Bread is Foot

Bread is Foot

Tepatnya, tiga hari sebelum 20 Desember 2012, pukul 20:12–waktu cantik yang kupilih sebagai hari kematianku–adalah pertemuan paling ajaib yang pernah terjadi dalam hidupku.

Hidupku memang telah runtuh semenjak tahun kemarin. Sehingga, berakhirlah aku di sini. Menatap air biru yang tenang, sesekali beriak ketika beberapa kapal boat menyeberang. Dan kicau mobil berlalu lalang di belakang punggung.

Semestaku diam. Aku berniat akan bermalam di sana, menunggu detik-detik waktu melaju, tanpa diriku yang terkekang masa silam.

Kematianku haruslah dikenang, tekadku suatu hari. Meski, aku pun tak tahu siapa yang akan mengenang kematian.

Selama ini aku sebatang kara. Orang tuaku telah lama tiada. Aku tak memikirkan hingga sejauh itu, tetapi merasa menjadi seorang yang paling sendiri.

Memasuki awal musim dingin, angin berembus kencang setiap mobil-mobil melintas. Aku menggigil. Malam datang, lampu-lampu menyala terang. Warna-warni pelangi, begitulah ikon dari jembatan ini.

Aku tak tahu sudah berapa lama menunggu malam naik, lalu lintas telah mulai lenggang, bintang-bintang mulai bertebaran.

Hingga sebuah teriakan datang memecah keheningan.

“Aaaaah!”

Satu.

“Aaaaah!”

Dua.

“Aaaaah!”

Tiga.

Wanita itu tersengal-sengal setelahnya. Ia bersimpuh. Sebenarnya, otakku tak mengizinkan untuk turut campur, namun kakiku mengatakan hal berbeda.

Tangis. Gadis itu menangis.

Aku mengingat diriku. Air mata yang mengering. Sudah terlalu banyak aku menangis, sehingga tanpa sadar aku tak pernah melakukannya lagi.

Aku memperhatikannya. Dia tahan menangis selama berjam-jam, sebelum tubuhnya benar-benar ambruk. Aku membantunya. Kurasa akan baik, jika mengisi hari-hari terakhirku dengan menolong orang lain.

Waktu berjalan singkat. Dua hari sebelum hari H. Semalaman aku menunggunya, aku pun tak mengerti mengapa. Dia kembali berteriak saat terjaga. Aku hanya mengamati, sampai dia menyadari kehadiranku sendiri.

“Siapa kamu?” selidiknya.

“Say–”

“Kamu yang menungguku semalaman?” Aku tergeragap. “Perawat itu mengatakannya. Kamu pria itu? Kenapa kamu menolongku? Kita bahkan tidak saling mengenal.”

Aku terdiam. Tidak sempat menjawab, pun tak tahu harus menjawab apa.

Gadis cerewet dan menyebalkan, batinku.

Mata sipitnya memindai. Aku ikut menatapnya. Adu tatap itu berakhir dengan saling memalingkan muka karena malu.

“Saya tidak tahu,” jawabku.

Dia menghela napas keras. Sangat tidak sopan.

“Terima kasih.” Terselip sebuah senyum setelah mengatakannya.

Dadaku tiba-tiba berdebar lebih kencang. Mungkin karena kejut melihat gadis yang bahkan tak menggunakan bahasa sopan itu dapat terlihat manis.

“Sa-sama-sama. Saya rasa kamu sudah cukup kuat. Jadi, sebaiknya saya pergi.”

“Ano!” Aku mengurungkan langkah.

“Iya?”

“Maukah kamu tinggal lebih lama?”

Aku kali ini kehabisan kata-kata. Kami bahkan tak tahu nama masing-masing. Apa dia tak takut jika aku adalah orang jahat?

“Kamu… sepertinya orang yang baik.”

Aku terpana, tanpa kusadari, senyumku mengembang atas penilaiannya.

“Kamu tersenyum?”

“Belum pernah ada yang mengatakan hal itu padaku sebelumnya.”

“Begitu, ya.” Dia tampak malu. “Oh, perkenalkan, name wa Ozawa Marry.”

“Saya, Nakajima Kenzo.”

“Aku tidak memiliki siapapun di kota ini, kalau kamu?”

Satu pertanyaan berbuntut panjang, memaksaku duduk kembali. Setelah pemeriksaan, dokter meperbolehkannya pulang. Kurasa ini akan jadi akhir pertemuanku dengannya.

“Mampirlah ke rumahku. Aku ingin memberikan sesuatu sebagai balasan atas kebaikanmu.”

“Itu tidak perlu. Sungguh.”

“Tidak apa-apa.”

Puppy eyesnya membuatku tak tega untuk menolak. Aku menurutinya. Kami masuk ke sebuah ruko roti yang sudah tutup. Ruko itu terlihat kumuh dengan adanya debu tebal di lantai dan sarang laba-laba yang menyelimuti hampir seluruh dinding

“Kamu seorang pembuat roti?” tanyaku.

“Mmm… begitulah.”

Aku membukakan pintu yang tak terkunci. Aneh sekali, ada orang yang bahkan tak mengunci rumahnya sendiri.

“Kau lapar? Biasanya aku akan membuatnya sendiri, tapi…,” Gadis itu menunduk sejenak, menghela napas lelah. Sejujurnya, membuatku sedikit terganggu.”Tenang saja, aku sudah memesan makanan untuk kita.” Dia memaksakan senyum.

Aku pun tak dapat membayangkan seperti apa kehidupan yang ia jalani selama ini.

“Kau bisa mengambil minuman di kulkas jika haus.”

“Iya.”

“Kau tahu, Kenzo. Sejujurnya, aku berniat mengakhiri semuanya, tapi kau menyelamatkanku.”

Abaikan penyebutan nama depan yang ia katakan barusan. Jadi, aku telah menghalanginya?

“Apa?”

“Nenekku bilang, seorang koki adalah seniman yang hebat. Memasak adalah salah satu jenis seni yang tak hanya bisa dinikmati dengan satu indera, melainkan dua sekaligus.” Dia mengatakannya dengan antusias, hidup, dan penuh harapan.

“Dulu, aku seorang koki restauran. Lalu, aku mengejar passionku sebagai pembuat roti. Nenek bilang, membuat roti butuh kehalian khusus. Roti-roti terbaik dihasilkan dari ketulusan dan tangan yang hangat. Aku seperti kehilangan semangat. Tak ada yang bisa kulakukan, tetapi aku melakukannya juga. Aku tak bisa menahan keinginan itu. Rasanya akan mati jika hanya berdiam diri.”

Kurasa aku memahami apa yang ia rasakan. Ketika semua hal terasa mustahil untuk dicapai, tetapi sungguh dibutuhkan semangat yang luar biasa untuk mencobanya kembali.

“Bread is food, kata mereka. Dan tidak ada orang yang ingin makan roti yang dibuat dengan kaki.”

Pandanganku kemudian tertuju pada kedua lengan panjang kaus yang terlihat tanpa isi.

“Jangan memberiku tatapan itu. Itu sudah tidak apa-apa.” Senyum tak pernah luntur dari wajahnya. “Sebelas Maret 2011. Aku terbawa arus. Saat aku sadar, tanganku terjepit, aku tidak bisa merasakannya lagi. Tiba-tiba, keesokan pagi lagi, aku telah kehilangan keduanya.”

Aku memperhatikan satu bulir air mata yang jatuh mengaliri pipi ranumnya. Entah bagaimana dia bertahan selama setahun ini. Aku mulai memikirkan bahwa dia sama denganku. Menjalani kehidupan sebagai zombie selama setahun. Dalam kesendirian dan kesepian.

“Kau bisa pulang setelah makan. Terima kasih atas bantuannya.” Dia membungkuk dalam, lalu menatapku sedih.

“Ozawa-san.”

“Iya?”

“Bagaimana… bagaimana jika kamu mencobanya sekali lagi. Saya yang akan menjadi pelanggan pertama kamu. Saya… ingin mencoba roti buatanmu.”

Dia menutup mulutnya yang terbuka, kepalanya mengangguk-angguk antusias. Aku sebenarnya tidak tega untuk melihatnya terlihat susah payah mengambil berbagai bahan dengan mulut dan kaki, tetapi kebahagiaan yang terpancar dari wajah cantiknya mengurungkanku untuk bersimpati.

Yang wanita itu butuhkan bukan sebuah simpati, tetapi seseorang yang mau mencicipi. Dengan lincah ia bergerak ke sana ke mari. Terakhir, dia melepas sandal rumah dan mencuci kaki hingga bersih. Kursi putar itu bergeser kembali ke awal meja adonan yang telah ia siapkan.

Kaki-kaki yang sangat indah, langsing, panjang dengan kuku-kuku putih bersih. Aku tak bisa menghentikan dadaku yang tiba-tiba menggila. Aku merasakan jatuh cinta akan kelihaian kaki-kaki itu menguleni.

Aku mengamati setiap detail, hingga roti itu terhidang dI hadapanku. Liurku menetes hanya dengan mencium wanginya. Aku benar-benar memakan roti buatan kaki yang indah itu. Dan aku tak menyesal, karena kemudian kilasan indah masa lalu turut menyeruak bercampur dengan rasanya. Aku belum pernah merasakan roti seenak ini.

“Bagaimana?”

“Saya tidak bisa berkata-kata. Ini luar biasa.”

“Sungguh?”

Dia tertawa manis. Aku melahapnya setengah gila. Makanan itu langsung habis hanya dalam beberapa menit.

“Kau pasti kelaparan.”

“Saya rasa begitu.”

“Kau boleh mencobanya lagi.”

Aku mengambilnya lagi. Makanan ini benar-benar menaikkan moodku. Perasaan baik memenuhi benakku. Aku bahkan melupakan bahwa besok malam aku akan mati.

“Nenekku berkata, bahwa setiap kali dia membuat makanan, dia hanya berpikir membuatnya untuk Kakek. Karena itu rotinya selalu lezat, karena dia menyelipkan bumbu rahasia di dalamnya.”

“Bumbu rahasia?” Aku meminum soft drink setelah menandaskan roti kedua.

“Benar, bumbu rahasia. Bumbu rahasia itu adalah cin….”

Dia tersentak menyadari kekeliruannya. Aku juga baru tersadar bahwa dia dengan implisit menyatakan perasaannya.

“Maafkan aku,maksudku….”

Marry semakin salah tingkah, saat aku menyuapinya. Niatku adalah tidak memperpanjang suasana canggung kami, namun justru berakhir semakin canggung. Pipinya sewarna mawar, mengundangku untuk menatapnya dalam. Aku menciumnya.

Saat kami kehabisan napas, dia mundur memberi jarak. Aku menatap sama tercengang dengan apa yang kulakukan.

“Ma-maafkan saya yang terbawa suasana.”

Ini benar-benar konyol! Aku akan mati besok dan kenapa aku menciumnya?!

“Ini… tidak benar untuk menyukai perempuan sepertiku.”

Aku bungkam dan membiarkan dia hendak masuk ke dalam kamar.

“Sebenarnya… saya akan mati. Besok malam.”

Dia mengurungkan niatnya, terperanjat mendengar penjelasanku.

“Semua sudah disiapkan. Bahkan pemakaman dan segala hal. Mustahil untuk memulai sebuah hubungan di saat esok hari saya akan mati.”

Dia berbalik, air matanya berjatuhan. Aku merasa tersayat melihatnya. Entah mengapa aku merasa begini. Padahal, baru kemarin aku mengamati ia menangis berjam-jam dan itu tidak mengusikku.

“Aku… ingin sekali menamparmu!” Dia terisak hebat. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku mendekat, memegang pundaknya untuk menenangkan.

“Dengar, apapun yang terjadi, jangan pernah menyerah dengan mimpimu.”

Ia menepis dan mundur. “Memangnya kau siapa memberiku harapan yang kau sendiri tidak memiliki!”

“Kamu tidak mengerti. Karena semua tak akan berjalan meski saya hidup.”

“Tidak ada orang yang benar-benar ingin mati! Kau pun begitu. Pasti ada jalan. Bukankah itu yang kau katakan?! Bahkan hari ini aku melihatnya. Ada jalan.”

Aku berbalik, meninggalkannya tanpa kata. Wanita itu membuatku goyah. Aku harus mati. Tidak mungkin untuk bertahan. Tidak ada yang bisa menghentikan.

Aku kembali berdiri di atas jembatan itu. Pagi berganti siang, siang berganti petang. Pukul 20:06 sebelum aku berniat melompat, aku melihat siluet indah yang mengusikku semenjak kemarin. Dia hanya mengatakan untuk mengambil roti dari dalam tasnya.

“Jadilah pelanggan terakhirku.” Itulah kata-kata terakhirnya.

Dia berbalik dan pergi. Aku akan memakannya. Ini akan menjadi makanan terakhir yang dapat kurasakan sebelum menghilang dari dunia.

Kembali, Kilasan nostalgia memenuhi pikiranku. Aku menangis. Benar-benar menangsi tersedu sedan. Seharusnya, aku tidak seperti ini. Setelah bertemu dengannya, semua idealismeku ikut pudar. Aku merasa telah menemukan alasan untuk bertahan.

Karena dia membutuhkanku, dan aku merasa membutuhkannya. Tak bisa kusangsikan bahwa aku mulai memiliki harapan untuk bisa hidup lebih lama. Menginginkan waktu lebih untuk bisa bersamanya.

Pukul 20:11 aku menatap punggungnya yang semakin menjauh.

Aku pernah mendengar bahwa setiap orang memiliki pertemuan yang akan mengubah hidup mereka. Menemukan kebahagiaan dan mencintai seseorang.

Kakiku berlari mengejar, ia memang selalu punya pemikiran sendiri. Memeluk punggungnya, dan kukatakan bahwa aku telah menemukan sebuah pertemuan yang mengubah hidupku.

“Aku berubah pikiran. Aku ingin tetap di sampingmu. Izinkan aku untuk menjadi tanganmu.”

End

Penulis amatir penyuka coklat dan mie. Penyuka drakor ini bisa dihubungi di akun Wattpad, Ig, dan Line: @heuladienacie.

Leave a Reply