Sabar yang Berbatas
Oleh : Cahaya Fadillah
“Kalau sudah ketahuan selingkuh, baru kamu sibuk dan bising. Apa tidak introspeksi diri dari sebelum-sebelumnya?” Rahang Mas Arya mengeras. Matanya menatap tajam ke arahku. Tanpa menaruh iba sama sekali ia menodongku dengan kata-kata tajam itu. Aku dijadikan pihak yang selalu salah dalam hubungan ini.
“Tapi, Mas … apa begini cara menyelesaikan masalah?” Pipiku akhirnya basah menahan sedih dan amarah yang sempat kutahan sejak lama.
Tangan kananku masih memegang bukti perselingkuhan Mas Arya entah dengan wanita mana lagi. Posenya membuatku jijik dan ingin muntah. Sang wanita dipeluk dalam rangkulan yang dalam seperti layaknya pasangan suami istri.
Sedangkan aku yang sah sebagai istri Mas Arya, tidak pernah dipeluk seperti di foto tersebut. Padahal usia pernikahan kami baru genap tiga tahun.
“Tapi kan bukan begini caranya, Mas. Selingkuh tidak menyelesaikan masalah. Tapi malah semakin membuat masalah, kamu menyakitiku, Mas.” Isakku kali ini terasa begitu sangat perih.
Pernikahan yang baru seumur jagung sudah dinodai dua kali. Pertama saat aku hamil Danu — buah cinta kami. Aku masih mencoba bersabar demi anak di dalam kandunganku yang bahkan belum terlihat jenis kelaminnya.
Sekarang, saat Danu berusia dua tahun. Mas Arya mengulangi perselingkuhan entah dengan siapa lagi. Mungkin dia tidak lagi mencintaiku sejak melahirkan Danu.
Aku berbanding terbalik. Tubuh kurusku kadang memang membuat Mas Arya jengah dan tidak jarang hinaan selalu ia muntahkan di depanku.
“Apa tidak sempat mandi? Baumu itu bikin aku sakit kepala.” Lagi dan lagi Mas Arya menghinaku saat mendapati aku belum mandi ketika ia pulang bekerja.
“Danu rewel, Mas. Ndak mau ditinggal. Sedangkan aku harus memasak, mencuci dan menyetrika.”
“Halah, alasan. Banyak kok yang jadi ibu. Banyak yang punya anak kayak kamu tapi masih bisa dandan.” Kata-kata pedas itu lagi-lagi kutahan dan menangis di dalam hati.
Mas Arya tidak pernah sama sekali membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan, untuk bermain bersama Danu saja terlihat ogah-ogahan. Alasannya selalu sama, capek bekerja. Pulang untuk istirahat, bukan untuk main lagi dengan sang anak.
Malam itu kami bertengkar lagi. Dia berhak mengatai aku bau, bahkan jijik melihat penampilanku yang tak lebih dari seorang babu. Tapi, jangan perlakukan anakku seakan tidak ada.
“Kalau kamu tidak bisa memberikan waktu sedikit saja untuk anakmu, kenapa dulu kamu menghamiliku?”
Tamparan keras di pipi kiriku berhasil membuatku terdiam saat itu. Air mataku berlinang lagi. Kupeluk Danu yang belum mengerti apa-apa. Tidak pantas rasanya seorang anak berusia dua tahun melihat perlakuan keras ayahnya kepada ibunya sendiri. Mental anakku hancur bersama dengan hancurnya hatiku.
Sejak saat itu aku tidak berani bicara. Aku hanya akan bicara saat Mas Arya mengajak bicara atau bertanya sesuatu. Aku mencoba bersabar demi Danu. Demi keluarga dan rumah tangga. Agar Danu tetap bahagia karena masih punya agah dan ibu yang utuh.
Hingga suatu hari, rasa sabarku benar-benar sudah menghilang saat mendapati kabar Mas Arya bersama wanita baru di kamar hotel. Dengan tenaga yang hampir tidak tersisa, kulangkahkan kaki melabraknya. Beruntung, Danu bisa kutitipkan sebentar pada tetangga yang paham rumah tanggaku.
Pemandangan itu benar-benar membuat sabarku terkikis habis dan tidak tersisa.
“Teruskan saja dosa-dosamu, Mas. Tapi ijinkan aku menyerah menjadi istrimu. Ceraikan aku!” Teriakku histeris.
Mataku kali ini tidak lagi basah saat melihat Mas Arya dan wanita itu berdua tanpa busana. Entah, sabarku yang menguap atau rasa benciku yang kali ini merasa genap.
Baru beberapa langkah Mas Arya mengejarku dan memohon agar aku tidak meninggalkannya.
“Selama ini Mas hanya mengujimu, Arumi.” Tangan kekar itu kini menggenggam tanganku.
“Menguji? Dengan begini kamu bilang mengujiku, Mas?” Kusentakkan tangan kekar itu. Tidak lagi ada air mata untuk pernikahan yang berusaha terus kuselamatkan.
“Tolonglah, kasihan Danu jika kita berpisah,” cicitnya dengan wajah memohon.
“Lupakan, Danu pasti akan berterima kasih padaku jika bebas dari ikatanmu, Mas.” Cercaku melepaskan amarah.
“Kamu perempuan, rayu saja suamiku. Tapi ingat, nanti hal ini juga akan terjadi padamu. Ingat sumpahku!”
Kubanting pintu kamar hotel dengan sisa amarah. Tidak lama terdengar gaduh dari dalam. Mereka bertengkar, biarkan, lupakan. Kini aku punya tujuan hidup dengan nyaman.(*)
Cahaya Fadillah, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat. Menyukai literasi sejak duduk di bangku sekolah dasar, tapi baru aktif tahun 2017.
Ibu satu anak bernama Muhammad Adz Dzikri Faeb ini sangat suka menulis. Sampai sang suami memberi gelar untuknya “Si Tukang Karang”.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata