Yati

Yati

 

Oleh: Elly ND

 

Naik pesawat merupakan salah satu impian Yati. Dan impian itu sebentar lagi akan terwujud. Pak Dien, bapaknya Yati, baru saja mendaftarkan keluarga mereka untuk menjadi salah satu penerima program transmigrasi dari pemerintah.

 

Pulau Kalimantan menjadi daerah tujuan mereka. Mereka meninggalkan sebagian keluarga besar di tanah Jawa, dengan harapan ada kehidupan yang lebih baik di tanah rantau.

 

Segala persiapan sebagai bekal untuk di perjalanan dan di daerah rantau nanti telah selesai. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu Yati dan keluarga. Setelah sarapan dan berpamitan dengan sanak keluarga, mereka berkumpul di balai desa. Di depan balai desa pun telah berjejer beberapa bus. Bus itulah yang akan mengantarkan mereka ke bandara di kota tetangga. Sebelum tengah hari, mereka berangkat bersama rombongan dari desa lain.

 

Di sepanjang jalan, terlihat jajaran pohon yang menghijau. Hamparan sawah di kaki bukit pun turut mewarnai. Membuat Yati yang saat itu berusia enam tahun dan belum pernah melakukan perjalanan jauh, terkagum-kagum. Begitu pun anak-anak yang sebaya dengannya, tampak sangat antusias menikmati perjalanan tersebut. 

 

Di dalam bus yang melaju, anak-anak seusia  Yati tidak berhenti berceloteh. Mereka saling berebut menunjukkan hal yang menarik menurut mereka.

 

“Bu, itu yang jauh di sana, kayak segitiga itu, apa?” tanya Yati pada sang ibu.

 

“Itu gunung, Nak.”

 

Yati terus bertanya tentang apa saja yang menurutnya asing. Sampai akhirnya, ia merasa lelah. Yati dan beberapa anak lainnya pun mengantuk dan tertidur. 

 

Beberapa jam kemudian, bus rombongan Yati dan keluarganya telah tiba di bandara. Perjalanan pun dilanjutkan menggunakan pesawat. Yati sangat senang. Salah satu impiannya benar-benar menjadi nyata. 

 

Hari sudah malam saat mereka tiba di bandara tujuan. Pak Burhan yang bertugas sebagai ketua rombongan memberi pengumuman setelah semua rombongan berkumpul.

 

“Bapak-bapak dan Ibu-ibu semua, berhubung sekarang sudah gelap, jadi malam ini kita menginap di penginapan dulu. Besok pagi sekitar jam delapan, kita baru bisa melanjutkan perjalanan.”

***

Keesokan harinya, setelah sarapan, semua rombongan kembali naik bus. Kali ini mereka berhenti di dermaga. Setibanya di dermaga, tampak beberapa kapal kayu tengah bersandar. Perjalanan pun kembali dilanjutkan.

 

Mereka semua harus menempuh perjalanan air selama empat jam untuk tiba di desa yang menjadi tujuan keluarga Pak Dien dan rombongan.

 

Tiba di desa transmigrasi, Pak Dien dan keluarga disuguhi pemandangan hijaunya hutan Kalimantan. Pohon-pohon tinggi berdaun lebat dan berdiameter besar, tampak berjejer di sepanjang jalan desa. Rumah-rumah yang panggung terbuat dari kayu, berdiri saling berjauhan. Di antara rumah-rumah itu, terdapat lahan kosong yang mulai ditumbuhi ilalang dan rumput.

 

“Alhamdulillah, akhirnya kita sampai ya, Bu,” kata Bapak Yati.

 

“Iya, Pak.”

 

***

 

Beberapa tahun sudah berlalu, semenjak Pak Dien dan keluarga menempati rumah di desa transmigrasi. Yati pun tumbuh menjadi remaja yang ceria dan banyak teman. Saat ini ia yang duduk di kelas enam SD sedang menunggu untuk Ebtanas.

 

Suatu malam, tanpa sengaja ia yang terbangun karena kehausan mendengar percakapan kedua orangtuanya di ruang tengah.

 

“Pak, gimana sekarang kita, Pak? Kalau keadaannya terus begini, bisa-bisa beberapa bulan lagi kita nggak bisa makan,” ucap ibunya memulai percakapan.

 

“Ya, mau gimana lagi, Bu. Musim paceklik ini. Mana padi untuk persediaan kita makan tinggal sedikit lagi.”

 

Yati yang akan mengambil air minum, urung keluar dari kamar. Ia kembali merapatkan selimut dan menyimak pembicaraan orangtuanya.

 

“Padi yang kita tanam kira-kira bakal bisa dipanen nggak ya, Pak?” Ragu-ragu, ibunya bertanya.

 

“Mudah-mudahan bisa, Bu. Kita berdoa aja, ya.” 

 

Kemudian hening. Ibu beranjak ke kamar yang ditempati Yati dan merebahkan tubuh di sebelahnya.

 

Sejak itu, Yati yang mulai memahami kesulitan keluarganya, sedikit-sedikit membantu dengan bekerja di sawah sepulang sekolah. Ia membersihkan rerumputan yang memenuhi sela-sela tanaman dan singkong.

 

Dan benar saja, ketakutan ibunya malam itu terjawab. Padi yang beberapa bulan lalu ditanam rupanya gagal panen tahun ini. Penyebabnya karena musim kemarau berkepanjangan membuat tanah menjadi kering. Akibatnya, tanaman petani tidak ada yang tumbuh dengan baik.

 

“Yati, kamu kan perempuan, untuk apa juga sekolah tinggi-tinggi toh nantinya di rumah ngurus suami dan keluarga. Lebih baik berhenti aja ya, sekolahnya.”

 

Mendengar permintaan ibunya di pagi itu, Yati yang sedang membantu menyiapkan menu sarapan sontak terdiam. Ingin menjawab, tapi tidak berani membantah ucapan orangtua. Akhirnya ia pasrah, meskipun dalam hati merasa kesal. 

 

Meninggalkan rutinitas ke sekolah, Yati menjalani hari-harinya dengan membantu pekerjaan orangtuanya di sawah. Selain itu, ia juga memanen singkong-singkong yang telah siap panen. Mengolahnya menjadi tiwul atau olahan lainnya. Hal itu ia lakukan semata-mata agar keluarganya tetap bisa makan.[]

 

Kota Cantik, Agustus 2021

 

Elly ND, perempuan berzodiak scorpio yang saat ini sedang menikmati kesibukannya mengurus bayi baduta. 

 

Editor: Imas Hanifah N

Gambar: pixabay

 

Grup FB KCLK

Halaman FB kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply