Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 4)

Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 4)

Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 4)
Oleh: Ning Kurniati

[POV Adiyah]

Aku yakin sesuatu tengah terjadi. Kami tidak memiliki kebiasaan bepergian. Tunggu, apa Zane ….

“Ke sebuah, itu, anu ….” 

“Apa?”

“….”

“Ah, kamu pasti lupa lagi. Sungguh penyakit yang menyedihkan di usiamu yang muda! Kamu pergi saja. Aku punya banyak urusan yang mau kulakukan.”

Aku berlalu menuju ruang belakang untuk membersihkan diri. 

“Kamu tidak mau ikut?” teriak Zane.

“Tidak.”

“Yakin?”

“Iya, kamu pergilah!”

Meski sedikit penasaran dengan alasan Zane ingin bepergian, aku tetap akan menahan diri untuk tidak bertanya. Aku tidak mau dia berpikir macam-macam lagi tentangku, atau tentang kami. Itu sangat buruk. Aku menggeleng beberapa kali, tidak sanggup bila tahu Zane memikirkan itu. 

***

Aku duduk di balik jendela, memandangi bunga bungur yang berguguran. Satu, dua, tiga, lalu berhamburan ketika angin datang menerpanya. Apa bunga itu senang ketika jatuh menyentuh tanah atau justru sebaliknya? Namun, angin tidak pernah memedulikan itu semua. Ia akan tetap datang, menerpa, mengugurkan apa pun yang memang sudah waktunya untuk gugur. Pada waktunya. Semua ada waktunya. Begitulah takdir bermain. 

Kehidupan setiap orang juga seperti itu, bahwa selalu ada hal-hal di luar kemampuan kami—menyebabkan sesuatu terjadi—yang datang tanpa permisi. Seperti teman-temanku, yang entah kenapa tiba-tiba menikah dengan orang yang sedah diketahui bagaimana keburukannya. Pasti terjadi sesuatu yang salah dalam dirinya, sehingga mereka memutuskan untuk menikah dengan mudah. Akan tetapi, aku tidak tahu seperti apa hal itu: landasan dari sebuah pernikahan yang mereka jalani. Pernikahan yang memiliki peluang besar tidak akan membawa kebaikan, yang ada malah pertengkaran-pertengkaran yang memekakkan telinga. Itu sama saja dengan melompat ke sungai yang sangat dalam, dan kita tidak tahu bisa keluar dari sana dengan keadaan selamat atau justru menjadi kaku tidak berdaya. Mati.

“Menungguku?”

“Tidak juga.”

“Kalau bicara dengan seseorang, lihatlah! Begitulah manusia berinteraksi.”

Aku berbalik, menatap satu-satunya anak laki-laki yang menjadi temanku selama ini. 

“Semalam aku melupakan sesuatu.” 

“Melupakan apa?”

“Beberapa hal.”

“Ya sudah ceritakan! Aku akan mendengarnya.”

“Kamu tidak ke ladang hari ini?”

“Tidak. Ya sudah ceritakan apa yang kamu mau ceritakan!”

“Kenapa? Ini aneh?”

“Mau cerita apa tidak?” ucapku dengan nada yang tidak biasa lagi.

“Kamu marah, Di?”

“Oh, ya ampun! Aku sedang tidak ingin diganggu. Lain kali saja kamu datang.”

“Yah, Di, marah!”

Kembali, aku memalingkan pandangan ke arah jendela dengan cemberut. Mata kupejamkan sembari menarik napas dan mengembuskannya. Lebih baik menikmati sepoi angin yang menerpa wajah yang menerbangkan anak rambut, ketimbang mendengar cerita Bala.

Aku tahu betul tentang Bala. Terlampau mengenalnya dengan baik, sehingga setiap detail dari dirinya sangat kupahami. Seperti saat ini, meskipun tidak sedang menatapnya. Dia pasti sedang bingung harus bersikap apa menghadapiku. Bibirnya yang lebar akan mengerucut, matanya akan sayu dan tanpa sadar jari telunjuk dan ibu jari akan dimainkannya. Dasar bocah! 

Aku berbalik, menatapnya, bermaksud mengelus, tetapi urung. Dia tidak pernah suka dielus. Salah satu hal yang paling dibencinya selama ini. Bagaimanapun tanganku tidak akan pernah benar-benar menyentuh kepalanya, hanya akan tampak seolah-olah, dan itu sangat menyedihkan. Makhluk yang malang.

“Datanglah sebentar malam! Aku ingin mengatakan sesuatu. Saat ini aku harus memikirkannya dengan baik. Jadi, bisakah kamu meninggalkanku sekarang?” ucapku pelan, lalu mengembangkan senyum.

Dia mengangguk dan senyum terkembang begitu saja di wajah mungilnya. Hanya hal-hal seperti itu, dia akan menjadi senang. Patuh, dia mendekat ke dinding, berbalik sebentar dan seketika menghilang, meninggalkanku sendiri. 

Terima kasih karena membiarkanku sendiri, ucapku yang tidak lagi didengarnya. Kesendirian adalah salah satu hal yang kusukai. Aku sangat tidak menyukai keributan yang karenanya kepalaku akan menjadi sakit. Suara orang-orang yang bersahut-sahutan tidak lebih seperti anjing yang mengonggong meributkan makanan. 

Makanya aku hanya memiliki Zane sebagai teman dekatku, dan Bala. Walaupun begitu semua orang di desa ini kukenal dan mereka juga mengenalku. Beberapa juga menjadi temanku, tetapi kami tidak cukup dekat seperti kedekatanku dengan Zane. Begitu juga dengan teman-teman Bala yang lain, aku mengenalnya hanya saja kami tidak akrab. Mereka juga tidak ada bedanya dengan manusia, kadang membuat keributan. Meski tak didengar oleh yang lain, tetapi aku mendengarnya yang kadang membuat tidurku terusik. Tidak di ladang, di rumah, di mana pun, sehingga suatu ketika aku memarahi mereka, semuanya tidak ada lagi yang berani mendekat, kecuali Bala.

Pernah aku menanyakan alasannya sering mendatangiku dan menceritakan hal-hal yang diketahuinya. Menyenangkan, karena kamu menyenangkan, Di, jawabnya. Kamu satu-satunya orang yang mau menerimaku. Aku bilang, tidak semua manusia bisa melihat makhluk lain. Dia menolak jawabanku dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak Di, tidak! Beberapa orang bisa melihatku, Di, tetapi mereka hanya mendiamkanku, dan tidak mau mengajakku bicara. Bahkan beberapa mengusirku, padahal sedikit pun aku tidak mengganggunya. 

***

“Kamu tahu, Di? Kamu itu, seseorang yang sangat tidak tahu apa-apa. Ah, salah! Semua orang-orang di desa ini. Kalian sangat terbelakang, tidak tahu apa-apa tentang dunia yang orang-orang di luar sana mengenalnya dengan kata modern. Kalian tidak mengenal agama apa pun, tidak punya Tuhan, tidak pernah berdoa, apalagi berpesta. Padahal pesta itu adalah salah satu hal yang menyenangkan. Semua orang akan bahagia. Makan, minum, saling menyapa dan bercengkerama sehingga semua menjadi lebih dekat. Orang-orang di desa ini tidak pernah merasakan itu, Di.” 

Aku tidak pernah betul-betul menanggapi ucapan Bala. Biasanya aku lebih banyak bergeming, ketimbang mengatakan sesuatu. Hanya sesekali menanggapinya

“Satu yang paling buruk, kalian sangat tertutup. Kalian menutup diri dengan tidak pernah bepergian, membatasi diri pada hal-hal yang bisa terjangkau. Hal-hal yang baru itu belum tentu buruk. Susah sekali meyakinkanmu, Di,” ucapnya mengakhiri cerita dengan menggerutu. 

Bala akan mengambil jeda selama beberapa saat, lalu berucap kembali dengan mengajakku untuk keluar dari desa ini. 

“Kamu akan melihat dunia luar yang begitu menakjubkan. Kamu tidak boleh menutup mata, memalingkan pandangan, mengatupkan mulut. Ayolah, Di! Katakanlah sesuatu yang seharusnya memang kamu katakan seperti: baiklah, mari kita coba esok hari.”

Aku terus-terus bergeming dan tidak mengatakan apa-apa. Walaupun begitu, mataku tidak akan pernah lepas memperhatikan setiap gerak-geriknya. Dia akan mondar-mandir dan dengan riang mengungkapkan segala keinginan. Sesekali aku akan tersenyum. Lalu, menunggu dia membawakanku cerita-cerita lain yang menyenangkan.

***

Akhir-akhir ini aku begitu menyukai cerita bagaimana orang-orang di luar sana merayakan sesuatu dan berkumpul bersama. Aku memikirkan betapa menyenangkannya pesta itu. Membayangkan seperti yang dikatakan oleh Bala, bahwa akan tersedia ruangan yang penuh dengan pernak-pernik yang menarik, makanan, minuman banyak orang akan saling berbicara tanpa berteriak-teriak seperti orang-orang di desa ini. Berkumpul sedikit saja sudah sangat riuh, tertawa terbahak-bahak dan makan-minum dengan serampangan. 

Aku penasaran bagaimana orang-orang di luar sana begitu tenang ketika berkumpul dan mengadakan pesta? Semoga saja aku punya sedikit keberanian untuk melangkah jauh. Keberanian yang akan membawaku pada hal-hal yang menakjubkan seperti yang diceritakan oleh Bala. Kalau dipikir-pikir Zane saja bepergian, pasti aku juga bisa. Jadi, kelak bila kami bertemu aku tidak lagi menjadi pendengar. Aku akan menceritakan hal-hal menakjubkan yang kutemui dan tentu menagih jawaban dari pertanyaanku yang belum dijawabnya. Awas saja! 

 

Bersambung

Episode 3 (Sebelumnya)

Episode 5 (Selanjutnya)

 

Bulukumba, 28 Juni 2019

Ning Kurniati, Perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link http.bit.ly/AkunNing.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply