami, Mbak?” tanya Retno.

Aku menggigit bibir bawah. Apakah tidak apa, bila kukatakan Bang Faisal lah yang memutuskan hal itu saat kuminta ia mengabari Oma dan Retno?

“Andin adalah putri kita. Tanggung jawab kita. Jangan merepotkan Oma dan Retno lagi.” Itulah yang diucapkan Bang Faisal ketika aku panik sebab suhu tubuh Andin mencapai 39 derajat celsius. Menghubungi Oma dan Retno, hanya itu yang bisa kupikirkan sebagai jalan keluar. Namun, ucapan Bang Faisal membuatku sadar. Kami sebagai orang tuanya-lah yang harus bertanggung jawab atas putri kecil kami.

Bila kukatakan hal ini … apakah kedua wanita beda usia di hadapanku ini akan tersinggung mengetahuinya?

Bersambung ….

 

Freky Mudjiono. Orang yang baru saja mengenal dunia literasi.

Editor: Erlyna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply