[Helsa Fanfiction] Firasat – Frozen belongs to Disney
Oleh : Reza Agustin
Ahtohallan mungkin mengutuknya. Atau bisa jadi Northuldra masih menyimpan dendam atas tragedi yang telah dilakukan kakeknya berpuluh tahun silam. Atau mendiang ayah dan ibunya meninggal tidak tenang, menganggapnya sebagai dalang yang patut disalahkan atas kematian mereka. Atau mungkin saja Anna murka karena dilimpahi seluruh tanggung jawab terhadap Arendelle.
Mungkin saja, itulah sekian banyak dugaan mengapa setiap malamnya tidak pernah dilalui tanpa terjaga. Semua karena mimpi-mimpi sialan itu. Tentang aroma garam kuat yang dibawa dersik angin, bebatuan hitam yang berbaris panjang tidak teratur seperti sisik ular panjang, kastel besar asing berwarna hitam, dan wajah pria itu. Penjahat, monster kejam yang tidak punya ampun dan tidak akan pernah mendapat pengampunan darinya atas semua dosa itu.
Masih lekat dalam ingatannya tentang tubuh beku Anna, musim dingin tidak berujung Arendelle, dan bunyi pedang yang ditarik dari sarungnya. Pria licik penuh tipu daya, sosiopat, dan karismanya sulit ditolak. Nama yang menyertai wajah itu begitu sulit disebut. Bukan karena susah, tetapi rasanya tidak sudi saja mengucapkan atau menyebut nama tersebut.
“Elsa, kamu melamun lagi.” Honeymaren menepuk pundaknya lembut.
“Aku hanya kurang tidur saja.”
“Apa yang membuatmu kurang tidur? Apakah ada hal yang kamu khawatirkan? Atau mungkin seseorang?”
Tepat sasaran. Walaupun di posisinya sekarang bukanlah mengkhawatirkan pria yang namanya enggan disebut itu. Lebih ke mengapa mimpi itu membayangi tiap tidurnya.
“Kamu selalu bisa membaca pikiranku. Seharusnya kamu saja yang jadi roh kelima. Kemampuan cenayang itu agaknya lebih dibutuhkan daripada sihir membuat es dan salju,” kelakarnya.
Aroma musim semi yang dibawa angin tidak dapat menerbangkan kesan garam yang telah melekat kuat di hidung. Anna mungkin sedang disibukkan dengan persiapan festival musim semi. Ia sedang menantikan undangan itu datang, tetapi kali ini Gale tidak hanya membawa kelopak-kelopak bunga dan undangan. Sebuah amplop tebal yang memiliki segel negara tetangga yang jauh di sebelah selatan lebih menarik perhatiannya daripada undangan kiriman Anna. Satu-satunya alasan riil mengapa ia lebih dulu membuka amplop itu karena dari sanalah pria itu berasal.
“Elsa, kamu baik-baik saja? Salju tiba-tiba turun dan wajahmu sangat pucat?” Honeymaren kembali menepuk bahunya, kali ini lebih kencang.
Ia menggeleng lemah, ada sedikit rasa syukur karena pengirim amplop itu tidak mengirimkan pernyataan perang. Melainkan permintaan maaf dan penawaran pembukaan jalur perdagangan negeri mereka yang telah beberapa tahun ini ditutup sepihak. Ketika masih menjabat sebagai ratu, ia sendiri yang memutuskan memutus segala hubungan diplomatis dengan negeri itu. Ia masih dikuasai dendam. Jika bukan karena permohonan Anna untuk tidak memancing perang, mungkin sekarang negeri itu telah dilanda bencana badai salju abadi.
“Aku harus kembali ke Arendelle,” ujarnya datar.
Kembali ke Arendelle, yang berarti Ahtohallan dan Northuldra harus diserahkan kepada para roh untuk sementara waktu. Kendati alasan untuk kembali sudah jelas, tetapi kegamangan itu tidak kunjung hilang. Pertanyaan yang sama mengapa pria itu selalu hadir dalam mimpinya terus saja mengusik. Membawanya terlarut dalam lamunan dalam, mengawang-awang firasat buruk yang mungkin diwakilkan dalam sosok sang pria yang amat dibencinya.
“Setidaknya pergilah ke Ahtohallan. Kamu kelihatan seperti orang yang hilang. Mungkin di sana ada jawaban atas lamunanmu selama berhari-hari.” Perempuan berwajah manis itu menepuk pundaknya lagi.
Melamun berhari-hari. Jatuh ketika menunggang Nokk, nyaris mengubur Bruni dalam tumpukan salju, membekukan saluran air, dan banyak hal memalukan lain yang seharusnya tidak diceritakan. Sungguh, kemunculan pria itu dalam mimpinya adalah pertanda buruk. Ahtohallan memang jalan terbaik untuk menemukan jawaban atas mimpi-mimpi itu.
***
Ahtohallan untuk kali ini membuatnya bertanya-tanya. Dari sekian banyak tempat yang tertinggal di sel-sel otaknya, mengapa kini ia justru dibawa ke sebuah tempat asing yang tidak pernah didatangi. Bukan Arendelle yang selalu hangat, tidak juga Northuldra dengan segala keajaibannya, bukan istana esnya yang begitu dirindukan, melainkan sebuah pantai yang lebih banyak batu kehitaman dan aroma garam yang kental. Persis dalam mimpinya tentang pria itu.
“Kenapa dari seluruh tempat, harus di sini? Kepulauan Selatan.” Ia dongkol. Entah pada siapa.
Embusan angin kembali menghantam, menerbangkan rambut-rambutnya yang dibiarkan terurai. Lalu sebelum ia dapat berdiri tegak melawan angin, tubuhnya ditembus begitu saja bak kabut tipis. Seorang anak lelaki berambut merah kecokelatan berlari menjauhi pantai. Langkahnya diburu, wajahnya berselimut ketakutan, dan dari kulitnya yang tidak tertutupi pakaian menyembul beberapa luka yang telah mengering.
Dengan penampilannya yang seperti bangsawan itu harusnya ia bisa lebih terlihat “sehat” dengan tubuh yang lebih berisi, tetapi anak itu tidak lebih kurus daripada warga sipil biasa. Kalau bukan karena pakaian mahal bangsawan itu, ia pasti dikenali sebagai anak nelayan.
“Hans kecil, mau lari ke mana dirimu?”
Nama yang terlarang itu disebut, tubuhnya seakan disambar. Anak lelaki itu makin ketakutan. Iris matanya yang berwarna hijau bergerak-gerak gelisah mencari tempat berlindung. Namun, belum sempat menemukan tempat berlindung, langkahnya berhasil terkejar. Dua orang lelaki yang lebih tua darinya—wajah mereka serupa, mungkin kembar—menyeret si anak malang menjauh.
Jeritannya terdengar makin nyaring ketika dijatuhkan ke dalam kandang kuda, berlumur lumpur yang mungkin sudah bercampur dengan kotoran. Lalu segerobak jerami ditebar ke sekujur tubuhnya yang berlumur lumpur.
“Haha, sekarang Hans kecil kita sudah jadi monster jerami!”
Hans, nama itu tidak terdengar sejahat sebelumnya. Tergantikan oleh sosok tidak berdaya anak lelaki berselimut jerami yang berjalan terseok-seok memasuki bagian belakang kastel sambil menahan tangis. Hans kecil semakin menjauh dari jangkauan pandangnya. Angin beraroma sama kembali berembus, kali ini aroma terik matahari beserta bau anyir darah.
Sebilah pisau berlumur darah terlempar dari tangan pria bertubuh tinggi itu. Memiliki kemiripan dengan Hans, pria itu bermata hijau dengan warna rambut yang lebih gelap. Dibandingkan dengan si bungsu, tubuhnya benar-benar sehat. Tinggi dan gagah. Jika melesatkan satu pukulan, mungkin lawannya akan kehilangan beberapa gigi dan patah tulang hidung.
“Kamu harus lebih kuat lagi. Ayah mendidik kita menjadi singa, bukannya tikus pengecut. Tapi sekarang kamu malah bertingkah seperti tikus, gemetar dan ketakutan ketika lawan yang lebih besar datang,” ujarnya sembari menjenggut rambut Hans kencang.
Laki-laki yang mungkin baru memasuki masa remaja itu kehilangan sinar matanya. “Aku akan melawan kalau diberi senjata, tapi kalian melawanku seorang diri tanpa diberi senjata. Apakah itu adil?”
Sebuah tempelengan keras mendarat di wajah sang pangeran ketiga belas. Darah mengucur dari kedua lubang hidungnya.
“Tidak ada pengecualian untuk kelemahan seperti itu. Berjuanglah untuk mendapat senjata sendiri dan jangan meminta!”
Beberapa pukulan datang lagi. Lebih keras, tidak berjeda, dan berlumur darah. Entah itu yang berasal dari hidung atau mulut. Mungkin juga campuran keduanya. Tidak ada ampun.
Sementara ia dibiarkan tercenung dengan apa yang disajikan Ahtohallan di depan mata. Sejak dulu, kehidupan di dalam istana memang diciptakan seperti rimba. Saudara sedarah bisa saling membunuh demi duduk di atas takhta. Hal-hal seperti itu sering didengarnya dari obrolan para dayang, kabar angin yang berembus dibawa angin, dan beberapa yang didapat dari buku-buku, tetapi kali ini hal-hal itu dapat dilihat secara langsung. Untuk sesaat menumbuhkan rasa iba, tetapi segera ditepis ketika mengingat dosa apa yang telah diperbuat Hans padanya dan Anna.
“Apakah mempelajari tentang Putri Elsa begitu menyenangkan untukmu sehingga lupa kalau sudah waktunya makan?” Suara asing itu terdengar di belakang tubuhnya, memaksa sang roh kelima berputar dan mendapati tubuhnya telah berpindah ke sebuah ruangan yang diisi rak-rak buku tinggi. Apalagi ketika namanya disebut oleh seseorang yang tidak dikenal itu. Seorang pria yang perawakannya tidak jauh beda dengan Hans, hanya saja wajahnya lebih menunjukkan kematangan dan memakai kacamata. Ia terlihat pintar.
“Ya, dia begitu misterius. Tidak banyak yang kita tahu tentang dia, tapi aku tidak akan menyerah semudah itu. Aku akan berusaha mencari tahu lebih banyak tentangnya,” ujar Hans yang tampak lebih tua dari terakhir kali. Satu-satunya yang ia ingat tentang lelaki itu beberapa detik yang lalu adalah wajah bonyok.
“Sebegitu putus asanya dirimu untuk menikah?” tanya pria yang lebih tua.
Hans membisu, jemarinya yang bergerak membuka lembaran buku terhenti. Wajahnya menyiratkan keraguan sebelum menjawab, “Tentu saja. Siapa yang tidak ingin menikah? Aku juga ingin seperti dirimu, Lars.”
“Apa pun keinginanmu, jangan biarkan rasa putus asa itu memaksamu menjadi monster, Hans. Pastikan akal sehatmu masih berfungsi. Lagi pula, masih ada banyak waktu sampai ia dinobatkan sebagai ratu. Ini masih tiga bulan sejak kabar kematian Raja dan Ratu Arendelle.”
“Itu artinya masih ada banyak waktu untuk bersiap dan membuktikan diri pada Ayah bahwa aku pantas.” Ketika kalimatnya berhenti, sorot mata hijau itu seakan berpendar seperti nyala api.
Lagi-lagi Ahtohallan membawanya pada hal-hal yang mengejutkan. Hans ternyata mengincarnya, bahkan sebelum bertemu dengan Anna. Namun, mengapa pria itu berubah pikiran?
Derit pintu berkarat yang nyaring nyaris membuat jantungnya lepas. Cahaya senja yang merambati tembok-tembok kukuh itu berakhir pada Hans yang duduk lemas di atas papan kayu dengan kaki yang terikat pada bola besi besar. Pria berkacamata yang ia kenali sebagai Lars mengambil kursi, lantas duduk di depan sang adik.
“Percobaan pembunuhan pada anggota kerajaan lain harusnya dijatuhi hukuman mati. Terutama karena percobaan pembunuhan itu tanpa sepengetahuan Ayah. Anggap saja kamu beruntung kali ini, titel kerajaanmu untuk sementara dicabut. Untuk satu tahun pertama kamu akan ditempatkan di istal. Membersihkan dan merawat para kuda itu kesukaanmu bukan? Lalu di tahun kedua hingga ketiga kamu akan ditempatkan di angkatan laut, bekerja tanpa digaji. Baru setelah itu kamu bisa mendapat titel kerajaan lagi. Hukuman yang cukup ringan bukan?” Lars menjelaskan dengan cukup hati-hati, tetapi sia-sia karena sang adik termangu. Pikirannya mungkin telah melayang ke mana-mana.
Lars menarik napas, hendak bicara lagi, tetapi berhenti ketika adiknya membuka mulut lemah. “Daripada menikah supaya terbebas dari semua ejekan dari yang lain, aku putus asa ingin sekali keluar dari neraka ini.”
Satu helaan napas Lars dilanjutkan dengan pelukan untuk Hans. “Aku tahu, mereka sudah memperlakukanmu dengan buruk, Ayah lebih parah, dan Ibu sama sekali tidak berdaya di atas ranjang pesakitannya. Jika kamu ingin menjauh dari tempat ini, aku akan membantu.”
Di dalam keremangan karena matahari yang kian merangkak turun, tangis Hans meledak.
Dan, Elsa benar-benar iba padanya.
***
Anna menyambut kedatangannya dengan pelukan paling hangat. Olaf menunggangi Sven yang ditarik Kristoff perlahan.
“Senang sekali kamu datang Elsa, tetapi aku harap kamu tidak melempar bola salju raksasa pada tamu kerajaan kita,” ujar Anna sebelum wajahnya berubah kecut.
“Apa dia Hans?” tanya Elsa ragu-ragu, dadanya bergemuruh.
“Bukan, ini kakaknya yang entah keberapa. Dia kelihatan ramah dan pintar dengan kacamatanya.” Anna lantas berjalan mendahului.
“Oh, Lars,” gumam Elsa yang segera mendapat tatapan curiga Anna. Lalu sang adik membuat spekulasi sendiri, tentang hebatnya roh kelima memiliki kemampuan cenayang. Yang tentu saja sebenarnya tidak dimiliki Elsa.
Pria itu tampak lebih tua daripada potret-potret bergerak yang ditunjukkan Ahtohallan. Ia duduk dengan gelisah sebelum kedatangan Elsa, tetapi segera menempatkan diri dengan tenang ketika hawa dingin yang dibawa sang mantan ratu merambat naik. Hanya saja, kesan sedih yang tercetak di matanya seperti enggan beranjak. Setelah beberapa sapaan dan basa-basi, ketiga bangsawan itu duduk diliputi suasana tegang.
Dengan lancar, ia menjelaskan kedatangan untuk memperbaiki hubungan diplomatis Arendelle dan Kepulauan Selatan. Sekaligus menyampaikan ucapan permintaan maaf secara pribadi kepada Elsa dan Anna atas perbuatan yang dilakukan adiknya di masa silam. Tidak lupa memberikan hadiah beberapa peti ikan hasil tangkapan terbaik nelayan mereka dan bebatuan hitam berharga mahal berukuran raksasa. Akan jadi bahan paling sempurna untuk membuat patung. Namun, Lars belum menjelaskan apa pun tentang hal yang seharusnya sangat penting di sini.
“Arendelle memiliki es yang bagus dan Kepulauan Selatan memiliki ikan dan garam berkualitas tinggi. Jika hubungan diplomatis kita kembali stabil, tidak menutup kemungkinan untuk membangun bisnis makanan yang lebih awet. Es dan garam sangat bagus untuk mengawetkan ikan,” ujar Lars antusias kendati wajahnya masih menyisakan luka yang belum bisa Elsa baca.
Sang mantan ratu berdeham. “Jika kalian berniat memperbaiki hubungan negeri kita yang terancam hancur, bukankah lebih bijak jika Pangeran Hans sendiri yang datang kemari? Mengapa harus Anda?”
Kesan sedih di wajah sang pangeran semakin kentara. Ia lantas menunduk, matanya terpejam lebih erat, menghadang air mata yang bersiap turun.
“Justru karena ketiadaannya di sini adalah alasan, Yang Mulia. Mungkin nyawanya tidak akan bertahan lama, maka saya sebagai saudaranya yang mewakilkan permintaan maaf itu. Kapalnya terkena meriam bajak laut saat patroli dengan angkatan laut kami dan sudah dua minggu ini ia terbaring tidak sadarkan diri, menanti ajal.”
Salju pertama di musim semi turun. Anna nyaris melompat dari kursinya, Kristoff yang menahan bahu Anna, Olaf dan Svenn saling berpandangan berbagi rasa iba. Dan, Elsa yang mendapat sebuah jawaban atas mimpi dan kilasan-kilasan masa hidup sang pengeras bungsu yang malang. Ahtohallan mungkin memberikan isyarat kematian bagi pria itu.(*)
Reza Agustin, sobat ambyar merangkap Kpopers.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata