Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 2)

Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 2)

Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 2)
Oleh: Ning Kurniati

[POV Adiyah]

Aku berlari ke luar rumah. Meninggalkan Ayah dan juga Ibu yang sedang bertengkar sengit. Ini adalah pertengkaran ke sekian kalinya di mana telingaku dipenuhi teriakan dan makian antarmereka—satu sama lain.

Aku tidak mengerti apa yang mereka sedang pertengkarkan. Masalah kebutuhan ekonomi keluarga kami atau justru masalah lain. Mulanya akan terdengar saling menyalahkan. Ayah mengatakan bahwa ini semua adalah salah Ibu. Lalu, Ibu pun tidak mau kalah dan balik menyerang Ayah dengan seribu katanya. Maksudku, Ibu akan berbicara sangat cepat, panjang dan tidak akan ada habisnya. Suara keduanya saling beradu di udara bergemuruh. Ibu dengan lengkingannya dan Ayah dengan suara bulatnya. Selalu seperti itu, hampir setiap hari. Anehnya, mereka tidak pernah menyebut inti permasalahan yang sedang dipertengkarkan.

Malam-malam begini, aku sudah sangat malas untuk keluar dari rumah. Dingin di tempatku begitu menusuk kulit. Ini adalah musim kemarau terdingin yang pernah ada. Di malam hari kami akan merasakan dinginnya udara, dan siang hari akan merasa begitu kepanasan dengan terik sinar matahari yang panasnya semakin menjadi-jadi. Panas itu baru akan reda ketika menjelang sore.

Aku mengedarkan pandangan, sejauh mataku bisa menangkap apa-apa. Kosong, tidak ada seorang pun. Ke mana Zane? Biasanya dia akan berkeliling desa dengan para pemuda lain, tanpa diminta. Menjaga perdesaan dari pencuri-pencuri yang menyamar sebagai musafir yang dilanda kesusahan.

Melewati beberapa rumah, tanpa sengaja aku melihat bentuk punggung yang sudah tidak asing di mataku. Rambutnya yang panjang berkibas tertiup angin malam. Hanya satu laki-laki di desa kami yang memanjangkan rambut. Dia …  Zane, sedang duduk di balai-balai depan rumah kosong—rumah yang sudah lama ditinggal pemiliknya.

“Zan!” teriakku dari belakangnya.

Zane menoleh. Memperlihatkan deretan giginya. Kemudian, aku mendekat, mengenyakkan diri di sampingnya. Dia menatapku sebentar lalu mengembuskan napasnya dengan kasar.

“Hmm, kamu kenapa di luar sendirian? Ke mana yang lain?” Aku celingak-celinguk melihat sekitaran

“Mereka menikah hari ini.”

“Siapa?”

“Teman-teman kita. Kau mungkin tidak percaya. Aku juga begitu. Tapi, kenyataannya … mereka menikah.”

“Sulit dipercaya!”

“Ya, memang sulit dipercaya. Di, kamu tahu? Cara menikah orang-orang di sini itu sangat berbeda dengan orang-orang di luar sana.”

“Apanya yang berbeda?”

“Mereka dinikahkan, Di. Maksudku ada seseorang yang menjadi perantara mereka yang akan mengatakan bahwa keduanya telah menikah. Sah sebagai pasangan suami-istri. Sedangkan kita hanya berciuman di depan banyak orang. Lalu, teranggap sudah menikah.”

“Dari mana kamu tahu itu?”

“Seseorang kemarin melewati desa kita. Dia melihat Daleva dan Ray berciuman di ladang. Lalu, dia menanyakan apa yang dilakukan oleh Daleva dan Ray. Kami menjawab ‘mereka menikah’. Dia pun mengatakan cara kita menikah. Maksudnya orang-orang di sini. Itu sangatlah tidak sopan. Katanya berciuman itu harus dilakukan di mana orang-orang tidak bisa menyaksikan.”

“Lalu, apa lagi yang dikatakannya?”

“Mmm, apa lagi, yah?” Zane tampak berusaha mengingat-ngingat dengan mengerutkan kedua alisnya dan tangan yang sibuk menggaruk kepala.

“Ayolah, Zane! Cobalah mengingatnya. Kamu harus berusaha!” rajukku sembari mengelus lengan kirinya.

Zane menoleh. “Kamu tidak takut aku cium?”

Sontak aku mendorongnya dengan kuat, sehingga dia terjungkal. Kesal, aku berdiri lalu pergi meninggalkannya—pulang ke rumah. Dia temanku. Sering bermain bersama sejak kecil. Lalu, berani-beraninya dia mau menciumku. Entah kenapa, aku begitu geram. Ingin sekali aku menghajarnya—meninju rahangnya berkali-kali dan menendang bokongnya. Memikirkannya saja aku merasa puas. Harusnya tadi aku melakukan hal itu supaya aku tidak marah-marah sendiri. Awas saja kalau dia membayangkan kami sedang berciuman. Aku berhenti, tidak bisa melanjutkan langkah kakiku memikirkan … tangan kukepal lantas berbalik. Berjalan dengan menghentakkan kakiku keras-keras ke tanah. Baru setengah jalan menuju tempat di mana aku meninggalkan Zane, betisku malah sakit. Benar-benar ….

Aku bergeming di tempatku, menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan. Tarik lagi … embuskan. Aku tidak boleh marah. Tidak boleh. Lebih baik aku kembali dan bertanya pada Zane besok saja. Kalau dia melakukannya baru aku akan memukulnya. Aku akan menghajarnya sampai dia babak belur. Meskipun, selama ini dia sudah banyak berbuat baik, membantuku dalam beberapa kesempatan. Tapi, kalau tidak, ya, tidak apa-apa. Aku akan bersikap baik seperti semula.

***

Rumah telah dalam keadaan senyap ketika aku menapakkan kaki di depan pintu. Ayah-Ibu pasti sudah lelah beradu mulut. Ini juga sudah terlalu malam untuk tidak memejamkan mata. Pelan-pelan pintu kudorong agar mereka tidak terbangun akibat suara yang bisa saja kutimbulkan, tetapi tiba-tiba ….

“Apa kamu tidak melihatku di sini?”

Aku melirik ke asal suara di sebelah kananku. “Balaaaa … bisakah kamu tidak mengagetkanku?”

Anak itu duduk bersandar pada tembok rumah kami.

“Tentu bisa, asal kamu bisa sedikit peka merasakan kehadiranku,” gerutunya dengan tangan yang bersedekap di dada.

“Maaf,” ucapku datar.

Aku mengenyakkan diri di hadapannya dan bersandar pada pohon, mengambil posisi terbaik karena malam ini bisa dipastikan akan berlalu dengan sangat panjang. Bala ketika mendatangiku tidak pernah sebentar. Dia akan berlama-lama. Menceritakan semua yang dialaminya ketika tidak bersamaku. Tidak ada yang terlewat mulai dari A sampai Z.

Bala adalah anak umur tiga belas tahun dan hidup sebatang kara. Setiap harinya dia hanya berkeliling desa. Akan tetapi, pada waktu-waktu tertentu dia akan pergi ke tempat-tempat yang jauh bersama teman-temannya, menjadikan para musafir sebagai pemandu dengan diam-diam. Katanya, hanya untuk hiburan dan mengetahui kehidupan orang-orang di luar sana. Hal itu sangat menarik dibanding apa pun.

***

Aku mengerjap berkali-kali sampai kesadaranku kembali sepenuhnya. Tidurku terganggu karena kicau burung yang nyaring terdengar dari balik tajuk pepohonan di halaman rumah. Pohon-pohon dengan bunganya yang lebat berwarna ungu memanjang menjuntai. Pohon Bungur.

Aku bangkit dari pembaringan, menyibak kain dan membuka jendela. Matahari sudah bersinar terang dan silaunya begitu menyilaukan pandangan. Lapat-lapat terlihat seseorang tengah berjalan menuju kemari. Demi melihatnya dengan jelas, aku harus menyipitkan mata.

Terlihat seperti Zane, tetapi ke mana rambutnya yang panjang? Pakaiannya juga yang dulunya kumal sekarang terlihat bersih. Rapi. Bulu-bulu di wajahnya menghilang. Dia sedikit keren. Hanya sedikit, karena kerapian itu tidak mengubah warna kulit kecokelatannya. Sedangkan keren di mataku adalah laki-laki dengan kulit yang sedikit cerah.

Senyumnya terkembang penuh dengan binar mata bahagia saat jarak kami hanya sepanjang kedua belah tangan.

Aku mengernyit. “Kamu baik-baik saja?”

“Tentu.”

“Ooh, pakaianmu?” ucapku dengan menunjuknya dari ujung sampai ke atas. “Tunggu semalam kamu berpikir apa?” lanjutku cepat.

“Apa?”

“Semalam, apa yang kamu pikirkan?”

“Apaaa?”

“Ke-ketika kamu bilang tentang ci-ciuman,” ucapku dengan pura-pura melihat ke sembarang arah.

Eh, bukannya menjawab, Zane malah menggaruk kepalanya.

“Apa kamu kutuan?”

“Eeh, sembarangan! Tidak, aku tidak kutuan.”

“Loh itu! Kamu potong rambut.”

“Kamu itu selalu saja terlalu cepat menyimpulkan segala sesuatunya! Aku itu potong rambut karena mau bepergian.”

“Pergi ke mana?”

Zane tidak menjawab. Dia malah menunduk dan terlihat seperti seorang yang tengah berpikir keras. Tangannya terulur ke belakang kepala diiringi gumaman yang tidak jelas.

Aku yakin sesuatu tengah terjadi. Kami tidak memiliki kebiasaan bepergian. Tunggu, apa Zane ….

 

Bersambung ….

Episode 1 (Sebelumnya)

Episode 3 (Selanjutnya)

 

Ning Kurniati, seorang perempuan dengan sejuta mimpi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply