Kematian dan Cinta

Kematian dan Cinta

 

KEMATIAN DAN CINTA

Oleh:Rachmawati Ash

Bibirnya gemetar memandangi wajah kematian
Seluruh sudut tak terhindar dari pandangan
Rasa iba pada kekasih yang berpulang
Lantah dalam kabut dan doa bersamaan

Sepasang mata itu nanar
Seolah menangkap pengertian dari Tuhan
Sekilas rahasia
Spesial dikirim untuknya

Ini adalah detik yang serasa seabad
Perpisahan yang mengerikan
Kematian yang membawa seluruh kenangan
Pergi jauh dan tak kan terulang

Menggigil seperti daun kering di musim kemarau
Meneguk getir racun tanpa ampun
Bersenandung akan pahitnya empedu
Saat mata mendapati kekasih di tangan maut

Hati dan air mata penuh harapan
Tentang sebuah ladang pertemuan
Tempat menuai cinta kasih yang tertanam


Takdir kematian seolah berkata
Jangan pernah menghitung musim
Akan terasa perih dan menyakitkan
Kasih, minta pada Tuhan izin untuk satu pelukan

Jiwa yang tenang
Teduh dalam rengkuhan
Pulanglah sayang
Semoga akan abadi dalam perjumpaan

**

Kencan

Di ujung bentang hari
Langit kehilangan warna biru
Kuterima pesan untuk berkencan
Kusembunyikan senyum tersipu

Setengah gila aku disergap bimbang
Kesetiaan membuatku terpenjara
Seperti angin topan membelah malam
Tawaran yang bededah

Kencan ini adalah ilusi
Godaan picisan yang membuatku lupa
Pengkhianatan yang tak sebanding
Dari cintaku padamu

aku rela menolaknya
Aku adalah manusia setia
Aku adalah kekasihmu
Aku adalah belahan jiwamu


Sakit Hati
Bodohnya aku mencintaimu
Yang tak sungguh-sungguh menerimaku
Jauh aku telah tenggelam
Ke dasar buaian kasmaran

Cinta berubah dendam
Mampukah memori melupakan kenangan
Saling buang muka
Sama-sama diam

Sakit hatiku saat curiga menjadi nyata
Coba katakan padaku
Apakah dusta ini sengaja
Cukup sudah kau buat aku tak berdaya

Pasti suatu saat nanti
Sakit hati ini akan kau alami
Pedih dan luka yang kau beri
Biarlah sembuh tanpa rasa benci

(Minggu, 5Agustus2019)

**

Rindu adalah Temanku
Sepertinya aku sudah terbiasa
Menikmati dan bersentuhan dengan bayang-bayang
Hingga waktu tak mampu kubagi lagi
Habis sudah untuk menjemput wajahmu

Seperti tanah gersang
Yang merindukan kabar turunnya hujan
Seperti batu karang dihempas jutaan ombak
Tetap tegap tanpa mengalami kesakitan

Malam-malamku habis bersama rindu
Siangku enyah dirampas rasa lapar pertemuan
Jangan pernah kau tanya, untuk apa?
Rindu adalah temanku

Teman meramu lembaran-lembaran tak tersampaikan
Menahan risau tak berkesudahan
Memahami bahwa cinta dan keinginan tak jauh berbeda
Seperti lengkung tipis pemisah laut dengan senja yang rona
22.06.2019

**

SEMBUNYI
Isyarat terhimpun diam
Enggan dan haram memecah kata
Bagai angin dipukul-pukul jemari
Tak berwujud namun gemuruh

Lembut cahaya kamar
Wanginya membawa kecanduan
Aku menyebutmu bunga sedap malam
Sampai kita terseret dalam perbedaan

Kita tahan seribu kata
Kita telan seribu makna
Kita memang berbeda
atau memang memilih berbeda?


Hingga malam berhias ranun bulan temaram
Setiap hariku adalah nyanyian
Rindu mengulum wajahmu
Haus akan cumbu parfummu
Jiwaku terhisap oleh nyala matamu

Bolehkah aku berharap?
Tentang pertemuan-pertemuan indah
Yang mengurai gumpalan-gumpalan masalah

Atau secarik kisah sore ini
Yang harus kuceritakan padamu
(Minggu, 30Juni2019)

**
Bertepuk Sebelah Tangan

Tempat tidur sekaligus tempat menulisku
Kurangkai surat untukmu yang bernama Zenit
Begitu sepenuh hati
Sama penuhnya otakku dengan namamu

Zen,
Ingin kukatakan aku menyukaimu
Selalu kupersiapkan kata-kata manis mengharu biru
Berandai-andai kau mendatangiku
Membawaku dengan degup tak menentu

Zen,
Lama aku mengagumimu
Dalam diam aku cemburu
Tak rela gadis lain meminjam mata indahmu

Zen,
Namamu selalu kusebut dalam doaku
Bersepakat dengan Tuhan tentang harapanku
Sungguh aku tak pernah menyesal
Saat tak sengaja cintaku sebatas bayang-bayang

Zen,
Aku masih setia menunggu jawabmu
Aku sanggup melawan ego berharap tentangmu
Seperti senja yang sebentar berlalu
Sembunyi dalam malam yang abu-abu

Zen,
Kenapa tak ada sedikit tempat untukku
Harusnya kau tak terlalu baik padaku
Tidakkah engkau merasa kasihan
Aku yang menyukaimu, sendirian dan tak terbalaskan
(Sint Louis,Juli 2003. Teruntuk Daniel Zenit kelas 3IPA1)

Aku dan Langit Senja

Aku dan langit senja
Kami adalah sama
Menunggu jatuh dan gugurnya masa
Pada lengkung batas perpisahan

Aku dan langit senja
Sama-sama menunggu di daun jendela
Menyingkap tirai pembatas akhir erita
Mengetuk-ngetuk rindu berharap nyata

Aku dan langit senja
Dua kembar yang belajar bersama
Arti datang dan kehilangan
Bahwa gelap bukan bermakna derita
(27 Juli 2019

**

Sandiwara
Bibir pemikat
Ke manakah gerangan kau akan membawaku
Pijakan ini terasa sungguh tak rata
Penuh duri begitu pun berliku

Jiwa-jiwa remuk
Ulah teror di balik senyummu
Tunggu sebentar,
Aku letih..redam

Aku tak paham apa tujuanmu jahat
Dengarkan aku
Duhai ruh yang memikat
Bosanlah engkau dengan kepura-puraan

Pandang aku sejenak
Biar kulihat rahasia di dalam matamu
Sungai-sungai kebahagiaan
Atau kebohongan serupa hantu

Wahai bibir pemikat
Serasi dengan mata tipu muslihat
Memang engkau pemerdaya
Menyeret ratusan nyawa sekali ciuman saja

(01.08.2019)

**
Diantara Kalian

Awalnya hanya bercanda
Siapa sangka aku benar-benar jatuh cinta
Pada kekasih teman lama
Aku terjerat cinta buta
Bersikeras memilikinya
Pacar impian milik teman
aku sangat menginginkannya
aku sadar ada diantara kalian

aku pun tak mengerti kenapa terjadi
bukan aku tak tahu diri
tapi hati tak dapat dibohongi

cinta,
tak mengenal ruang mau pun teman
cinta,
siapa yang mampu menolak kedatangannya

salahkan saja dewi cupit
dia penyebab mata ini terpukau tak berkedip
saat senyum terpaut di bibirnya yang manis
membuatku candu dan terhipnotis

biar saja salah,
siapa peduli,
aku diantara kalian,
aku tidak menyesal

Senin, Awal Agustus 2019

**

GULA
Kubayangkan kau adalah gula
Yang tak pernah habis berapakali kuhisap
Bibirmu dengan gumam yang riang
Tak pernah membuatku bosan

Bulan, Bintang, bunga mereka sepa
Dibanding dirimu yang gula
Seperti hujan ditabur di akhir kemarau jumawa
Selalu berkelebat membuat fokus setiap mata

Dirimu adalah gula
Melukis leher jenjang yang terbuka
Betis langsing berwarna duku
Membuat setiap darah mendadak beku


Meski malam kusam dalam kegelapan
Justru Memintaku memilih tersesat
Terjerat dalam manis yang lekat
Wanita setia yang membuatku terpikat

Sajak Buku Harian
Ojek cinta,
Aku menyebutmu begitu
Kemudian ada kesepakatan yang kita janjikan
Tentang transaksi pembayaran
Bukan lima ribu atau sepuluh ribu

Tapi dengan senyumku
Saat menemuimu di muka pintu
Tidak rewel dan tidak cengeng

Kubuka buku harianku,
Ada cerita di Sampangan,
Saat di Trafficklight pertigaan
Menunggu lampu merah dan hijau bergantian

Kau mainkan kaca spion
Hanya untuk menggodaku,
Mencuri wajahku,
Yang terpapar sinar matahari
Mengelus lututku,
Hingga pipiku merona-rona saat tersipu

Sampangan, Oktober 2019

**
Malam Pertama pada Purnama ke 38
Ini malam pertama kita
Berpeluh payah hampir saja menyerah
Kulihat ada haru
Yang basah di ujung matamu

Wajahmu pucat namun masih jingga
Bermandikan cahaya purnama
Bermesraan dengan angin yang sepoi-sepoi
Disapu hangatnya cinta yang mempesona

Wangi dupa bergumul di udara malam
Bersama lima puluh tiga jiwa yang membara
Didampingi malaikat-malaikat baik hati
Engkau turun menyapu
Menyentuhku dengan seluruh rasa

Ini malam pertama kita
Akan datang malam kedua,
Ketiga dan seribu malam-malam berikutnya
Sampai lahir anak-anak buah cinta

Brebes. 15.10.2019. pkl.21.45-22.50wib

**

Daun Salam
Aku hanya selembar daun kering,
Masuk dalam panci cerita usang,
Bersama asap wewangian
Mengepul memenuhi langit-langit ruangan
Bahkan menyerbu setiap dinding yang hanya diam

Diracik dengan menawan
Dibolak-balik agar harum menggairahkan
Lalu,
Dengan ikhlas aku kalian buang,
Sebelum tersaji di meja makan

Daun salam,
Hanya sebatas penyedap yang wajib digunakan
Daun salam,
Dilempar ke keranjang
Bersamaan riuh nikmat makan malam
Ah, dasar cerita usang
14.06.209

**

Rindu memang Tak Tahu Malu
Kau tampak seperti setangkai lili
Merunduk di hamparan rumput hijau
Karena desiran angin yang terkadang usil
Sama usilnya dengan kerinduanmu

Kau tampak seperti daun-daun jambu
Menguning dan jatuh di halaman rumahmu
Dikelilingi detak jantung dan nadi
Yang entah milik siapa

Kau ingin bercerita,
Tentang selembar rindu,
Tapi, lagi-lagi milik siapa
Bukan dia tidak peduli tentang rindumu

Tapi kelemahanmu,
Menuntunmu seperti bintang-bintang
Hanya mampu memandang rembulan
Mustahil berdekatan dan berpelukan

Bukankah lebih baik kau cukup merindu?
Meski cengkeramannya seperti belenggu,
Sampai mengeras dan membatu
Kemudian urung kau sampaikan perasaanmu

Meskipun,
Semakin kau mengingkarinya
Rindu semakin tak tahu malu,
Menyerangmu seperti ribuan anak panah
Di peperangan Mahabharata
#Cinta Tanpa kata#Pendopo, 18.06.2019

**

Tanpa Rupa
Bagaimana akan kuberi nasihat,
Engkau sedang jatuh cinta
Bagaimana akan kuajak membahas,
Engkau sedang patah hati

Jatuh cinta dan patah hati,
Keduanya membuatmu lupa,
Sama-sama membawamu menolak logika
Mencerai berai nalar dan pemikiran

Terkadang, meluapkan ribuan pelangi
Atau, mengayun-ayunkan setiap obsesi
Menimbulkan komposisi warna berulang-ulang
Menciptakan begit banyak getarang

Engkau lupa,
Engkau penasaran,
Engkau gila,
Dan..Engkau Kesurupan
(Jumat. 26Juli2019)

**

Bunga Penyesalan
Dengan langka malu pri itu datang padaku
Jari jemarinya menyusur peluh wajah mudanya
Seraya membayangkan hati yang bersitahan
Hati yang tak patuh pada realita

Kugeser buku sastra
Mataku menangkap bibirnya yang menyala
Mata yang bersalah
Wajah penuh penyesalan

Sama-sama terhuyung
Mempercepat langkah menuju pertemuan
Senyummnya beralasan
Aku menerimanya

Seikat bunga merah tua dalam dekapan
Matanya tiba-tiba nanar
Engkau masih ingat kesukaan ibumu
Mungkin hanya itu yang lekat dalam benakmu

Bukan soal-soal
Bukan juga nasihat dan hukuman
Oh, kau menyogok ibu?
Bukan, tentu saja bukan

Pri muda itu menurunkan senyum
Mengulas kisah kesuksesannya
(Buaianku. Alumni. Kamis, 11.07.2019)
Menatap
Legit senyummu menyambut
Diantara siluet langit sore yang menguning
Bergelayut menurunkan hati penuh rindu
Melukis kisah ramai setelah terhening

Izinkan aku menatapmu
Dengan dada yang bergemuruh
Seperti kaki yang gemetar menuruni mesin gerbong kereta api
Aku terbakar menikmati kerinduan tak bertepi

Pujaan hatiku,
Bunga yang tak pernah layu
Aku menatapmu dengan mata yang gusar
Merengkuh kasih dalam pertemuan
(Kamis, 08.08.2019)

Tentang Penulis
Asih Rachmawati yang lebih dikenal dengan nama Pena Rachmawati Ash lahir di Semarang. Memiliki hobi menanam dan mengoleksi macam-macam bunga di rumahnya, selain itu juga senang mengoleksi cangkir dengan berbagai bentuk dan motif.
Rachmawati Ash, senang membacakan dongeng untuk anak-anak

Leave a Reply