Yang Pergi, Bertemu, dan Entah (Episode 1)
Oleh: Halimah Banani
[POV Peony]
Tak ada siapa pun di rumah ini selain aku. Pintu dan jendela masih terkunci sebagaimana saat aku tinggal tidur semalam. Aku menatap nakas, mengambil lalu membolak-balik selembar kertas berwarna hitam yang entah bagaimana bisa ada di kamarku. Setelah membaca apa yang tertulis di kertas itu, aku menghela napas, menatap langit-langit kamar.
“Kamu ingin aku datang ke tempat ini?” gumamku.
Hari masih hening, jam menunjukkan pukul 04.03. Masih dengan menatap langit-langit kamar, aku membayangkanmu yang senang duduk di cabang batang pohon apel sembari membaca buku. Orang-orang bilang, suatu saat, ketika kita dewasa, kamu akan menjadi jodohku. Aku hanya tertawa menanggapi semua itu, meski di suatu hari aku bertanya-tanya apa pernyataan tersebut datang karena orangtuamu dan ibuku yang merupakan teman sejak kecil berencana menjodohkan kita. Namun buru-buru aku tepis kata perjodohan yang berhasil membuat bulu kudukku berdiri.
“Tidak, tidak. Kita tidak boleh menjalani hidup seperti itu nanti,” ucapku di suatu sore di tepi sungai.
Kamu menatapku sekilas lalu lanjut mengayunkan tangan kirimu kuat-kuat untuk melempar kerikil ke tengah sungai. Setelah kerikil di tangan kananmu habis, kerikil yang kamu kumpulkan selagi kita berjalan menuju sungai, kamu duduk di sampingku lantas merebahkan diri dengan menjadikan salah satu tanganmu sebagai bantalan.
“Tidak akan. Kita tidak akan menjalani hidup seperti itu nanti,” ucapmu setelah memejamkan mata, bersiap tidur petang di tempat ini seperti biasa.
“Bagaimana kamu bisa yakin?”
“Apa kamu berharap aku tidak yakin? Atau jangan-jangan kamu memang ingin menikah denganku?”
“Zein ….”
Masih dengan mata yang terpejam, kamu menjawab santai, “Entah apa yang kamu takutkan. Hanya sebuah kata bodoh atau kamu takut hidup bersamaku. Aku tak masalah dengan keduanya, meski, ya … kita tidak akan hidup seperti itu nanti.”
Aku diam, mengalihkan pandangan darimu ke matahari yang merayap turun untuk bersembunyi di balik rimbun pepohonan. Memikirkan tentang apa yang sebenarnya aku takuti selama sebulan ini: aku yang bakal dijodohkan atau aku yang akan menghabiskan sisa hidup bersamamu.
***
Aku … apa yang setahun ini aku takuti. Bukan, bukan perjodohan, bukan menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Sungguh, aku hanya takut kalau suatu hari kita akan berpisah seperti kedua orangtuaku. Aku takut kita tidak bisa melewati kemarau panjang dengan persediaan bahan pangan yang sekarat juga penghasilan yang tak seberapa, kita akan bertengkar soal siapa yang melakukan pekerjaan lebih banyak dan siapa yang hanya menghabiskan sepanjang waktu dengan bersantai di dekat kipas, kita akan bertengkar tentang betapa hidup bersama teramat melelahkan juga meributkan hal lain yang kemudian membawa kita berakhir dengan perpisahan. Dan selagi ribut-ribut itu berlangsung dalam kurun waktu yang entah, barangkali kita senang duduk di sebuah bar ditemani segelas alkohol dan pria hidung belang atau perempuan murahan atau kita telah menemukan seseorang lain yang dengannya hidup terasa lebih menggairahkan.
Aku memikirkan hal tersebut saat berdiri di hadapanmu yang hendak berpamit kerja ke kota. Tak lagi ada pemikiran soal kita yang dijodohkan. Karena selain orang-orang yang berkata kalau kamu akan menjadi jodohku, ibuku tak pernah menyinggung soalmu dan orangtuamu bersikap biasa saja terhadapku.
“Jaga diri baik-baik,” ucapmu sembari menaruh tangan di atas kepalaku.
“Kenapa tiba-tiba saja pergi?”
“Aku harus melarikan diri agar perjodohan itu tidak terjadi. Bukankah aku pernah bilang kalau kita tidak akan hidup seperti itu?”
Aku menunduk dalam, mengepal tangan kuat-kuat. “Kapan kamu akan pulang?”
“Mungkin setelah aku menemukan gadis untuk dinikahi atau setelah mendapat kabar kalau kamu akan menikah.”
“Bagaimana jika kamu tidak pernah menemukan gadis untuk dinikahi atau aku tidak pernah menikah?”
“Kalau begitu aku tidak akan pulang.”
“Zein,” ucapku dengan suara bergetar tanpa mengangkat kepala. Belum juga aku melanjutkan ucapanku, kamu langsung menyela.
“Ya sudah, kalau begitu aku tidak akan pergi dan kita akan menerima perjodohan ini. Bagaimana?”
Aku menepis tanganmu yang masih berada di kepalaku. “Jangan bercanda, Zein.”
“Aku serius.”
***
Aku tidak pernah melihatmu lagi sejak hari itu. Setelah dan sebelum tidur, aku berlama-lama menatap ponselku, berharap kamu akan menghubungi. Ternyata tidak. Kamu tidak pernah menghubungiku dan malam menjadi teramat panjang. Aku bahkan sudah serupa gadis yang berusaha mendapatkan balasan cinta dari pujaan hatinya—yang tak memiliki ketertarikan. Setiap hari kukirimimu puluhan pesan dan tak pernah sekali pun kamu balas.
Kamu menghindariku, Zein. Kamu benar-benar melarikan diri dari perjodohan yang bahkan tak benar ini.
Tidak ada perjodohan yang direncanakan ibuku dan orangtuamu. Bocah dengan kaus gombrang itu, yang tinggal di gubuk tak jauh dari pohon apel tempatmu membaca buku, yang matanya buta dan kakinya pincang satu, yang rambutnya selalu cepak seolah-olah tak pernah bertambah panjang walau sesenti, mengatakan kalau kamu akan menjadi jodohku.
“Kamu akan menikah dengannya dan keluargamu akan mati dalam waktu yang bersamaan.” Itu kalimat terakhir yang diucapkannya dan setelahnya dia tak pernah mengatakan apa pun lagi kepadaku.
Aku mematung memandangi sungai. Bertanya-tanya apakah kamu sudah tahu tentang ini lebih dulu sehingga memilih untuk melarikan diri. Aku, kamu, kita semua yang berada di desa ini tahu kalau bocah itu bisa berbicara dengan penduduk langit dan mengetahui hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Bocah itu pernah melemparkan lima ramalan dalam satu hari tentang apa yang akan terjadi dalam seminggu ke depan di desa kita dan tak ada satu pun yang meleset. Kakekmu yang jatuh ke jurang meski sudah berusaha keras untuk tak berada di dekat jurang. Burung-burung gagak yang mati di Selasa pagi. Gadis gila di sebelah rumah kepala desa yang sembuh dan bisa melihat hantu. Juga dua ramalan lainnya.
Matahari merayap turun untuk bersembunyi di balik rimbun pepohonan, suara burung gagak memecah keheningan. Aku membayangkanmu berdiri di sampingku, mengayunkan tangan kirimu kuat-kuat untuk melempar kerikil ke tengah sungai.
“Kamu percaya apa yang dikatakan bocah itu?”
Aku membalikkan badan, mencari asal suara.
“Apa kamu tidak berpikir kalau yang dikatakannya bisa saja salah?”
Kali ini aku mundur dua langkah saat melihat seorang gadis berambut lurus sebahu tiba-tiba muncul di hadapanku. Wajahnya pucat dan ada bekas luka sayat yang melintang dari pelipis kanan hingga membelah ujung alis kanannya.
“Si—siapa kamu?”
Bersambung ….
Halimah Banani atau Lily Rosella. Merupakan salah satu penulis antologi Kisah Tengah Malam: 13 Purnama dan Orang-Orang Bermata Kelam (Hazerain Publisher), Jejak Perempuan (IndeGo Publisher), A Bowl of Wedding Soup (Hazerain Publisher), Janda Hamidah dan Langit yang Terbelah (LMCBUA 8, Phoenix Publisher), Setelah Hujan Reda (LMCBUA 9, Phoenix Publisher), Warisan Ibu dan Anak-Anak Pemerah Susu (Koppand, Karos Publisher), dll.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata