Zaki

Zaki

Judul : Zaki
Oleh : Siti Nuraliah

“Setelah saya perhatikan selama dua minggu ini, sebaiknya Zaki sekolah di SLB, ya, Bu!”

“Maksud Ibu, SLB, Sekolah Luar Biasa, itu?”

“Iya, dengan berat hati, saya harus katakan kalau Zaki memang anak yang perlu perhatian lebih dan berkebutuhan khusus.”

Percakapan dengan kepala sekolah PAUD di ruangan itu, masih terngiang di telingaku. Zaki memang anak yang super aktif, usianya hampir enam tahun. Ia juga memang anak yang lambat bicara, sedikit susah diarahkan dan sering tantrum jika kemauannya ditolak. Namun, saat ibu kepala sekolah itu menyebut Zaki sebagai anak yang berkebutuhan khusus, hatiku tetap saja teriris.

Sebagai guru honorer, aku memutuskan untuk resign demi untuk fokus kepada Zaki. Sejak pandemi dan sekolah-sekolah dirumahkan, Zaki jadi tidak sering ke luar rumah. Aku lebih senang ia menaburkan berkeranjang-keranjang mainannya dan mengacak-acak sampai penuh seisi rumah, sebab ia cepat sekali bosan. Pernah berkali-kali, Zaki tidak diajak main oleh teman-teman seusianya. Alasannya, Zaki sering mencelakai mereka, mendorong, atau memukul. Itu pula yang menjadi sebab tidak ada yang mau berteman dengannya.

Zaki harus tetap dalam pengawasan. Sebab, lengah sedikit, ia akan hilang dan berlari-larian dengan cepat. Ada kalanya aku capek oleh tingkah Zaki, kadang-kadang aku juga hilang kesabaran. Belum lagi, omongan-omongan tetangga tentang Zaki yang kesulitan bicara. Ada saja yang menyebutnya gagu dan tidak normal, membuat tubuhku yang gembil menjadi menyusut beberapa kilo. Padahal ia bisa mengucapkan beberapa kata dengan fasih. Ia bisa mengucapkan kata ayah, bunda, nenek, dan kakek dengan jelas.

Di luar kekurangannya itu, Zaki anak yang cerdas. Ia anak yang peka. Waktu itu, pernah aku menangis karena terlalu capek dan sedikit meriang, sedangkan suamiku belum pulang kerja, meski sudah WFH, ada beberapa pekerjaannya yang mesti dikirim melalui server di kantornya. Rumah berantakan, Zaki berkali-kali kabur, lari ke luar pagar dan susah diatur. Kadang-kadang yang membuat hati terasa sesak, saudara-saudaraku tidak ada yang mau kutitipi Zaki walau sebentar. Zaki memelukku dan meminta maaf. Ia juga mengambilkan tisu untuk mengusap mataku.

“Bunda, ngan angis agi, ya. Ma … af!” ucapnya.

Yang seharusnya lebih sering meminta maaf adalah aku. Bila kesabaranku sedang tipis, aku mengunci Zaki di dalam kamar, sampai meraung-raung menangis. Sementara aku bisa leluasa mengerjakan pekerjaan rumah. Seperti saat waktu kemarin, tumpahan susu, beserta gelas yang dibuang sembarang olehnya setelah isinya tandas, rak piring yang posisinya sudah roboh, untungnya tidak ada gelas dan piring dari beling. Aku sengaja menyimpan barang-barang pecah di lemari kayu yang tinggi yang tidak bisa dijangkau oleh Zaki. Lantai yang banjir dari keran kamar mandi yang diputar dan membasahi seluruh ruangan dapur, waktu itu aku sedang menyetrika baju, Zaki bergerak seperti hanya dengan hitungan detik.

Namun, setelah Zaki memejamkan mata, aku sering menangis diam-diam memandangi wajahnya. Dadanya naik turun secara teratur tandanya ia sudah relax namun belum pulas. Kuelus pipinya yang halus. Kubisikkan kalimat-kalimat yang baik, sebagai sugesti, dunia medis menyebutnya sebagai Hypnoparenting. Karena pada saat itu, otak anak sedang berada pada gelombang alpha dan teta. Ia akan mampu merekam ucapan kita di alam bawah sadarnya.

Suatu pagi, saat pertama kali Zaki tahu bahwa ia akan masuk sekolah PAUD, wajahnya berseri-seri. Kedua tangannya diangkat-angkat. Ia bersorak sangat gembira. Aku dan suami saling melempar senyum, namun aku tahu di antara kami saling menyimpan perasaan cemas. Kami sengaja tidak memasukkan Zaki sejak tahun lalu, selain kebijakan pemerintah untuk anak yang hendak masuk SD adalah di atas enam tahun, aku juga belum leluasa sebab Zaki yang masih sangat susah berucap pada saat itu. Biarlah aku sendiri yang menjadi guru pertama baginya.

Beruntung, saat aku masih mengajar, kebijakan sekolah tidak melarang guru yang mempunyai anak kecil untuk turut dibawa saat mengajar. Bagiku, ada untung ruginya. Aku bisa membawa Zaki dan aku harus kerepotan mengajar sambil kejar-kejaran dengannya. Aku bukan tidak bisa membayar orang untuk mengasuh Zaki, ‘toh hanya setengah hari, sampai jam mengajarku selesai, tapi karena tidak ada orang yang mau dan aku percayai. Terkadang, aku saja sebagai ibunya ada perasaan capek dan kesal, apalagi orang lain.

Tadi pagi, aku sedang memasak nasi goreng. Suamiku sibuk dengan pekerjaannya yang dibawa ke rumah. Biasanya, bila ada ayahnya ia akan anteng bermain gadget sambil tiduran di samping tumpukkan kertas-kertas. Namun ternyata pintu depan tidak dikunci, Zaki bosan menonton video, ia lari keluar melewati pagar. Dan bersamaan dengan itu sebuah motor melaju sangat kencang di gang depan. Zaki terpental, darah segar merembes keluar dari rambutnya yang tipis.(*)

Banjarsari, 20 September 2020

Siti Nuraliah. Perempuan sederhana, kadang suka menulis kadang suka membaca.

Editor : Uzwah Anna

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply