Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 3)

Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 3)

Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 3)
Oleh: Halimah Banani

[POV Peony]

Kita harus menikah, Zein. Kita benar-benar harus menikah.

Aku menatap namamu yang tertera di layar ponsel. Berharap kamu akan menjawab panggilan telepon dariku yang entah untuk ke berapa kalinya. Jika ramalan itu benar, maka kita harus menikah agar ayahku bisa cepat mati.

“Kamu percaya apa yang dikatakan bocah itu?”

Seketika aku teringat pertanyaan yang pernah dilemparkan kepadaku empat tahun lalu.

“Apa kamu tidak berpikir kalau yang dikatakannya bisa saja salah?”

Dulu, aku berharap kalau apa yang dikatakan bocah itu tidaklah benar. Dia pasti keliru membuat ramalan. Sehingga di setiap sore, aku akan berlari menuju jalan besar, menunggumu yang hingga saat ini tak juga menampakkan batang hidung.

Ingin sekali aku bertanya apa alasanmu melarikan diri dari desa ini. Apakah karena ramalan itu atau kamu benar-benar hanya ingin bekerja di kota. Namun apa pun alasannya, aku masih tidak mengerti. Aneh rasanya mendapati hari-hari saat aku tidak melihatmu duduk di cabang batang pohon apel sembari membaca buku atau memandangimu yang tidur petang di tepi sungai.

Saat malam, ketika aku kembali ke kamarku, kupikir membaca buku dapat membuatku melupakanmu barang sejenak. Sayangnya tidak. Setiap kali aku membuka buku, yang selalu terjadi adalah buku itu hanya merebah di pangkuanku sedang pikiranku berkelana ke suatu tempat entah, dan tak lama setelahnya, kenangan demi kenangan menerobos masuk.

Masih dengan napas yang berat dan pikiran yang keruh, kupandangi ponsel dengan namamu yang tertera di layarnya. Mengetik kata per kata, bercerita tentang apa saja yang kulakukan hari ini dan setelahnya bertanya apa yang kamu lakukan, bagaimana kabarmu, apakah hidup di kota itu menyenangkan, serta sederet pertanyaan lain yang kuharap kamu akan membalas satu saja dari puluhan pesanku.

“Aku merindukanmu, Zein,” bisikku lirih sembari menundukkan kepala dalam-dalam.

Sepuluh menit, satu jam, bahkan hingga pukul dua dini hari, aku masih menatap layar ponsel dan tetap tak ada balasan darimu.

“Apa kamu terlalu sibuk sehingga tak ada waktu untuk membalas pesan-pesanku? Atau kamu sudah menemukan seorang gadis untuk dinikahi? Jika sudah, kenapa kamu belum juga pulang?”

Aku selalu melakukan rutinitas itu di setiap malam dan terjaga di pagi harinya dengan buru-buru mengecek ponsel, berharap ada balasan pesan atau sebuah panggilan tak terjawab darimu. Namun, hingga hari ini, di depan makam ibuku, setelah mencoba menghubungimu beberapa kali, kamu masih tidak juga menjawab.

“Apa kamu sungguh ingin bertemu dengannya?”

Tak kuhiraukan Sel, gadis yang kutemui di tepi sungai beberapa tahun lalu, yang pernah melempariku dengan pertanyaan soal ramalan bocah berbaju gombrang. Untuk yang terakhir, kupikir, aku akan menghubungimu. Jika masih tidak ada jawaban, aku akan mencari cara lain untuk menemuimu dan mengajakmu menikah.

“Jika kamu memang ingin bertemu dengannya, aku akan membantumu.”

Kali ini aku menatap Sel.

“Itu jika hanya kamu menginginkannya,” ucapnya santai.

“Bagaimana caranya?”

Sel tertawa terbahak-bahak sambil memalingkan wajahnya ke kiri. Itu tawa pertamanya yang pernah kulihat dan dengar setelah kami berkenalan. Entah apa yang membuatnya begitu senang, barangkali ada hantu yang berdiri di sampingnya dan melempar sebuah lelucon sehingga dia tertawa. Padahal dulu, tak lama sebelum kami bertemu di tepi sungai, dia pernah berusaha bunuh diri, bahkan mencungkil bola matanya agar tak lagi melihat hantu-hantu.

***

Aku membelalakkan mata dan mundur beberapa langkah saat tiba-tiba saja kamu mencium pipiku kemudian mengajakku menikah jika kita sudah dewasa.

“Apa yang kamu lakukan?” tanyaku yang masih terkejut atas apa yang baru saja kamu lakukan.

“Menjawab pertanyaanmu,” jawabmu santai.

“A—apa? Memangnya aku bertanya apa?”

Dengan kedua tangan yang membawa tiga buah buku di atas kepala, kamu berjalan menuju pohon apel lalu duduk menyandarkan punggung pada batangnya yang kukuh.

“Kamu bertanya apa yang ingin aku lakukan jika sudah dewasa nanti. Dan itu adalah jawabanku.”

Bukannya menghampirimu dan ikut duduk bersandar pada batang pohon seperti yang biasa kita lakukan, aku memilih tetap berdiri di tempat, berjaga-jaga agar kamu tidak melakukan hal yang aneh-aneh lagi.

“Apa hubungannya? Sungguh tidak ada hubungannya sama sekali.”

“Bagaimana bisa tidak ada?”

“Karena … itu ….” Aku melirik ke kiri dan kanan, memikirkan alasan yang tepat.

“Aku bercita-cita untuk menikah denganmu saat sudah dewasa. Apa itu cita-cita yang salah?”

“Apa?” Aku menatapmu dengan mata yang membulat.

“Jika sudah dewasa nanti, jangan menikah dengan laki-laki lain. Kamu hanya boleh menikah denganku.”

“Apa?”

“Apa aku harus menjawabnya lagi biar kamu paham?”

Aku melempar buku yang sedari tadi kupegang ke arahmu, yang hampir saja mengenai kepalamu. ” Dasar bodoh!”

Setelahnya, aku berlari menjauh. Pulang sembari menggerutui ucapan-ucapan konyolmu.

Mengingat semua itu, hal konyol yang kamu lakukan saat kita masih tujuh tahun, aku tersenyum. Sungguh, siapa yang menyangka kalau sejak hari itu aku hanya dekat denganmu saja meski tak pernah berpikir kalau kelak kita akan menikah. Bahkan saat usiaku sudah menginjak angka delapan belas, kamu tahu kalau aku masih belum memikirkan apa pun tentang pernikahan.

“Kamu membenci ayahmu?” tanyamu waktu itu.

“Entahlah.”

“Di desa ini, gadis-gadis seusiamu telah menikah.”

“Bisa kita membahas hal lain saja?”

“Kamu ingin melajang seumur hidup?”

“Kenapa tidak?”

“Kita tidak akan seperti orangtuamu, Py.”

Aku menatapmu tajam. Meski begitu kamu terus berceloteh bahwa ada banyak pernikahan yang baik-baik saja dan pernikahan kita akan menjadi salah satunya.

Hari ini, bahkan saat orang-orang mengatakan kalau kamu akan menjadi jodohku, aku ingin mengasumsikan kalau semua itu terjadi lantaran kamu yang bersikukuh mengajakku menikah. Namun, jika dipikir-pikir lagi, tak ada orang yang tahu soal cita-cita konyolmu, termasuklah keluargamu juga ibuku. Barangkali orang-orang berkata demikian karena kita terlihat selalu bersama sejak kecil, pikirku. Lagi-lagi kutepis pikiran itu. Perkataan orang-orang terlalu tiba-tiba dan terjadi serempak dua bulan setelah kita berjanji untuk tidak membahas apa pun lagi perihal pernikahan. Kamu bahkan memilih pergi ke kota setahun setelahnya dan tak pernah lagi kembali.

“Kamu serius ingin bertemu dengannya?” tanya Sel tempo hari setelah tawanya reda. Wajahnya bahkan tak sebahagia sebelumnya dan tampak jauh lebih serius.

“Aku serius.”

“Itu bukan hal yang mudah.”

“Bukankah kamu bilang akan membantuku?”

“Ya, tapi ada risiko yang harus kamu tanggung untuk semua itu.”

“Apa pun itu. Yang terpenting aku harus bertemu dengan Zein dan mengajaknya menikah.”

“Aku tahu aku tidak bisa mengubah pikiranmu. Tapi … pikirkanlah lagi, Py.”

Benar, aku harus memikirkannya dengan baik dan tak boleh sampai salah mengambil keputusan. Maka, setelah memikirkannya selama dua hari, aku sudah memutuskan untuk tetap bertemu dengan Zein. Apa pun risikonya. Apa pun itu.

 

Bersambung ….

Episode 2 (Sebelumnya)

Episode 4 (Selanjutnya)

 

Jakarta, 25 Juni 2019

Halimah Banani atau Lily Rosella. Merupakan salah satu penulis antologi cernak Petuah Endatau (Saweu Pena Publisher), Paw’s Tale (Elara Publisher), Kumpulan Fiksi Mini Dunia Anak (Jejak Publisher), Lorong Rahasia (Rumah Imaji).

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply