Zona Nyaman (Bagian 1)

Zona Nyaman (Bagian 1)

Zona Nyaman (Bagian 1)

“Kenapa tidak coba menulis lagi? Kamu bisa ….”

Sebuah tepukan hangat membuyarkan lamunan Yuan. Laki-laki itu menoleh, tersenyum sebentar lalu mempersilakan orang yang sejak tadi ditunggunya untuk duduk. Tidak ada yang istimewa setelahnya. Yuan hanya terus mengatakan visi misi perusahaan dan juga tujuan kerjasama yang sudah dihafalnya di luar kepala.

Selepas janji temu dan ramah tamah sekadarnya, Yuan berjalan menyusuri deretan pertokoan. Langkahnya gontai. Laki-laki itu hanya diam, tapi isi kepalanya begitu riuh. Begitu banyak yang dipikirkan. Mulai dari hal remeh temeh seperti uang sewa yang belum dibayar, utang seorang teman yang tidak tega ia tagih sampai hal-hal berat seperti keinginan berhenti bekerja dan melakukan apa yang ia suka.

Langkah Yuan terhenti di depan sebuah toko bunga. Sepasang matanya tertuju pada deretan mawar berwarna putih yang saat itu sedang ada diskon separuh harga. Yuan menggigit bibirnya, masih menimbang antara membeli mawar itu atau tidak.

“Mbak, beri aku satu ikat mawar putih.”
Yuan akhirnya memutuskan untuk masuk dan membeli.

Sesampainya di rumah, Yuan mengempaskan tubuh ke atas sofa. Diperhatikannya bunga mawar yang kini tergeletak di atas meja. Napas laki-laki itu tiba-tiba memburu. Sepasang tangannya terangkat, mengacak-acak rambut hingga berantakan.

Setelah puas bertarung dengan kata hati, Yuan bangkit. Diambilnya bunga mawar itu, lalu memasukkan ke dalam tempat sampah.

“Sial!”

Yuan adalah pemuda yang cerdas. Ia menjadi idola banyak orang semasa di bangku sekolah maupun saat kuliah. Namun, semua itu hanyalah kesenangan semu yang akhirnya akan hilang ditelan waktu. Tidak! Sesungguhnya Yuan tidak pernah berharap atau menginginkan semua itu. Tidak pernah, dan tidak akan pernah.

Sebuah dering telepon membuyarkan lamunan. Sebuah suara merdu di seberang membuat suara Yuan yang tadinya bersikap acuh tak acuh berubah menjadi sangat sopan. Yuan hanya mengatakan beberapa patah kata, sebelum akhirnya metutup panggilan itu sambil membanting ponsel ke atas ranjang.

“Sialan!!!”

Yuan melancarkan makian berkali-kali. Telepon dari sang bos yang baru saja diterimanya, membuat ia kesal. Target penjualan, promosi, utang perusahaan, rencana produk baru dan semua tetek bengeknya benar-benar membuat lelah. Jika bisa memilih, barangkali ia akan memilih untuk melepaskan pekerjaan itu. Ya, andai saja ia bisa.

Sambil melepaskan dasi, dipandanginya sebuah foto berbingkai kerang laut. Dalam foto itu, dirinya sedang tersenyum manis bersama seorang gadis berambut panjang. Gadis yang sejujurnya … sangat dirindukan Yuan.

“Boleh aku bertanya?”

“Hu um.”

“Kenapa kamu memilih jadi pegawai kantoran?”

“Hmmm?”

“Kenapa kamu tidak coba menulis lagi? Kamu bisa ….”

“Tidak!”

“Kenapa?”

“Aku tidak bisa melakukannya.”

“Tapi ….”

“Cukup! Jangan membahasnya lagi ….”

Mata Yuan berkaca-kaca. Dengan alasan apa pun, potongan-potongan kejadian masa lalu yang terkadang berkelebat di kepala membuat Yuan frustrasi. Potongan-potongan itu seolah-olah menjelma menjadi pecahan-pecahan kaca yang berhamburan dan menusuk dadanya.

Yuan sangat benci menjadi begitu sensitif, tapi dia selalu tidak berkutik tiap kali alam bawah sadarnya mengajak bercanda. Mengaduk-aduk perasaan dan menggodanya dengan kenangan.

Sekali lagi ditatapnya foto itu. Ada gemuruh yang begitu hebat. Jika tidak kuat menahan, barangkali dadanya sudah hancur sejak lama. Begitu banyak yang ingin diungkapkan Yuan. Namun, sepertinya takdir tidak memberinya kesempatan, selain memendamnya sendiri dan terus bersikap bahwa semuanya baik-baik saja.

Yuan mengalihkan pandangan lalu pergi ke kamar mandi. Dibasuhnya kepala hingga kaki, berharap tidak ada lagi suara-suara aneh yang mengganggunya.

***

Seorang gadis duduk sambil bertopang dagu. Kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama lagu yang sedang didengarkan. Sesekali matanya terpejam, ikut merasakan emosi dalam lagu itu.

Tiba-tiba seorang teman mengajaknya ke kantin. Gadis itu tersenyum manis, lalu menggeleng. Hari ini cuaca sangat cerah, tapi gadis itu tidak ingin melakukan apa-apa selain duduk sambil mendengarkan lagu yang direkam oleh seseorang.

Ingatannya terbang ke empat tahun silam di tanggal yang sama. Hari itu sangat membekas, bahkan meski sudah bertahun-tahun terlewati. Terkadang manusia tidak ingin melupakan sesuatu yang begitu berkesan baginya, meski itu hal-hal sepele yang mudah dilakukan.

“Aku tadi membaca tulisanmu yang dipajang di majalah dinding.”

Hening
Lawan bicara di sampingnya sama sekali tidak mempunyai gairah untuk sekadar mengucapkan terima kasih.”

“Aku benar-benar kagum. Aku tidak menyangka kamu begitu berbakat. Kamu ….”

Belum sempat ia menyelesaikan ucapan, sosok di sampingnya tiba-tiba bangkit, lalu melangkah pergi tanpa mengucapkan kata-kata.

Gadis itu menghela napas berat. Hingga kini ia masih tidak mengerti, apa sebenarnya yang membuat orang yang diam-diam sangat dikaguminya itu tidak memilih jalan yang sangat disukainya. Barangkali memang tidak semua orang mempunyai pilihan. Beberapa orang diciptakan untuk menjalani apa yang harus mereka jalani tanpa diberi kesempatan memilih. Laki-laki itu contohnya.

Gadis itu tersadar dari lamunan. Iabangkit dari duduk dan berjalan pelan menuju rak buku. Diambilnya sebuah buku bersampul lukisan bunga mawar putih, bunga kesukaannya.

Terdengar sebuah gembok kecil terbuka. Buku itu menguarkan aroma yang khas saat lembaran-lembarannya dibuka. Tangan gadis itu terhenti di tengah-tengah halaman. Dipandanginya bunga mawar kering yang kini berwarna kecokelatan. Tanpa sadar air matanya menetes. Begitu banyak gemuruh yang memenuhi dada tiap kali membuka buku itu. Gemuruh yang kian lama semakin menjadi-jadi dan tidak terkendali. Andai saja dia berani mengatakannya, andai saja waktu dapat diputar, andai saja orang yang dikaguminya itu memberikan sedikit saja alasan padanya, barangkali gadis itu kini tidak akan sesedih ini. Mungkin.

Tidak lama terdengar suara langkah kaki mendekat, gadis itu bergegas menghapus air matanya. Pintu kamar asrama terbuka tepat setelah gadis itu menyelipkan bukunya ke bawah bantal. Kedua temannya masuk membawa selembar poster tentang lomba menulis yang berhadiah beasiswa S2. Gadis itu tercenung, bergeming untuk waktu yang lama.

“Mahla, are you okay?”

***

Yuan menghapus air mata yang tiba-tiba membasahi pipinya. Laki-laki itu selalu tudak bisa menahan perasaannya tiap kali mendapat telepon dari orang tuanya.

“Ayah apa kabar, Bu?”

“Masih sama seperti dulu. Ibu mulai cemas. Bagaimana jika ayahmu tidak pernah bangun lagi?”

“Ibu, tolong, jangan bicara seperti itu lagi. Aku pasti mengusahakan yang terbaik untuk Ayah.”

“Terima kasih, Nak.”

Hening. Saat itulah sepasang bulir bening tiba-tiba jatuh, bulir yang berisi beban dan tekanan batin. Bulir yang selalu menjadi pilihan terakhir saat tidak mampu lagi berkata-kata.

“Nak ….”

“Ya, Bu?”

“Kamu tidak menulis lagi, kan?”

Yuan terdiam di ujung telepon, tidak tahu harus menjawab apa.

“Jangan sampai Ayah melihatmu menulis lagi. Jangan sampai, Nak. Ibu benar-benar tidak ingin melihatmu diusir lagi seperti dulu.”

Air mata Yuan semakin deras. Laki-laki itu berusaha keras menahan gejolak di dadanya, memaksa kemelut yang terus mengganggu pikirannya untuk tetap terlihat baik-baik saja.

“Baik, Bu. Aku mengerti.”

Panggilan ditutup dengan nasihat Ibu yang sudah dihafalnya. Nasihat itu selalu sama tiap kali wanita yang melahirkannya itu melakukan panggilan sejak tiga tahun lalu.

Yuan melangkah gontai. Ia mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang, memejamkan mata, berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini adalah yang terbaik yang bisa ia lakukan demi kedua orang tuanya.

Seketika Yuan bangkit dari ranjang, teringat janji temu dengan seorang sponsor acara amal yang akan diadakan perusahaannya. Ia mengganti kausnya dengan piyama. Menyisir rambut lalu meraih laptopnya di atas meja. Gerakan tangannya terhenti saat sebuah email berkedip-kedip di ujung atas layar laptop.

Yuan mengabaikan email itu saat ekor matanya menangkap jam yang sudah lewat dari jadwal.

“Mampus!”

Diraihnya laptop itu dan memasukkannya ke dalam tas. Yuan keluar rumah kontrakan, berjalan tergesa menuju halte bus.

Di antara bangku penumpang, Yuan terus kepikiran email yang baru saja diterimanya. Nama emailnya terasa tidak asing baginya. Terlebih ia sempat menangkap inisial WR di belakang nama email yang sebelumnya didominasi angka.

“Jangan-jangan ….”

Yuan terlonjak dari lamunan. Sebuah nada dering ponsel milik orang di sampingnya menarik perhatian. Nada panggilan itu membuatnya gelisah. Yuan memejamkan mata sambil memijat kening yang tiba-tiba terasa berdengung hebat.

Laki-laki itu menundukkan kepala, mengutuk migrain menyebalkan yang belakangan ini semakin sering mengajaknya bercanda.

“Kumohon, jangan sekarang.”

Yuan meracau sambil terus memegangi kepalanya.

“Maaf, Anda baik-baik saja?”

***

Gadis yang kesehariannya akrab disapa Mahla itu menggeleng saat beberapa teman mengkhawatirkan keadaannya. Gadis itu menatap layar laptop dengan perasaan gelisah. Pandangannya terfokus pada kotak masuk emailnya yang tidak kunjung berkedip.

Mahla mendengkus kesal. Ia kembali teringat dengan kejadian di masa lalu.

“Kalau kamu harus memilih, kamu akan memilih aku atau Zu?”

“Tidak ada.”

“Lo, kenapa?”

“Kalian berdua temanku. Aku tidak bisa memilih salah satu dan meninggalkan yang lainnya.”

“Jadi … kamu tidak punya perasaan apa-apa padaku?”

“Hah?”

Mahla menggebrak meja. Teman-teman sekamarnya yang sibuk dengan urusan masing-masing, terlihat menatap dirinya dengan pandangan menyelidik. Mahla memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan, berharap semua baik-baik saja.

Dengan perasaan dongkol ditutupnya layar laptop itu, berharap rasa penasarannya bisa hilang. Sungguh, menunggu adalah pekerjaan paling melelahkan yang pernah dialaminya. Gadis itu melangkah mendekati jendela, sibuk berdialog dengan pikirannya sendiri.

“Sebenarnya apa yang salah dengan menjadi penulis? Toh dia sangat berbakat.”

Tiba-tiba Mahla teringat sebuah potongan masa lalu waktu dirinya bermain ke rumah laki-laki yang selalu membuatnya salah paham itu. Di sana ia tanpa sengaja menangkap pembicaraan, bahwa ada kesan panas dan marah. Mahla tidak tahu persis apa yang menjadikan anak dan ayah bisa saling berbalas umpatan dengan nada-nada tinggi. Yang ia tahu, bahwa ayah laki-laki yang semula dikiranya sangat manja itu, selalu menentang atau memberikan pandangan tidak suka tiap kali melihat hasil tulisan yang disodorkan kepadanya.

“Mungkinkah karena sebab ini ia berhenti menulis?”

 

Bersambung ….

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply