Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 10)
Oleh : Ning Kurniati
[POV Adiyah]
Kepalaku terasa berat dan sakit. Aku membuka mata, samar-samar melihat sesuatu seperti batu. Ada secercah cahaya. Sontak aku bangkit, memutar pandangan ke segala arah. Oh, ya ampun, kami sedang berada dalam ruangan sempit berdindingkan batu, seperti kamar dengan sebuah pintu. Di sana-sini banyak lumut yang menempel dan udaranya sangatlah lembap. Apa ini? Bukankah terakhir kali, kami sedang berlarian menghindar dari makhluk aneh. Lalu, kenapa kami bisa berada di ruangan ini? Aku mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Takut bila pada akhirnya kami tidak bisa keluar dari sini, tidak bisa ke kota … ke pesta. Kemudian, hanya menjadi santapan makhluk-makhluk aneh itu.
Zane belum juga bangun. Dia terbaring tak jauh dari tempatku duduk. Sedangkan, barang-barang kami tergeletak begitu saja di dekat pintu.
Aku menghela napas lega, bagaimanapun sekarang aku masih hidup. Aku berusaha mengingat hal terakhir sebelum aku terbangun. Tidak ada, ingatanku hanya pada saat kami sedang berlarian ke sembarang arah di dalam hutan. Segera aku mendekat ke Zane dan mengguncang-guncang tubuhnya untuk membangunkan. Dia harus bangun, harus, sebelum makhluk-makhluk itu muncul kembali.
“Zan! … Zan! … Zaneee!”
Aku memanggil namanya berkali-kali, tetapi dia tidak bangun. Jangankan bangun, terlihat terganggu saja tidak. Berulang kali kulakukan hal yang sama: meneriaki namanya. Nihil, tidak ada hasil. Merasa percuma, kuputuskan untuk menyerah. Aku berbalik ke tempatku terbaring barusan dan sontak aku berteriak, kaget. Perlahan, aku mundur, menginjak perut Zane dan terjungkal ke belakang. Napasku berderu-deru dan kian menjadi-jadi. Sesosok makhluk yang aneh muncul lagi dengan penampakan yang berbeda. Entah mereka masih kelompok yang sama, yang pasti wujudnya cukup berbeda. Keseluruhan tubuhnya diselaputi urat-urat daun yang berwarna hijau. Dia memiliki ukuran tubuh yang sangat jauh berbeda dengan kami: pendek dan memiliki sayap yang bergonta-ganti warna, hitam dan putih setiap saat. Matanya melotot melihatku, mengamati dengan tangan yang diangkat sejajar dada. Perlahan, tubuhnya condong kepadaku seakan ingin mendekat, tetapi ragu.
Kami bertahan dengan posisi yang sama dalam waktu yang cukup lama. Aku memperhatikannya dari kaki hingga kepala dan dia pun melakukan hal yang sama. Lantaran dia tidak bereaksi lagi, selain mengamatiku, perlahan aku mengalihkan pandangan pada Zane, dengan mata yang tetap awas kepada makhluk itu. Aku tidak mau tiba-tiba dia mendekatiku. Aku memandang ke Zane, lalu ke dia. Berulang kali kuulangi tindakan yang sama. Namun, dia tetap pada posisinya. Baiklah, aku berkesimpulan dia makhluk yang baik, untuk sementara waktu.
Kali ini aku benar-benar mengalihkan padangan ke Zane. Orang ini tidak bangun juga, bisa-bisanya dia masih tertidur padahal tadi aku menginjaknya. Dia juga masih bernapas dengan teratur, terlihat tenang. Ingin sekali aku memukulnya dengan sangat keras. Tidak, aku tidak akan melakukan itu. Dia harus sehat, agar kami bisa keluar bersama. Jadi, aku memencet hidungnya. Dia mengap-mengap, tetapi tidak terbangun. Aku berhenti, melepas tanganku. Lalu, kuulangi. Sama saja, dia tetap tidak bangun, hanya mengap-mengap. Sebenarnya, dia ini kenapa?
“Dia bisa mati!”
Suara yang serak. Sontak aku menoleh ke asal suara. Sekumpulan makhluk yang aneh kembali muncul, berjumlah puluhan. Sudah cukup sesosok hijau itu, kenapa malah bertambah dengan wujud yang berbeda lagi? Sekumpulan ini sedikit berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Mereka memiliki tubuh berwarna cokelat dan bersekat-sekat seperti batang bambu. Tingginya juga pendek, sama dengan si hijau, hanya saja mereka tidak memiliki sayap. Aku tidak bereaksi apa-apa, hanya berdiam diri mengamati. Perlahan, mereka bergerak membentuk kerumunan yang mengelilingiku dan Zane.
“Ka-kalian si-siapa?”
“Kami penjaga hutan, kami peri tanpa sayap,” ucapnya cepat.
Aku mengangguk dengan senyum kubuat-buat. Peri. Aku baru mendengar bahwa ada makhluk bernama peri. Aku pikir hanya manusia sepertiku dan hantu seperti Bala.
“Temanmu sebentar lagi akan bangun,” ucap seorang yang bersuara lebih lembut.
Dia muncul membelah kerumunan. Memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dari kumpulannya. Namun, dibanding yang lain, dia tampak lebih baik karena memiliki wajah yang tidak kisut dan tubuhnya paling pendek. Dia tampak seperti perempuan dari kumpulannya.
“Kenapa kami bisa berada di sini?” ucapku pelan sembari menunjuk diriku sendiri dan Zane.
Mereka bertatapan antarsatu sama lain, kasak-kusuk.
“Bicaralah!” ucapku meyakinkan karena tidak satu pun dari mereka yang hendak angkat suara.
Diam, tidak ada yang menjawab. Lalu, tidak lama mereka saling dorong mendorong, menyuruh satu sama lain seolah-olah akan terjadi hal yang salah jika dirinya membuka mulut untuk bicara. Kasak-kusuk mereka semakin ruwet. Awalnya hanya seperti suara lebah yang berkerumun, tetapi makin lama makin seperti pertengkaran-pertengkaran orang tuaku.
“Diamlah!” teriakku lantaran tidak tahan.
Peri-peri itu seketika diam. Menunduk dengan tangan kanan-kirinya bertautan di bawah perut. Tidak ada yang berani mengangkat wajah, menatapku atau sekadar mencuri pandang.
“Kalian takut kepadaku?” ucapku dengan nada yang sedikit lebih rendah.
Tidak ada yang bersuara. Hanya anggukan yang mereka berikan dan semuanya masih menunduk.
“Kenapa?”
“….”
“Alasannya? Tolong bicaralah!”
“Ma-maaf, kami tidak bisa memberikan alasan apa pun. Kami hanya ditugaskan untuk menjaga dan mengantar,” ucap yang paling pendek. “Mari kita tunggu sebentar sampai temanmu terbangun.”
“Menjaga? Mengantar? Memangnya kalian mau membawa kami pergi ke mana?”
“Bukan dia, tetapi kamu. Kamu harus bertemu dengan seseorang dan semua ….”
“Seseorang siapa? Semua? Hei, aku rasa kalian salah menangkap orang. Aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanya … seorang perempuan dari desa. Kami dari desa.”
Tidak ada yang menanggapiku. Mereka diam dan menunduk. Kemudian, satu orang bergerak untuk duduk, yang lain pun mengikuti dan mengelilingi kami. Aku menatap tajam pada mereka, satu persatu, seolah hendak memarahi. Hasilnya, mereka semakin menunduk dan tidak satu pun yang berani mengangkat wajah.
Kami menunggu sangat lama sampai punggungku terasa kebas dan Zane tidak bangun-bangun juga. Di saat tidak tahu begini, aku ingin Bala datang dan bercerita. Memberikan penjelasan kepadaku tentang semua yang menimpaku. Ketimbang Bala, makhluk ini sangatlah menyebalkan. Ditanya tidak menjawab, desak sedikit menunduk.
Tunggu, jangan-jangan mereka adalah makhluk yang menerima para tumbal. Seperti cerita-cerita dari desa sebelah. Lalu, sebentar lagi kami akan dimasak dalam tungku kemudian dinikmati bersama oleh mereka. Tidak mungkin, tidak. Peri-peri ini takut kepadaku. Jadi, aku pasti seseorang yang berharga dan dihormati. Iya, pasti begitu.
Aku berbaring dan mulai mengantuk ketika Zane perlahan mengerjapkan matanya. Dia sama kagetnya denganku tatkala menyadari ada makhluk aneh di sekitarnya. Seketika dia bangkit, duduk dan saat menyadari keberadaanku, dia menatap meminta penjelasan.
“Sekarang apa? Temanku sudah bangun.”
“Kita akan pergi,” ucap yang memiliki tubuh berwarna hijau.
“Ke mana?”
“Ke pesta.”
“Pesta? Kalian tahu aku sangat ingin ke pesta?”
“Tidak. Ini memang waktunya untuk pergi ke pesta. Kamu tahu tentang takdir?”
“Terserah, yang penting pesta. Aku mau ikut.”
Saat hendak melangkah keluar, Zane menahan lenganku.
“Kenapa kamu mau ikut begitu saja?”
“Oh, ayolah! Setidaknya kita keluar dulu dari ruangan sempit ini,” bisikku.
Dia membuka pintu hanya dengan mengangkat tangan. Lalu, kami semua keluar dipimpin oleh si hijau yang berjalan paling depan. Lalu, aku dan Zane di tengah. Kami melewati lorong dengan belokan-belokan yang tajam dan cahaya yang seadanya. Sangat jauh hingga aku tidak menyadari berapa belokan yang kami lalui. Kemudian, saat keluar untuk ke sekian kalinya aku menelan air liur begitu saja. Aku pikir kami akan tiba pada sebuah hutan, tetapi tidak. Kami berada pada sebuah … mungkin inilah yang disebut pesta. Pesta bagi mereka, tetapi pesta dalam cerita Bala tidak seperti ini. Mereka semua sangat ribut.
Aku memutar pandangan ke segala arah. Semuanya berbeda dengan berbagai wujud yang aneh. Ada yang memiliki letak mata pada dagu, mulut pada dahi, hidung di samping kepala, jumlah kaki yang bermacam-macam, beberapa juga mirip menyerupai hewan. Hanya satu, hanya satu yang terlihat normal seperti aku dan Zane.
Dia melihatku dan mata kami berserobok. Pada rambutnya, terdapat sebuah benda yang mirip ular. Tidak, dia tidak normal. Mana mungkin, ada orang normal dengan ular pada kepalanya. Aku menoleh pada Zane dan kami saling berpandangan. Tatapannya sama dengan ketika masih di hutan. Mata membelalak, alis mengerut ke pangkal. Aku mengerti.
“Di, lariii!”
Bersambung ….
Ning Kurniati, seorang perempuan dengan sejuta mimpi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata