Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Epilog)
Oleh : Halimah Banani
[POV Peony]
Aku masuk, menghampirimu setelah memusnahkan bayangan tersebut, menghampiri dan merebut paksa pedang di tanganmu.
“Hei, bodoh. Kenapa kamu malah ke sini? Kamu ingin mati juga?”
Aku menghela napas. Ini bukan waktunya untuk kita berdebat. Salah satu dari kita bertiga harus ada yang mati untuk bisa pergi dari sini, dan aku tahu kalau kamu tidak bisa membunuh lelaki itu. Aku … aku yang akan melakukannya.
“Jangan gegabah, Py. Jangan membunuh siapa pun lagi.”
Lagi? Kapan? Kapan aku pernah membunuh?
“Kenapa anak perempuan seumurku harus dilempar ke jurang dengan mata ditutup kain setelah telinga kanannya dipotong?”
“Peraturannya memang sudah begitu,” jawab Ibu kala itu, saat aku masih berusia 6 tahun.
“Begitu yang bagaimana? Siapa yang membuat peraturan bodoh seperti itu?”
“Py, berhenti menanyakan sesuatu yang tidak seharusnya kamu tanyakan.”
“Kalau begitu, tahun depan biar aku yang menaati peraturan tersebut.”
“Peony!”
“Kenapa orang-orang harus mengorbankan orang lain untuk hidup?”
“Tidurlah.”
“Bukankah Ibu pernah berencana membunuhku? Ibu bilang, harusnya aku tidak terlahir.”
Harusnya. Memang demikian harusnya. Harusnya aku tidak terlahir. Harusnya aku melompat ke jurang tanpa perlu menunggu orang-orang setuju menjadikanku tumbal. Persetan dengan kehendak apa yang mereka sebut tuhan, dewa atau iblis! Orang-orang pilihan? Cih! Aku bahkan bisa mengingatnya, di hari yang berhujan, aku membunuh Ibu dengan tanganku sendiri. Ibu tidak pernah berencana atau berusaha membunuhku, tapi untuk kurun waktu yang lama, entah kenapa ingatan semacam itulah yang tumbuh di dalam pikiranku. Ada yang keliru, sungguh.
“Py, keluarlah dari tempat ini. Pergi sejauh-jauhnya.” Zein membuyarkan lamunanku.
Kali ini aku tidak akan menyerang, berusaha untuk menjaga diri juga menjaga Zein dari lelaki yang sejak tadi tak henti-hentinya menghunuskan pedang, berusaha menebas leher kami.
“Aku tidak akan pergi tanpa membawamu. Kamu sudah berjanji untuk memberitahukan kepadaku isi ramalan bocah dekat pohon apel.”
“Kamu … ingat semua itu?”
Bodoh! Kamu benar-benar bodoh! Kenapa dari tadi bicara tak henti-henti di saat seperti ini. Jika saja bukan karena hendak membunuh ayahku, mungkin sudah kutinggalkan kamu di sini, tergeletak tanpa kepala.
Lelaki itu bergerak gesit, mengayunkan pedang dengan cepat dan mengarahkannya kepadamu. Kamu yang dia incar, Zein, tapi kenapa kamu terlihat begitu tenang seolah menunggu kematian. Namun, aku tak akan membiarkanmu mati. Kita tidak akan bisa bertahan hidup hanya dengan menangkis serangannya. Aku akan menyerangnya balik.
“Py, kamu tahu? Aku mendengar sebuah ramalan tentang diriku dari bocah dekat pohon apel.”
“Benarkah?”
“Iya. Dan aku tidak tahu apa itu ramalan atau sesuatu yang lain.”
“Apa katanya?”
“Aku tidak bisa mengatakannya kepadamu. Tidak sekarang. Tapi nanti, setelah aku kembali dari kota, aku akan memberitahukan kepadamu isi ramalan tersebut.”
“Janji?”
Kamu mengulurkan jari kelingking, menautakannya pada jari kelingkingku. “Sampai hari itu datang, aku harap kamu bersabar menungguku.”
Aku menunggumu, sampai hari ini, bahkan saat ini, ketika aku berhasil menumbangkan lelaki yang dengan beringas hendak membunuhmu demi mendapatkan pangkat sebagai penerus iblis, berdiri mengacungkan pedang ke lehernya.
“Zein benar-benar tidak akan selamat, Py!” ucap Ayah saat berada di ruangan tadi. “Pemuda itu akan membunuhnya. Demi gadis yang dicintainya, juga demi menjadi penerus kerajaan ini.”
“Aku akan membunuhmu, segera!”
“Coba saja. Cobalah jika kamu bisa menyelamatkan Zein!”
‘Aku bisa. Aku bisa menyelamatkan Zein.’
Aku menatap lelaki itu lalu menatap tajam ke arah Ayah, kemudian sedikit terkejut saat mendapati gadis bernama Adiyah itu berada dalam jeruji berduri, Berteriak agar aku menghentikan semua ini.
Tidak, aku tidak akan membiarkan Ayah hidup. Hanya sekali ayunan, hanya sekali saja dan leher lelaki ini akan putus.
End
Halimah Banani, kaum rebahan yang hobi ngemil tengah malam.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata