Yang Pernah Mati
Oleh: Cahaya Fadillah
Entahlah sejak saat itu aku tidak percaya lagi tentang cinta. Bagiku cinta hanya punya bahagia di awal saja. Lama waktu berlalu, cinta juga akan pergi dengan sendirinya. Bisa karena dia bosan atau mungkin dia mulai tidak nyaman.
Januari tahun ini aku kira adalah sebuah tahun yang baru untuk keluarga kecil kami. Tahun yang akan kami isi dengan beribu kebahagiaan di dalamnya. Aku lupa, bahwa manusia hanya bisa berencana, tetapi Tuhan yang mengatur semuanya.
Perjuangan cintaku mungkin aku rasa sudah cukup sampai di sini, tidak ada lagi yang harus aku pertahankan jika dia saja tidak yakin akan hubungan kami.
***
“Saya terima nikahnya Zoya Binti Muhammad Adnan, dengan seperangkat alat salat dibayar tunai.” Tidak ada keraguan sedikit pun di wajah suamiku saat menghalalkan aku dalam sebuah ikatan suci pernikahan.
Ustad yang menikahkan kami dan beberapa penonton yang terdiri dari keluarga besarku dan suamiku berkata, “Sah!”
Hati siapa yang tidak bahagia saat menjalankan pernikahan, dihalalkan oleh lelaki idaman yang mampu menyembuhkan luka yang basah dan dalam, merawatnya dengan penuh cinta lalu menjahit luka itu dengan segala sayang yang dia punya.
Siapa yang tidak bahagia, luka lama yang menghantui karena dikhianati begitu kejam, ditinggalkan begitu saja kini sembuh tanpa meninggalkan bekas yang jelas. Bertahun menjalani kisah cinta, menunggu pujaan hati untuk mewujudkan impian yang lama menghentak-hentak di kepala. Akhirnya harus kandas juga. Ia pergi mencari cinta sejatinya, meninggalkan aku tanpa berita lalu bahagia bersama “dia” pilihannya. Tidak tahu bagaimana aku di sini merawat luka yang menganga, berdarah dan bernanah. Tidak ada kata kasihan, ia pergi mencari bahagianya. Bertahun-tahun bersama nyatanya tidak bahagia bersamaku.
Aku butuh waktu banyak menyembuhkan luka, semakin kucoba mengobati, semakin ia terasa begitu perih. Lalu, sang pangeran datang menawarkan cinta tanpa jeda, menghalalkan dengan caranya yang luar biasa. Hingga aku lupa rasanya disakiti itu seperti apa. Bahagiaku kini mendominasi isi hati, membuatnya berbunga dan menebarkan senyum penuh tawa di dalamnya.
Hingga akhirnya, semua mulai terungkap pada waktunya. Ia yang kucinta dan kupercaya sebagai penawar luka, ternyata melukai dengan caranya. Pelan mengiris hati lalu memotong seluruh urat syarafku, mengobrak-abrik isi kepalaku dan mencampakkan aku ke jurang dalam penuh misteri. Sekali lagi, aku terasa mati.
“Kamu yakin aku jodohmu?” tanyanya saat kami bercengkerama menuju sebelum menjemput mimpi malam itu.
“Kenapa bertanya begitu?” tanyaku memastikan pertanyaan yang sedikit banyak mengganjal di hati.
“Tidak apa, hanya bertanya. Banyak juga kan yang menikah, punya anak tapi bercerai.”
Seperti petir di siang hari yang panas, ungkapan itu mau tidak mau menyayat hatiku berkali-kali. “Maksud Mas apa?” tanyaku memastikan.
“Apa Mas merasa kita bukan jodoh?” Suaraku meninggi. Pikiranku mulai kacau, entah ini sebuah kebetulan atau sebuah firasat yang tidak mengenakan yang sering datang belakangan.
“Bukan begitu, maksudku ya …,” kalimat itu menggantung di langit-langit kamar. Kami sama-sama diam, larut dalam pikiran masing-masing. Pikiranku jelas menjadi tidak sejalan dengan hatiku. Di hati aku masih membenarkan kalau suamiku masih mencintai aku hingga detik ini. Namun, pikiranku sudah mulai dirasuki setan. Apa jangan-jangan ia menyesal menikahi aku karena dulu tidak jadi menikah dengan mantannya yang namanya serupa dengan namaku.
Tangisku pecah. “Kenapa? Kamu menyesal, Mas? Atau kamu salah orang. Aku kau jadikan pelampiasan karena tidak bisa bersama dia, mantanmu. Apa benar begitu?” Isakku mendominasi keadaan, malam terasa begitu panjang. Tidak ada lagi canda tawa di antara kami.
Jarum jam dinding terasa bergerak lebih pelan, detiknya seakan mencemooh rasa sakitku yang berkali-kali datang menghantam. Entah apa maksud suamiku bertanya hal itu.
“Jadi, kamu merasa kita tidak jodoh? Kamu mau apa? Mau menikah dengannya tapi malah bersamaku? Salah orang?” tanyaku berderai air mata.
“Bisakah kamu berpikir lebih positif? Picik sekali pikiranmu mengatakan aku begitu!” sahutnya, kali ini dengan nada lebih tinggi.
“Picik teriak picik! Harusnya aku yang marah, kenapa malah kamu?”
“Aku yang harusnya marah dengan cara pikirmu!”
“Harusnya aku, Mas. Setelah kita menikah tidak ada lagi pikiranku untuk hal lain, menikah denganmu adalah jodohku. Tidak ada pikiran lain selain itu. Tapi ….”
Kata-kataku berhenti di tenggorokan, semakin aku menumpahkan amarah, semakin aku merasa perdebatan ini akan percuma. Maaf tidak pernah berlabuh di bibirnya, berusaha menawarkan tenang di hatiku sudah tidak ada. Ia sama sekali lupa kalau aku terluka. Lalu, aku memilih diam, menjalani hidup seadanya kali ini tanpa rasa.
Jika cinta memang tidak perlu diungkapkan, dengan sikap ia kan terlihat nyata pada akhirnya. Begitu juga isi hati, bagaimapun caranya menyimpan rapat dalam bilik-bilik hati dan dikunci, suatu hari ia juga akan menampakkan diri.
Kuhapus air mataku agak keras, menumpahkan segala resah pada doa-doa yang panjang. Hatiku pernah mati, lalu di pupuk oleh tangan baik dan membuatnya berbunga lagi. Kini, bunga itu direnggut paksa oleh si penanamnya. Lalu bagaimana hatiku saat ini? Aku sadar hati yang mati mungkin tidak pernah bisa hidup lagi.
Cahaya Fadillah, Pernah mempertanyakan kenapa kuliah di jurusan Komunikasi sedangkan sastra adalah sebagian jiwanya.
FB: Cahaya Fadillah
IG: CatatanCahayaFadillah
Wattpad: @CahayaFadillahStory
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata