Yang Tak Kau Ketahui

Yang Tak Kau Ketahui

Yang Tak Kau Ketahui
Nama : Alin Muzakky

“Kamu siapa?!” seruku dengan suara melengking sembari bergerak mundur. Mataku nyalang menatap sosok menakutkan di hadapanku ini. Bukan. Bukan tawa ganjilnya, ataupun seringai mengerikan yang membuat jantungku bertalu-talu dengan bulu kuduk berdiri bagai tersengat listrik, melainkan rupa wajah itu. Seraut wajah itu … serupa dengan wajahku.

“Kamu ingin tahu?”

Jeritanku menggema di ruang temaram antah-berantah yang sama sekali tak menjadi penghalang mataku melihat jelasnya seringai itu, yang berasal dari sosok lain, yang entah sejak kapan berada di balik punggungku. Sosok yang berwajah sama. Yang membedakan mereka adalah, sosok yang kedua ini menampilkan senyum riang yang aneh. Bukan senang yang kutangkap dari ekspresi itu, seperti … sebuah senyum yang dipaksakan terbit untuk mengatakan bahwa dia bahagia.

Mereka tertawa. Benar, mereka. Karena kini dari seluruh penjuru mata angin bermunculan sosok-sosok serupa. Yang membedakan antara satu sama lain hanya ekspresi mereka. Aku tersudut di tengah. Memejamkan mata erat-erat dengan dada berdegup kencang, berharap banyak semoga ini hanyalah mimpi. Dan dengan segera aku akan terbangun di kamar hampaku lagi.

Tawa itu … jenis tawa yang terdengar menyanyat hati.

“Sudah puas?” Kutangkupkan kedua belah tangan di wajah, berusaha tak melihat apa pun. Tetapi, percuma. Sebab meski mata terpejam, tertutup kedua belah tangan yang kutangkup erat-erat, pandanganku masih menembus itu semua. Dapat kulihat mereka semua semakin bergerak mendekat, dan kini mereka berdiri tak begitu jauh dari posisiku menekuk lutut. Kubenamkan kepala ke pangkuan. Namun tetap saja, pengelihatanku terhadap mereka sama sekali tak terhalang.

Aku mulai frustrasi. “Mau kalian apa? Katakan, dan segera pergi!”

Mereka merendahkan tubuh dengan satu kaki ditekuk. “Kami adalah kamu. Kami adalah bagian dari dirimu.”

Aku menjerit, menyangkal kata-kata mereka. “Tidak! Pergiii!”

Mereka semua menggeleng dengan ekspresi sama. “Kita diberi kesempatan untuk mengetahui kebenaran, sebelum pergi bersama-sama menuju cahaya … ataupun harus singgah dulu di ‘Perapian’.”

“Kurasa kita akan singgah di ‘Perapian’.”

“Sepertinya iya.”

Wajah dengan air mata di pipi yang tak kunjung mengering mendekatiku. “Ayo, kita lihat kebenarannya bersama-sama. Semoga dengan ini tak ada penyesalan untuk kembali.” Aku mendongak. Menatap wajah basah itu dengan hati sakit. Aku sering melihat wajah ini di serpihan cermin rias yang berserakan di lantai kamar. Sekali dua kali serpihan-serpihan itu menjadi eksekutor penghilang rasa sakitku.

Kuedarkan pandangan. Seluruh wajah dengan ekspresi yang berbeda-beda itu mengangguk secara serempak. Dan demi melihatku yang mengangguk pelan, masing-masing dari mereka bergerak pada satu tubuh. Menyatu.

***


Salah satu sisi dinding menampilkan sesosok berselendang hitam. Visual perempuan itu tidak tampak semacam pada layar televisi raksasa seperti yang kalian bayangkan. Melainkan merupa dalam bentuk hologram tiga dimensi.

“Perempuan ini, kan, yang membuatmu sering menyiksa diri sendiri?” kata sosok itu dengan suara yang mengandung berbagai nada kesedihan. Kupandang perempuan itu dengan sendu. Dia Nahla, sahabatku. Aku mengangguk pelan.

“Kamu selalu iri dengannya, bukan? Dengan segala apa yang dimilikinya.”

Itu benar. Aku selalu iri dengan wajah cantiknya. Yang dengan mudah mampu menarik perhatian semua orang. Termasuk Ridlo, laki-laki yang kucinta dengan segenap hati selama bertahun-tahun. Dan sialnya, Ridlo mencintai Nahla.

Hari itu, sejak awal perasaanku sudah kacau. Bahkan mungkin langit juga tahu betapa kemrungsung-nya hatiku, hingga mendung menggelayutinya. Lalu, laki-laki itu datang. Melamar Nahla tepat di depan mataku. Aku yang terkejut tak mampu berkata-kata. Hanya diam, dan berharap Nahla mengingat segala ceritaku tentang laki-laki itu.

Tetapi tangan Nahla bergerak mengambil cincin itu. Aku berjalan mundur. Tak percaya. Juga tak menyangka. Aku berlari menuju jalan raya, menaiki taksi yang kebetulan lewat dan pulang. Tidak. Aku tidak menangis. Hatiku kosong. Kebas oleh rasa sakit.

Aku hanya ingin tidur dan melupakan sejenak peristiwa tadi. Kuraih botol obat tidur, menuang isinya di telapak tangan. Aku tak sadar ada berapa banyak pil yang kuminum. Dan kemudian aku terbangun di tempat ini. Bukankah ini memang benar hanya mimpi?

“Tidak. Tidak. Kita tidak berada di alam mimpi, sayangnya. Baiklah, kita akan kembali pada hari itu. Hari di mana kamu mengekseskusi dirimu sendiri karena seluruh prasangka dalam hati yang mengaburkan akal sehatmu. Kita akan kembali pada hari itu.”

Mataku terpejam. Merasakan embusan angin yang terasa dingin ketika kami berpindah tempat. “Buka matamu.”

Dan di sana, dua manusia itu berdiri. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Ini memang hari itu. Dan di sana, aku telah berlari tanpa menoleh sedikit pun. Untuk apa? Hanya akan lebih menyakiti diri sendiri.

“Bukan aku yang berhak menerima cincin ini, Dlo. Tapi sahabatku, Salwa.” Perempuan itu berbalik dengan cincin di tangan. Dan hanya menemui angin kosong. Aku menutup mulut. Nahla masih mencariku di antara kerumunan.

“Siapa Salwa?”tanya Ridlo.

“Dia sahabatku, dan telah bertahun-tahun dia mencintaimu. Seharusnya dia yang berhak atas lamaran ini, Dlo. Bukan aku. Bahkan aku tak mengenalmu dengan baik.”

Aku masih menatap tak percaya pada apa yang kulihat saat ini. Benarkah hal ini?

“Kamu membohongiku. Tak mungkin ini yang terjadi,” kataku pada sosok tadi. Dia tersenyum miris.

“Memang inilah yang terjadi.”

Kami berpindah lagi. Kali ini kami berada dalam sebuah ruangan serba putih. Bukan. Bukan ruangan putih yang tadi. Kami berada dalam sebuah kamar di rumah sakit. Seketika aku menggeleng tak percaya.

“Ini mustahil. Mana mungkin Papa dan Mama mau berada dalam satu ruangan yang sama. Mereka berdua bahkan tak pernah berhenti bertengkar ketika bertemu!”

Sosok itu hanya mengedikkan bahu. Pandanganku kembali menyorot ke depan. Di atas ranjang itu, kulihat tubuhku terbaring tak berdaya. Aku tersenyum miris. Benar, bukan. Bahwa hanya dengan aku ‘pergi’, Papa dan Mama akan kembali bersama.

“Salwa, Mama dan Papa sudah kembali. Namun mengapa kamu yang pergi? Kami berjanji akan mendampingimu selamanya, tak pergi jauh lagi, tak bertengkar lagi. Kembali, ya, Nak.” Seketika aku menangis tergugu. Keinginan untuk “kembali” muncul. Kutatap sosok tadi.

“Bolehkah?”

“Entah. Tapi kita belum menyelesaikan perjalanan ini.”

Aku menghapus air mata dengan kasar. Apa lagi yang akan diperlihatkan kepadaku selanjutnya?

“Kamu tahu, siapa yang menemukanmu collapse pada hari itu?”

Kutatap lekat sosok itu. “Siapa?”

“Nahla.” Aku tercekat. Nahla … menyusulku?

“Ah, sepertinya kamu tak benar-benar mengetahui tentang perempuan yang kamu panggil sahabat itu. Mari kita lihat kehidupannya.”

Kami kemudian berpindah lagi. Kali ini kembali pada ruang putih tempat pertama kali aku bertemu sosok ini. Salah satu sisinya masih menampilkan visual Nahla. Sepertinya dia sedang menangis. Namun fokusku terpusat pada sisi yang lain dari ruangan ini. Yang menampilkan slide-slide kehidupan Nahla.

Ketika Nahla belajar keras hingga mimisan. “Kau tahu, dia belajar sangat keras untuk mempertahankan beasiswanya. Juga agar dapat terus mendampingimu.”

Slide berpindah. Kali ini menampilkan keluarga Nahla yang selama ini juga selalu membuatku iri. Tak pernah sekali pun keluargakh duduk bersama dalam satu meja seperti itu. Tak pernah sekali pun. Dan keluraga Nahla melakukannya setiap hari. Bagaimana aku tak iri dengan keharmonisan keluarga mereka?

“Kamu tidak tahu, kan, bahwa sebenarnya orangtua Nahla telah meninggal dalam kecelakaan. Nahla juga ada saat itu, menyaksikan kedua orangtuanya meninggal di depan matanya. Hanya dia yang selamat. Dan yang kamu lihat itu, adalah paklik dan buliknya yang mengadopsinya. Coba pikir, apakah akan sama kasih sayang yang mereka berikan?” Aku kembali tergugu. Sungguh. Aku tak pernah tahu fakta ini. Kupikir keluarga Nahla begitu harmonis, dan dia juga tak pernah menceritakannya padaku!

“Kamu saja yang tak pernah mau tahu. Hanya kamu, yang mengaku sebagai sahabat Nahla, yang tak tahu fakta itu,” katanya dengan mencibir. “Sekarang, apakah kamu masih pantas menyebut dirimu sebagai sahabatnya?”

Aku jatuh terduduk. Menangis tergugu.

“Coba lihat ke belakang.”

Aku berbalik dengan susah payah, hanya untuk kembali menangis dengan lebih keras. Lihatlah, Nahla masih menangis di atas pusara bertuliskan namaku. Menyebut namaku berkali-kali dengan suara lirih. Juga berkali-kali menggumamkan kata maaf.

Aku berusaha mendekat, meski dengan merangkak. “Nahla ….”

Aku ingin memeluknya. Aku ingin menghapus air matanya sebagaimana dia selalu menghapus airmataku dulu. Aku ingin meneriakkan kata maaf. Aku telah salah sangka. Aku telah berburuk sangka pada sahabat terbaikku. Aku menyesal … aku menyesal.

“Waktu habis.”

Seluruh visual itu hilang. Kutatap sosok itu dengan pandangan bertanya. Dia tersenyum lemah. “Waktu kita telah habis. Mari, kita tanggung apa yang telah kita perbuat. Sepertinya kita memang akan menuju ‘Perapian’,” katanya sambil menatap sekitar yang berubah menggelap.

Aku menatap jerih pada kabut hitam yang mulai memenuhi ruangan. Tapi memang inilah yang harus kupertanggungjawabkan. Memang inilah balasan bagi yang tak mematuhi takdir Tuhan mengenai batas waktu hidup dan memilih menyegerakannya.

“Baiklah. Mari kita jalani.”[*]

Ponorogo, 11 Juli 2021

Alin Muzakky, perempuan yang lahir di kota Magetan. Kini sedang menempuh pendidikan di Kota Reog Ponorogo.

Editor : Uzwah Anna

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/memjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply