Akhir

Akhir

Akhir

Oleh : Cahaya Fadillah

Jika rasa ego yang kujadikan teman, sejak dulu kau kutinggalkan. Tapi, sampai detik ini aku tidak menyerah bukan? Masih mencintaimu dengan caraku, walau caramu padaku terlalu menusukku.

Ini tahun kesekian kita membina rumah tangga, tahun kesekian pula aku memendam semua luka dan lara sendiri. Kau tahu apa artinya teman hidup bukan? Kurasa kau lebih paham defenisi itu tanpa perlu kujelaskan. Buatku, teman hidup adalah teman berbagi apa saja, saat senang bersama, sedihpun dirasakan bersama, saling menguatkan, saling memberi bahagia satu sama lainnya.

Tapi, kau lupa. Lupa kalau pasangan itu harusnya saling mencintai, saling mengisi serta saling melengkapi. Bukan saling menyakiti seperti yang terjadi pada kita akhir-akhir ini.

“Kita berpisah saja,” ucapmu membelalakan mata kearahku. “Pergi kau dari sini!” Bentakmu padaku setelah gaduh kita ciptakan malam itu, setelah malam-malam sebelumnya masih dengan ego yang sama besarnya.

Belum sempat aku berpikir apakah ini nyata atau tidak, cacian dan hinaan dari Ibumu semakin membuat aku terpuruk. Jurang dalam menantiku, hatiku tercabik, perlahan nanah yag tersimpan selama ini kututup rapi akhirnya tergores dan luka kembali. Busuk, baunya membuatku mual hingga kata pedas dan cacian juga akhirnya kuucapkan padamu, kata yang harusnya tidak pernah kuucapkan pada siapapun apalagi kamu adalah imamku. Tapi, harus kulakukan karena luka ini terlalu merusak hatiku dan kau tidak lagi menghargaiku sebagai ibu dari anak-anakmu.

Aku pergi, melawan hati, meninggalkan cinta di rumah itu. Malam teramat gelap untuk mata yang selalu basah, aku melarikan diri dari rumah tempat kita bersama selama ini. Ya, aku tahu, aku hanya menumpang di rumah orang tuamu, tapi pantaskah kau perlakukan aku seperti ini. Lebih dari seorang babu?

Pakaianku kau campakan dengan kasar, kau paksa aku menikam hatiku sendiri. Kau paksa aku menelan cinta untukmu agar benci yang kini bertahta di hatiku.

“Pergi!” Teriakanmu kembali lantang terdengar walau aku sudah merangkak jauh keluar pintu.

Ketiga jagoan kita menangis, tidak kau hiraukan. Tidak kau dengarkan tangisan mereka yang berkata, “Ayah, Bunda, sudahlah.” Ratapan anak-anak kita lebih membuatku terluka dari pada ucapan kasarmu yang membabi buta.

Sejak saat itu, aku mencoba menghilang, aku benar-benar mencoba pergi dari hidupmu. Bersembunyi di negeri antah berantah. Berharap kau menari dan memelukku pulang, walau kutahu tidak akan ada kata maaf dari bibirmu. Jika tidak lagi cinta aku, cintai saja anak-anakku, darah dagingmu.

Bulan berlalu, musim berganti. Kau seolah lupa bahwa kita pernah cinta. Kutebalkan muka kembali ke rumah orang tuaku, bukannya mendukung atau membantu mengurangi sesakku, mereka malah menuduhku keras kepala. Sudahlah, aku tidak peduli, biarkan saja asal anakku masih bisa makan, menumpang di rumah orang tua akan kutahan malu untuk sementara.

Setengah tahun kau kembali, kita memulai bersama. Kubuka pintu maaf, setelah ketiga anak kita lahir, ketiga kali pula kau mengusirku seperti tikus kedapatan mencuri makanan di dapur.

Kutahan sakit demi anak-anakku, kusimpan perih dan luka demi ketiga jagoan kita agar mereka masih merasa kalau kita masih utuh, walau nyatanya hatiku tinggal separuh.

Lebaran ini, aku mencoba membuka hati padamu, apalagi kalau bukan demi anak-anak kita. Kembali mengisi mata, hati dan pikiranku dengan kamu. Tapi apa yang kudapat? Kau tidak berubah dengan sifat malas dalam mencari nafkah untuk anakmu, tidakkah kau pikir mereka berhak mendapatkan hidup yang layak? Sekolah yang lebih baik dan mainan yang berserak di dalam rumah?

Anakku tidak merasakan itu, ia hanya bisa tertunduk saat yang lain punya mainan baru, suamiku. Dia hanya bisa menangis pilu saat pergi sekolah tanpa uang jajan di saku.

Aku mulai muak dengan cara hidupmu, kucoba beritahu hatimu dengan pelan dan rayuan. Namun, kau seolah tidak mendengar. Kucoba bicara lantang kau anggap aku pembangkang. Sampai kali terakhir kau buat jejak merah di pipi kiriku dan lebam di punggungku.

Kali ini sudah selesai, hatiku tidak lagi bisa bertahan. Setelah hati ini kau hancurkan perlahan, kini tubuhku kau sobek dengan mulutmu yang tajam, tanganmu yang kekar dan kakimu yang jantan.

Sakitnya tidak bisa kumaafkan. Kita selesai.

===
Terinspirasi dari kisah seorang teman, Ibu tiga putra kepala tiga. Semoga lelahnya berakhir dengan kebaikan. Amiin.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply