Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 9)

Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 9)

Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 9)
Oleh : Halimah Banani

[POV Peony]

Entah bagaimana aku bisa berada di sini. Di sebuah ruangan berdinding batu berlumut dengan jendela kecil berjeruji dan pintu besi. Seingatku, saat aku melarikan diri dari kejaran para peri hutan pinus, aku terpeleset dan terjatuh ke jurang dan … aku benar-benar tidak ingat apa pun lagi.

Aku mengedarkan pandangan untuk kedua kalinya lalu menyimpulkan kalau tempat ini mungkin sejenis ruang tahanan. Jika memang benar demikian, lantas siapa yang menahanku di sini? Peri-peri mengerikan itu? Atau … sesuatu yang lain, yang tak kalah mengerikan? Siapa pun itu, aku tahu kalau cepat atau lambat kematian akan menghampiriku.

“Ini tidak benar, sungguh tidak benar,” ucap Sel saat aku menunjukkan kartu misterius yang kudapati di nakas.

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar kepadamu sekarang, Py. Saat ini aku harus bergegas ke suatu tempat. Tapi dengarkan aku. Jangan pergi. Kumohon jangan pergi ke tempat itu.”

Aku menatap kedua mata Sel yang memancarkan ketakutan, sama seperti tatapan milikmu seminggu sebelum meninggalkan desa ini dan pergi ke kota.

“Katakan kepadaku, Sel. Ada apa sebenarnya?”

Sel menggeleng, menyunggingkan sebaris senyum yang dibuat-buat. Sungguh, dia tidak tersenyum, hanya menarik sudut-sudut bibirnya saja.

“Maaf, aku belum bisa menceritakanya kepadamu saat ini, Py.”

Kalimat itu … kalimat itu juga sama persis seperti yang kamu katakan saat aku bertanya tentang apa yang terjadi.

Aku hanya belum bisa menceritakannya kepadamu, Py. Maaf.

“Kamu tidak memercayaiku?”

“Bukan, bukan begitu.”

“Apa susahnya untuk percaya kepadaku?” tanyaku setengah berteriak.

“Aku akan menceritakannya, pasti. Tapi bukan sekarang.”

“Kapan? Lain kali? Lalu kamu akan pergi meninggalkanku dan kita tidak akan bertemu lagi untuk selamanya?”

“Py?” Sel balik menatap kedua mataku lalu mencengkeram pundakku. “Apa yang sedang kamu bicarakan?”

Aku menutup wajah dengan kedua tangan, menyembunyikan air mata yang mengalir tiba-tiba. Astaga, bagaimana bisa aku berpikir kalau saat ini aku sedang berbicara denganmu. Kamu tidak ada. Kamu sudah pergi bertahun-tahun lalu dan sekarang kamu tampak hidup dalam diri Sel. Bukan, bukan dalam diri Sel, tapi dalam pikiranku.

“Peony?”

“Maaf, aku tidak tahu apa yang sedang aku pikirkan saat ini. Semuanya tampak kacau, Sel. Semuanya.”

Sel memelukku sambil kembali memintaku untuk tidak pergi ke tempat yang tertera di kartu. Setelahnya, dia meninggalkanku dengan setengah berlari, menoleh ke kiri, kanan dan belakang. Dia tampak seperti sedang melarikan diri dari kejaran seseorang. Entah seseorang yang mana, karena selama ini aku tidak pernah melihat Sel dekat dengan siapa pun kecuali diriku, dan juga hantu-hantu.

Aku menghela napas mengingat pertemuan terakhir dengan Sel. Entah apa yang terjadi dengannya dan apa yang ingin dia sampaikan kepadaku, karena di sore sebelum aku meninggalkan desa, aku tidak mendapati Sel di rumahnya atau di tempat-tempat yang biasa dia kunjungi.

“Peony.”

Bayangan tentang Sel hilang seketika. Aku bangkit, mengedarkan pandangan, mencari asal suara. Itu … itu suaramu. Benar-benar suaramu dan aku mengingatnya dengan jelas.

“Peony?”

Kudekati pintu besi dan mengintip dari lubang kunci. Barangkali kamu melihatku saat seseorang atau sesosok apa pun membawaku ke ruangan ini, sehingga kamu bisa menemukanku. Atau jangan-jangan kamu ada di ruang sebelah dan terkurung selama bertahun-tahun sehingga tidak bisa pulang untuk menemuiku.

“Zein, apa itu kamu? Kamukah itu? Zein?”

Hening. Suaramu lenyap meski telah kupanggil berkali-kali, bahkan setelah bermenit-menit atau mungkin sejam lamanya, tak kudapati lagi suaramu yang memanggil namaku. Hanya ada kekosongan dan bau lembap yang menyelimuti ruangan ini sampai pintu besi di hadapanku terbuka, menampilkan sesosok wanita yang wajahnya tertutup topeng.

“Mari ikut,” ucapnya datar.

Aku mundur beberapa langkah. “Si—siapa kamu?”

Dia merogoh saku dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. “Kamu pemilik kartu ini?”

Agak menyipitkan mata, aku mengangguk. “Iya.”

“Kalau begitu, silakan ikut. Kamu sudah berada di tempat tujuan.”

Tempat tujuan? Maksudnya, tempat di mana Zein berada? Di sini?

Aku menggeleng pelan, berusaha tetap berpikiran baik, menghela napas lalu mengikuti wanita bergaun hitam gagak itu setelah mengenakan topeng yang diberikannya. Berjalan menyusuri lorong-lorong lembap dengan obor di setiap tikungan sebagai pencahayaan serta puluhan pintu besi yang mungkin jika pintu-pintu tersebut dibuka, aku dapat menemukanmu sedang duduk atau berbaring atau mengintip dari jendela kecil berjeruji atau lubang pintu. Namun sayangnya, pintu-pintu itu tertutup rapat dan mungkin juga terkunci.

Beberapa kali aku menyerupelankan namamu sembari menyusuri lorong dengan wanita itu yang lagi-lagi menoleh ke araku. Aku berharap jika kamu memang berada di dalam salah satu ruangan tersebut, kamu akan menjawab seruanku atau memberi tanda seperti gebrakan, siulan atau apa pun yang menunjukkan bahwa kamu memang benar-benar ada di sini. Namun sampai lorong-lorong telah habis kulewati, tidak ada tanda-tanda apa pun. Bahkan kini, saat aku beratapkan langit, memandang taman yang disinari obor-obor dan disesaki guci di sana-sini, serta memandang satu per satu orang bertopeng yang sedang sibuk berbincang sembari memegang gelas-gelas berisi minuman, aku tak juga mendapati sosok yang tampak sepertimu.

“Silakan lewat sini,” seru wanita itu sambil menunjuk arah kiri taman dengan tangan kanannya yang terentang.

Aku masih mengikutinya. Berpikir kalau dia mungkin akan menuntunku untuk segera bertemu denganmu. Sayangnya, setelah berjalan agak jauh meninggalkan orang-orang yang sibuk berbincang, orang-orang yang juga memakai topeng, aku malah mendapati pemandangan yang aneh.

Kamu tahu, Zein. Aku sepertinya salah dengan tidak mendengarkan ucapan Sel untuk tidak pergi ke tempat ini. Saat ini, aku bahkan tidak yakin kalau kamu ada di sini. Semuanya … semua yang berada di pesta ini tampak salah.

“Bagaimana jika suatu hari kamu mendapati bahwa dirimu yang sekarang bukanlah kamu?”

Tiba-tiba saja aku teringat pertanyaanmu—sewaktu kita membaca buku di pohon apel—saat melewati kerumunan makhluk-makhluk aneh yang sulit kujelaskan dengan kata-kata, bahkan ada peri-peri hutan pinus juga. Mereka yang semula asyik berbincang, mencicipi hidangan atau melakukan aktivitas lainnya, langsung menoleh ke arahku.

“Kenapa kamu suka menanyakan hal-hal yang rumit?” tanyaku kala itu.

“Jangan bertanya balik, Py. Jawab saja!”

Aku mendongak, menatapmu yang asyik duduk di cabang batang pohon apel sembari mengayun-ayunkan kaki dan tetap fokus pada buku bacaanmu.

“Kamu tentu tahu kalau ada yang tak biasa dengan dirimu.”

“Jangan bicara omong kosong, Zein.”

“Kamu itu bodoh atau apa?”

“Kenapa kamu selalu mengajak bertengkar setiap waktu?

“Siapa yang mengajakmu bertengkar. Aku hanya bertanya bagaimana jika kamu yang saat ini ternyata bukanlah dirimu?”

“Lalu?”

“Apa yang akan kamu lakukan?”

Aku? Apa yang akan kulakukan?

Entahlah, Zein. Aku tidak tahu kenapa perbincangan itu tiba-tiba muncul dari dalam ingatanku. Aku masih melangkah mengikuti wanita yang tadi menjemput dan menuntunku hingga sampai ke taman ini, sedang peri-peri hutan pinus, juga makhluk-makhluk aneh lainnya menatapku dengan tatapan menunggu, bukan memangsa. Bahkan salah satu dari mereka, yang berbadan serupa kudanil dengan kepala agak pipih dan posisi mulut berada di dahi, menghampiriku, menyodorkan mahkota yang terbuat dari ular kering.

“Pakailah,” ujar wanita bergaun hitam gagak.

Aku mengernyit. Memakai makhota mengerikan ini? Yang benar saja!

“Itu hadiah penyambutan,” jelasnya.

Aku mundur beberapa langkah. “Sepertinya, ini bukan tempat yang aku tuju.”

“Bukankah kamu ke sini untuk bertemu Zein?”

Kamu … sungguh kamu berada di tempat seperti ini, Zein? Tidak mungkin! Kamu tidak mungkin berada di tempat seperti ini. Lagi pula, pesta seperti apa ini?

“Jika kamu yang sekarang bukanlah dirimu, apa yang akan kamu lakukan, Py?”

Pertanyaan itu kembali muncul, pertanyaan yang sudah kita sepakati untuk tidak memerlukan jawaban. Dan kini, aku ingin bertanya kepadamu.

Zein, siapa kamu sebenarnya?

 

Bersambung ….

Episode 8 (Sebelumnya)

Episode 10 (Selanjutnya)

 

Halimah Banani, kaum rebahan yang hobi ngemil tengah malam.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply